Ada masa-masa
dimana Andita merasa bahwa Gian mulai melihatnya seperti apa yang ia inginkan.
Ada masa-masa dimana Andita merasa bahwa Gian juga mulai memperhatikannya, ada masa-masa dimana Andita merasa bahwa Gian
juga mulai merindukannya, bahwa ia juga ingin bisa bertemu dengan Andita
seperti Andita ingin bertemu dengannya. Itu adalah masa-masa yang sangat indah
dan menyenangkan. Hari-hari terbaik yang
pernah ia alami.
Tapi entah sejak
kapan.
Mencintai Gian
terasa jadi sangat melelahkan. Andita mulai merasa kewalahan menghadapi sikap
dingin Gian, marahnya yang selalu tak bisa terbaca. Ia yang selalu diam dan
menjauh ketika tak sepaham.
Senda gurau jadi hal
langka diantara keduanya. Gian mulai sibuk dengan semua urusannya dan Andita
tak punya banyak tenaga untuk mengimbanginya. Rasa lelah perlahan mulai berubah
menjadi beban yang sedikit demi sedikit terasa semakin membebani.
Ketidakjelasan
menjadi pokok utama yang selalu berhasil mengoyahkan pertahanan Andita. Kenapa
begitu sulit? Apa yang Gian inginkan? Apa yang harus ia lakukan? dan Gian masih
tetap saja menggantung perasaannya. Langkahnya makin terasa tak jelas. Sepi
yang dulu pernah terhapus karena kehadiran Gian mulai menyusup lagi.
Satu sisi Andita
merasa bisa lebih mengenal Gian dengan sangat baik, tapi disisi lain ia juga
merasa bahwa jarak diantara mereka makin terbentang jauh. Ada tembok yang tak
mungkin Andita runtuhkan hanya dengan tenaganya sendiri. ia membutuhkan Gian.
tapi pria itu, seperti tak terlalu bersemangat.
Tapi untuk berhenti
sudah tak mungkin. Andita ingin tetap berjuang, ia berusaha dengan tenaga yang
ia punya melawan rasa lelah dan beban yang kian menyelimutinya. sambil
bergantung pada harapannya. Harapan yang rasa-rasanya mulai kembali tenggelam
ke dasar.
Tak ada yang
berbeda dari senja hari itu, Andita masih merindukan Gian seperti biasa.
Keduanya bahkan sempat mengobrol banyak beberapa hari sebelumnya. Keakraban
yang sudah sangat lama Andita rindukan. Malam yang menyenangkan.
Tapi ada satu
perkataan Gian yang membuat Andita mengerutkan dahi. Tiap Andita bertanya
tentang hal itu, Gian selalu menghindar dan mengalihkan pembicaran. Andita
berusaha tetap berbaik sangka.
Tapi Andita tak
pernah meragukan intuisinya. Firasatnya hampir selalu tepat dan ia bisa tahu
ketika ada sesuatu yang tak benar.
hatinya mulai merasa was-was.
Lalu sore itu
sebelum waktu Ashar, ketika Andita tengah asyik berbincang dengan seorang teman
dan merindukan Gian seperti biasa. ia mendapat sebuah kabar. kabar singkat yang
sanggup membuat pertahanannya luluh lantah. Kata-kata sederhana yang paling menyakitkan dan
tak masuk akal untuknya saat itu.
Harapannya langsung hilang tenggelam bersama matahari senja.
Lalu gelap semua.
Hai, Pangeran Api
Tahukah kamu..
Aku disini
sedang berusaha
Merubah
kemuskilan mejadi mungkin
Mencoba
menentang batas
Bahwa air dan
api mungkin saja bisa bersatu
Lucu bukan?
Kau sendiripun
pasti berkata bahwa itu mustahil
Bahwa apa yang
aku lakukan ini suatu kesia-sian
Bahwa berusaha
mendekat hanya akan menghancurkan
Salah satu
atau bahkan keduanya dari kita
Tapi tahukah
kamu..
Bahwa rasaku
ini nyata, Bahwa peluhku ini nyata
Bahwa rinduku ini nyata dan cinta ini juga nyata
Semua itu yang
membuatku yakin
Untuk melawan
arus
Menjadikan
yang muskil menjadi mungkin
Tapi disinilah
kita
Hanya bisa berpegang pada kodrat yang tercipta
Cerita sebelumnya... Tamat.
No comments:
Post a Comment