“apa mereka benar-benar saling menyukai?”
Tanya Galih tiba-tiba sambil melahap semangkuk bubur Ayam di hadapannya.
Setelah menurunkan Indri dan Arya di depan gang, keduanya memutuskan untuk
mengisi perut mereka yang sudah mulai keroncongan di sebuah lapak penjual bubur
ayam di pinggir jalan.
“mana aku tahu?”
“kamu itu kan temennya,
masa nggak tahu?”
“dia itu nggak pernah
cerita masalah begituan sama aku!emangnya kenapa?
Kamu masih
suka sama Indri?”
Gumam Galih pelan.
“tapi menurutku
sebaiknya kamu lupain aja Indri, bukan apa-apa! Hanya, baru
kali ini aku
lihat dia dekat dengan seorang pria, Indri mulai berubah sedikit demi
sedikit, lebih
banyak tersenyum, lebih bersemangat, aku senang melihatnya
seperti itu!
itu membuatku sedikit tenang..”
Ujar Ririn sembari menghela nafas. Sementara Galih terus mendengarkannya
dengan raut wajah kecewa.
“dari dulu juga aku
ingin membuatnya seperti itu, tapi sepertinya Tuhan tidak
menunjukku
untuk melakukannya..”
“setiap manusia itu
punya jodohnya masing-masing..”
Jawabnya kalem sambil terus menghabiskan semangkuk bubur Ayam miliknya
sampai habis tak bersisa. Takdir Tuhan memang aneh dan sulit dimengerti, apa
yang diinginkannya kadang tak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Baik itu
buruk ataupun baik, baik itu Indah ataupun menyakitkan, baik itu sempurna atau
penuh cacat tak ada yang bisa kita tawar. Seperti boneka. Kita dipaksa
melakukan sebuah lakon yang kalau mungkin bisa kita pilih tak pernah ingin kita
perankan.
* * *
“anakku...”
Panggil seseorang begitu sayu malam itu, di dalam sepetak kamar yang
usang berdindingkan sebuah triplek tipis. Suara itu terus memanggilnya pelan
sambil terisak tangan tuanya yang kasar kembali mencoba membelai rambut gadis
itu. pukul 02.00 dini hari. Indri mulai terjaga dari tidurnya, matanya masih
samar melihat ke sekeliling .dingin. malam itu ia kembali terbangun oleh suara
yang sering menganggunya.
Sosok dihadapnnya semakin jelas, seorang wanita tua yang telah ia kenal
lama. Wajahnya tampak lusuh, wanita itu menatapnya sambil mengeluarkan butiran
– butiran air berwarna merah dari matanya. Begitu banyak sampai memenuhi
selimut yang tengah dikenakan Indri.
“ibu?”
Tanyanya yang terlihat ketakutan saat wanita tua itu tak berhenti
menangis.
“Indri... ibu takut
sekali disini..”
Ujarnya lirih sambil merengkuh kedua lengannya sendiri.
“disini dingin...ibu
ketakutan setiap hari...kamu temani ibu ya?”
Pintanya tanpa berhenti menangis. Indri hanya diam sambil ketakutan,
selimutnya terasa semakin basah ia tak bisa bergerak, kakinya terasa sangat
berat untuk beranjak, ia mulai ikut menangis ketika wanita tua itu semakin
mendekatinya. Kedua tangan yang begitu kasar terlihat membusuk dan semakin
membusuk ketika menyentuh pundaknya, tangis Indri semakin kencang, perlahan
sosok ibunya mulai berubah, bau bangkai yang begitu menyengat keluar dari
tubuhnya.
“temani ibu..”
Pintanya semakin lirih, dengan kedua bola mata yang hampir keluar, Indri
menjerit. Ia ketakutan. begitu ketakutan sampai suara jeritannyapun tak bisa di
dengarnya sendiri.
“temani ibu..”
Bisik wanita tua itu ke telinganya. Indri menutup mata sambil mengigil
ketakutan, sampai suara itu tak kedengaran lagi. sosok itu sudah pergi,
genangan darah yang tadi memenuhi selimutnya tiba-tiba menghilang.
Keringat dingin terus mengalir dari dahinya. Ia mulai mengatur nafasnya
yang dari tadi terasa sangat berat. hawa malam terus mengusiknya. Hingga
akhirnya Ia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menyelimuti kedua
kakinya yang terasa dingin, tapi..
“temani ibu..”
Suara itu muncul lagi dengan seorang wanita tua yang tampak tenang
terbaring di sampingnya, wajahnya pucat dan seutas tali menjerat lehernya.
Indri kembali berteriak ketakutan rasa takut yang teramat sangat sampai –
sampai membuatnya terbangun dari tidur. nafasnya terengah-engah dan keringat
dingin masih membasahi dahinya. Ia melihat ke sekeliling kamarnya yang mulai
terang karena sinar matahari dari balik jendela. Mimpi buruk itu terus datang,
dan semakin hari semakin membuatnya merasa ketakutan. Apa itu sebuah pertanda
untuknya, pertanda bahwa ia juga akan segera mati, membusuk dan menjadi sebuah
bangkai yang tak berguna nantinya. Ia mulai menangis, jika memikirkan tentang
itu.
* * *
Sepulang bekerja ia kembali berdiri di depan rumah Arya, ia berdiri sambil
terus saja memikirkan mimpi yang menganggu tidurnya hampir setiap malam.
“apa kamu sudah lama
menungguku?”
Tanya Arya yang baru saja sampai disana dengan mobil Honda CR-V silver
kesayangannya.
“lumayan..”
“Ayo masuk!”
Ajaknya sembari membuka pintu gerbang, keduanya berjalan beriringan
memasuki rumah, seperti biasa tanpa disuruh Indri langsung duduk di sebuah sofa
di ruang tamu sembari menunggu Arya selesai membuatkan minum untuknya.
“aku kaget waktu tadi
pagi kamu telepon mau datang kesini, ada apa?”
“sebenernya aku.. mau
lihat-lihat koleksi buku kamu, boleh tidak?”
“kamu kesini cuma buat
itu?”
“iya, nggak tahu kenapa
aku ingin baca sesuatu..karena aku nggak punya
buku jadi aku
bermaksud pinjam buku-buku kamu..”
“itu bagus, kamu mau pinjam buku apa? Aku punya banyak
koleksi novel
bagus..”
“boleh aku lihat-lihat sendiri nggak?”
“tentu! kamu tahu kan
ruangannya dimana? aku mau buat
makanan dulu”
“iya..”
Jawab Indri yang langsung saja bergegas pergi ke ruang kerja Arya,
disana ada satu rak yang sangat besar dengan deretan buku yang memenuhi hampir
setiap sudutnya. Ia melihat judul buku-buku itu satu persatu, kemudian
mengambil beberapa buku yang akan ia pinjam nantinya.
“bagaimana bukunya
sudah ketemu?”
“iya..nih..”
Ujarnya sembari menunjukan tiga buku yang tengah di pegangnya pada Arya.
dua buku adalah sebuah novel terjemahan dari penulis ternama Eropa.
“ternyata selera kamu
tidak buruk juga..”
Gumam Arya yang melihat judul buku-buku itu yang memang memiliki cerita
yang sangat bagus, tapi pria yang masih mengenakan celemek masaknya itu
langsung menautkan alis begitu melihat judul buku ke tiga. Buku yang sudah lama
ia beli untuk memenuhi tugas saat ia masih jadi mahasiswa kedokteran di
Bandung.
“buat apa kamu baca
buku ini?”
Tanya Arya penasaran.
“memangnya kenapa kalau
aku baca buku itu? aku hanya ingin tahu saja..
sepertinya
menarik!”
“yang seperti ini menarik?”
Tanya Arya lagi sembari menegaskan judul buku itu ke wajah Indri “cara
mudah mengenal dan mengobati kanker”.
“memangnya kenapa? Aku suka buku ini! Kamu mungkin
tidak tahu dulu aku
sering membaca
buku-buku semacam ini dari kakakku dia juga kan dokter
sama seperti kamu!”
“benarkah?”
“kalau kamu tidak percaya, kamu tanya saja pada bu
Farida atau Ririn!
Mereka tahu
bahwa aku memang punya kakak seorang dokter!”
Jawab Indri ngotot.
“iya..sudahlah, buat apa kita meributkan hal itu! apa
tidak ada lagi yang mau
kamu cari disini?”
“memangnya kenapa?”
“ayo kita makan, aku sudah menyiapkan makan malam..”
“nggak usah! Aku
langsung pulang saja, nggak enak lama-lama di rumah pria
lajang yang
tinggal sendirian..”
ujar Indri menirukan perkataan Arya beberapa waktu yang lalu.
“berhenti menirukan apa
yang pernah aku katakan padamu! Kamu harus
makan! Aku
sudah lelah membuatkannya untukmu juga!”
sentak Arya sembari melemparkan celemek yang tadi dipakainya ke wajah
Indri kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Indri yang masih tertawa geli
kemudian duduk di ruang makan yang tampak sedikit aneh dengan candle kecil juga
sebotol wine yang menghiasi meja makan. Tak lama Arya datang sambil membawakan
dua porsi steak tanderloin buatannya sendiri untuk mereka berdua. Indri hanya
memandangi makanan yang baru saja di sajikan Arya untuknya.
“kenapa kamu hanya
melihatnya saja, aku tidak akan memasukan racun
apapun
kedalamnya! ayo cepat dimakan!”
“apa setiap kamu
mengajak perempuan makan malam selalu seperti ini?”
Tanya Indri yang merasa aneh dengan suasana saat itu.
“memangnya kenapa?!”
“sudah berapa banyak
perempuan yang kamu ajak makan malam disini?”
“itu bukan
urusanmu..sudah makan saja!”
Sentaknya, tapi Indri tak berhenti bertanya sampai membuatnya kesal.
“apa reaksi mereka
waktu makan malam bersamamu?ayo ceritakan padaku?”
“pertanyaanmu itu
membuat selera makanku hilang!”
Sentaknya lagi sembari membantingkan garpu makannya ke atas piring.
“kenapa kamu marah? Aku
kan Cuma bertanya?”
“benar kamu sangat
ingin tahu?!”
Tanyanya sembari mendekati Indri,
dengan tatapan aneh.
“kamu mau apa?”
“aku mau memberitahumu
tentang apa yang terjadi setelah aku mengajak
seorang
perempuan makan malam di rumahku..”
ujarnya sambil terus mendekati Indri, tatapan matanya begitu nakal. Ia
mendekati gadis itu seperti seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya. Tapi
si mangsa malah duduk kalem sambil balas menatapnya. Ia mendekat, perlahan.
Mengitari meja makan. Semakin dekat sampai tiba-tiba ia jatuh tersungkur ke
lantai begitu kakinya tersandung oleh kaki Indri yang sengaja diangkat untuk
menghalangi langkahnya.
“akhhhh...”
Arya mengerang kesakitan sambil berusaha bangkit, tapi bukannya membantu
pria itu berdiri Indri malah terus tertawa, sambil mulai memakan makanannya.
“kamu ini benar-benar
perempuan yang menyebalkan, bukannya membantuku
berdiri malah
tertawa seperti itu?!”
“maaf..habis kamu lucu..”
Ujarnya yang masih tak berhenti tertawa.
“terus saja tertawa,
sampai hidungmu berdarah!”
Sindir Arya yang kembali duduk di kursinya. Bukannya berhenti Indri
malah terus tertawa mendengar sindiran itu sampai akhirnya apa yang dikatakan
Arya berubah jadi kenyataan tiba-tiba dari hidung Indri keluar sedikit darah.
“Aaaa..”
Gumam Indri pelan yang langsung saja berhenti tertawa.
“apa aku bilang?
Hidungmu berdarahkan?”
“apa kamu itu dukun?”
“sudahlah, Pakai ini!nanti darahnya mengenai
pakaianmu..”
Jawab Arya yang memberikan serbet makannya pada Indri.
“makasih..”
“kenapa hidungmu selalu
saja mengeluarkan darah? Apa kamu sakit?”
“mungkin terlalu cape,
aku kan pernah bilang sama kamu kalau ini itu biasa
terjadi!”
“jangan lupa aku ini
dokter! Aku tidak mungkin langsung percaya omongan
seperti itu?
sebaiknya kamu periksakan lebih lanjut, bisa jadi kamu punya
penyakit yang
cukup parah?”
“kenapa tidak kamu saja yang memeriksaku, kamu kan
dokter?!”
“kalau aku sepintar itu mendeteksi penyakit orang aku
tidak akan jadi dokter
melainkan Tuhan!
untuk mengetahui kondisi kesehatan tubuh seseorang itu
perlu
peralatan yang mendukung bukan cuma asal tebak karena melihat
gejala,
bagaimana kalau sampai salah diagnosa?bisa di tuduh malpraktek!”
“iya pak dokter..”
“besok kamu datang ke
rumah sakit saja..biar kita tahu apa penyakitmu!”
“tidak usah, aku tidak
mau merepotkanmu..”
“tidak apa-apa, biar
aku aturkan jadwal pemeriksaan untukmu..”
“nggak usah!”
Sentak Indri begitu melihat Arya hendak menghubungi seseorang.
“tapi..”
“aku bilang nggak usah ya nggak usah! Aku bisa
pastikan kalau aku memang
tidak
apa-apa..”
ujarnya sembari beranjak meninggalkan rumah itu.
“kenapa kamu marah, aku
kan hanya bertanya? Lagipula ini juga demi
kebaikanmu...Indri!”
panggil Arya yang tak berusaha mengejarnya. Setelah cukup jauh ia
meninggalkan rumah itu, ia baru menyadari sesuatu. Lagi-lagi dirinya melakukan
hal bodoh, kenapa ia harus pergi dengan keadaan marah begitu Arya mengungkit
masalah kesehatannnya, padahal mungkin jika pria itu tahu bahwa kenyataannya
dia memang tidak baik-baik saja ia bisa menemukan jalan keluar dari semua
masalahnya itu.
“tok...tok..tok!!”
Arya masih duduk sambil menghabiskan makan malamnya ketika ia mendengar
suara ketukan di pintunya.
“Tok..Tok!! Tok..tok!!”
Suara ketukan itu semakin keras, dengan langkah gontai ia akhirnya pergi
ke depan pintu rumahnya sambil membawa tiga buku yang ditinggalkan Indri di
atas meja makan.
“sudah ku duga kamu
pasti kembali, mencari ini kan?”
Ujar Arya pada Indri yang sudah berada di depan pintu rumahnya lagi.
“kenapa kamu pergi
begitu saja seperti tadi? Aku tidak akan memaksamu untuk
melakukannya
jika kamu tidak mau..”
“aku minta maaf, bisa
minta bukunya? Aku tetap jadi meminjamnya..”
Jawab Indri sembari menundukan kepalanya.
“ini! Jangan sampai
rusak, semua ini buku-buku
kesayanganku!”
“iya..”
jawabnya singkat sambil tetap menundukan kepalanya.
“Arya..sebenarnya,
aku..”
Gumamnya terbata-bata dengan suara yang sangat kecil.
“aku..aku..”
“kamu kenapa?”
“aku, mau ikut ke air
boleh?mendadak nggak enak perut gini!”
“kamu itu, perempuan
yang aneh?”
“bolehkan?”
Pintanya sambil memelas.
“iya, sana-sana!!”
Jawabnya ketus, dengan segera Indri begegas pergi menuju kamar mandi,
entah kenapa ia tiba-tiba tak bisa memberitahu Arya tentang penyakitnya itu.
berat rasanya, ia tak mau terus-terusan menyusahkan laki-laki yang sudah banyak
menolong dirinya beberapa waktu ini, ia juga tak ingin terlihat lemah di depan
pria yang masih sangat disukainya itu.
* * *
“kamu itu pura-pura tidak mengerti, atau memang bodoh,
huh? Untuk apa aku
berbuat seperti ini padamu!”
tanyanya sambil merangkul kedua
lengan gadis itu.
“itu
karena aku menyukaimu..”
Akhirnya kata-kata itu keluar,
mendadak ku rasakan tubuhku meleleh,begitu ia memelukku, begitu hangat, sampai
aku bisa mendengar detak jantungnya. Tiba-tiba semuanya tampak kabur, aku tak
bisa berpikir semuanya kosong aku bahkan tak tahu harus berbuat apa yang bisa
aku lakukan hanya menikmati saat-saat itu dan berharap bahwa itu semua bukanlah
sebuah mimpi.
“aku benar-benar nggak
nyangka? Selamat ya!”
Ujar Indri sembari memeluk Ririn dengan wajah yang tampak ikut bahagia.
“Aku juga awalnya nggak
nyangka kalau dia bakal ngomong kayak gitu..”
“aku ikut seneng
dengernya..”
Ujar Indri lagi sambil kembali memeluk Ririn yang tampak sumringah, kemarin
malam memang adalah hari yang istimewa untuknya, entah kenapa tiba-tiba Galih malah
menyatakan cinta padanya, padahal yang selama ini dia tahu pria itu hanya
menyukai Indri. Cinta memang tak diduga
datangnya seperti apa.
“makasih..tapi Ndri,
kamu beneran nggak apa-apa?”
“memangnya aku kenapa?”
“ya, aku takut kamu
marah? Selama ini kita tahunya kan Galih itu suka sama
Kamu! Aku jadi
ngerasa nggak enak pacaran sama dia!”
“kamu itu! memangnya aku siapa sampai harus marah?”
“kamu memang temenku
yang paling-paling-paling baik sedunia..”
Ujar Ririn sembari memeluk Indri erat-erat.
“aku nggak bisa nafas!”
Gumam Indri sengal.
“oh iya, gimana hubungan kamu sama pak dokter itu?”
“gimana apanya?”
“akh..jangan pura-pura
nggak ngerti! aku tahu kamu suka kan sama dia?”
“enak aja, dia tuh yang
suka sama aku bukannya aku!”
“kamu tuh ya..”
keduanya tertawa bersama sambil kembali berpelukan riang. rasanya
menyenangkan jika kita mempunyai seorang teman yang mau berbagi kesedihan
maupun kesenangan yang kita rasakan, mereka selalu ada bahkan disaat kamu tak
mengharapkannya. Mencintaimu tanpa pamrih,
bahagia melihat dirimu tersenyum dan merasa sakit ketika melihatmu dalam
kesusahan. Orang lain yang menghargaimu lebih dari saudaranya sendiri. Aku
merasa bersyukur pada diriku karena biar seberapa sulit hal buruk yang harus
aku hadapi aku masih mempunyai satu yang seperti itu.
* * *
ketika ia sedang asyik mengobrol dengan Ririn di ruang itu, tiba-tiba
handphonenya berbunyi sebuah panggilan dari pria yang baru saja mereka
bicarakan.
“hallo..”
Jawab Indri begitu mengetahui pria itu menghubunginya.
“hallo, apa kamu sedang
sibuk?”
“tidak, aku sedang siap-siap
pulang, memangnya kenapa?”
“rasanya aneh kalau
membicarakan ini di telepon! bisa kita bertemu nanti
sore?”
“memangnya ada apa?”
“bisa tidak?!”
Tanyanya ketus di ujung telepon.
“mau ketemu dimana?”
“di rumahmu saja, nanti
sepulang bekerja aku kesana!bagaimana?”
“kalau begitu datang
saja!”
“ya sudah, aku tutup
teleponnya dulu!”
“iya..”
Jawab Indri pelan, sambil masih meletakan handphonenya di telinga ia
terus mengira-ngira tentang apa yang hendak dikatakan pria itu padanya sore nanti, mungkin
sesuatu yang penting.
“dari siapa?”
Tanya Ririn yang melihat gadis itu melamun.
“dari dia..”
“ada apa?”
“aku juga nggak tahu,
dia minta ketemu di rumahku sore ini!”
“apa jangan-jangan dia
mau nyatain cinta juga sama kamu?”
Ujar Ririn berandai-andai.
“kamu ini ngaco, mana
mungkin seperti itu?”
“mungkin saja..sesuatu
kan datangnya suka nggak terduga?”
“nggak mungkin!”
“ nggak percaya kalau
dibilangin! Berani taruhan nggak, dia pasti mau
nembak kamu!”
“boleh! Kalau ternyata nggak kamu harus traktir aku
makan di restoran jepang
langgananku
dulu!”
“oke! Kalau kamu kalah kamu harus beliin aku baju yang
waktu itu aku tunjukin
sama kamu,
gimana?”
“oke! Aku jadi lapar, wangi Shabu-shabunya sudah mulai
kecium nih!”
“jangan mimpi! Pasti aku yang menang!”
Sesumbar Ririn yang tampak yakin bahwa Pria itu memang mau menyatakan
cintanya pada Indri.
“sana-sana! Aku
bener-bener nggak sabar pengen tahu hasilnya?”
“kalau gitu aku pulang dulu!”
Pamit Indri yang bergegas pulang ke rumahnya, ia juga masih merasa
penasaran, apa benar pria itu mau bertindak seperti yang dikatakn Ririn padanya
tadi, kalau iya? Bagaimana ia harus menanggapinya nanti. Tapi kalaupun memang
bukan itu yang mau dibicarakannya. Kira-kira hal apa yang sangat penting sampai
pria itu mau menemuinya. Sambil duduk di ruang tengah rumahnya Indri terus
menunggu pria itu datang. Tak jarang ia melihat jam dindingnya sembari terus
menunggu.
“Assalamualaikum..”
Akhirnya pria itu datang, dengan sigap Indri langsung menyambutnya.
“Waalaikumsalam!”
Jawabnya yang tampak senang namun juga kikuk.
“ayo masuk! Mau minum
apa?”
“kamu kenapa? Sikapmu
aneh sekali?!”
Tanya Arya yang melihat wanita itu tampak serba salah.
“memangnya aku kenapa?
Oh iya, kamu belum jawab pertanyaanku, mau
minum apa?”
sanggahnya terbata-bata.
“terserah kamu saja..”
“kalau gitu kamu tunggu
sebentar aku siapin dulu minumnya!”
Pria itu hanya mengangguk kemudian duduk. sambil menunggu minumannya
datang, ia menyapa Dion yang tengah sibuk bermain bersama boneka pemberiannya,
gadis kecil itu masih tetap tidak mau bicara. Ia hanya tersenyum dan pindah
kepangkuan Arya sambil tetap bermain dengan bonekanya.
“maaf sudah membuatmu
menunggu!”
Tak lama Indri datang sambil menyuguhkan segelas teh manis hangat
untuknya.
“kamu bicara seperti
orang lain saja! aku minum ya!”
Jawab Arya yang keheranan sembari menyeruput teh manis yang masih panas.
“apa yang mau kamu
bicarakan di telepon tadi?”
“itu, sebenarnya aku
sedikit tidak enak mengatakannya, tapi sabtu depan apa
kamu bisa ikut
denganku?”
“ikut kemana?”
“ke rumahku..”
“aku pikir apa?memangnya rumah kamu kenapa sampai
repot-repot datang
kesini?”
“maksudku bukan rumah yang disini tapi rumah ibuku di
bekasi..”
“bekasi? Buat apa aku kesana?”
“kamu ingat kejadian diacara pernikahannya Radith?”
“Radith? Kakak laki-laki kamu itu!”
“hm! Waktu itu aku tidak sengaja mengatakan bahwa kamu
adalah pacarku..”
“iya, terus apa hubungannya dengan pergi ke rumahmu?”
“kemarin ibuku meminta kita datang ke rumah, katanya
dia ingin lebih
mengenalmu!”
mendengar hal itu Indri hanya menautkan alisnya.
“kenapa kamu tidak
katakan saja kalau itu bohong?”
“aku tidak mungkin
mengatakan hal itu..”
“bilang saja kalau aku
tidak bisa ikut!”
“sudah terlanjur bilang
iya, tidak mungkin membatalkannya lagi..”
“kenapa kamu seenaknya
seperti itu?!”
Tanya Indri kesal.
“aku juga tidak
mengerti, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku!”
Balas Arya sedikit membentak.
“bagaimana? Kamu bisa
ikut kan?”
“apa boleh buat?! Aku
menolakpun kamu juga akan tetap memaksa kan?!”
“Pintar..tidak apa-apakan?”
Pria itu hanya tersenyum sambil mengelus-ngelus kepala Indri.
“mau gimana lagi??!..”
Jawabnya malas sambil memalingkan muka, entah kenapa meskipun wajahnya
tampak kesal tapi di dalam hati Indri merasa sangat senang. Pria itu mau
mengenalkannya pada orang tuanya, bukankah pertanda baik. Tapi semuanya masih
belum pasti karena sampai sekarang baik Arya ataupun Indri tak ada yang mau
mengakui perasaannya terhadap satu sama lain. Ketika ketiganya tengah asyik duduk
sambil menikmati makanan & minuman yang disediakan Indri. Tiba-tiba Fira
datang dengan dikawal seorang pria yang sering mengantar jemput Fira dari tempat
kerjanya. pria itu terlihat sangat kesal ia menyeret Fira ke rumahnya sambil
menjambak rambut gadis itu.
“ayo cepat!”
Sentaknya sambil membantingkan Fira ke pintu.
“i-y-a..”
Jawabnya terbata-bata dan tampak ketakutan. Dengan segera Fira membuka
pintu rumahnya tampak Arya, Dion, dan Indri tengah duduk ruang tengah sembari
menonton acara anak-anak di televisi.
“Indri..”
Panggil wanita itu sambil ketakutan.
“ada apa lagi?”
Tanya Indri yang sudah bosan dengan semua masalah yang dibuat Fira.
“dimana lu naruh barang
gw?”
“barang mana?”
“alah, jangan pura-pura
nggak tahu!!”
“aku memang nggak tahu,
barang yang mana yang kamu maksud!!”
Jawab Indri balas menyentak pria itu.
“heh!! Ngomong donk
lu!!”
Pria itu malah membentak Fira yang sedari tadi tak mau bicara.
“bungkusan yang waktu
itu gw kasihin lu, lu taruh dimana?”
“bungkusan mana?”
“yang isinya baju..”
“itu, memangnya
kenapa?”
“itu punya gw,
gara-gara lu tahu gw jadi ribut sama bini gw! ada yang
ngomong sama
gw kalau tu bungkusan di ambil sama si Fira!!”
Ujarnya kesal sembari hendak memukul Fira.
“ udah-udah jangan ribut disini!”
Lerai Indri sembari masuk kedalam kamarnya, kemudian mengambil bungkusan
yang pernah diberikan Fira untuknya sebagai hadiah ulang tahunya kemarin.
Pantas saja ia merasa sedikit heran ketika kakak perempuanya itu memberikannya
hadiah, jarang sekali.
“ini bukan!!”
“sini mana gw lihat!”
Ujar pria yang sering dipanggil codet itu sembari mengambil bungkusan di
tangan Indri.
“belum lu apa-apain
kan?”
“belum!!!!”
“lu tuh ya barang temen
sendiri lu embat juga!!!”
Sindir pria itu pada Fira yang tetap tak bergeming.
“udah..pulang sana!!”
Usir Indri sambil mendorong pria itu keluar rumah.
“thanks bro!! kakak lu
emang parah!!”
“hati-hati sama omongan
lu! Udah sana pergi!!!”
“oke..oke!!!”
Ujar Pria itu dengan tampang bingar, sementara Indri hanya menghela
nafas sambil kembali masuk ke dalam rumah. Diliriknya Fira yang terus diam
sambil menundukan kepalanya, ia sudah benar-benar angkat tangan dengan kelakuan
kakaknya yang satu ini. Rasanya kesal sekali, tapi entah kenapa ia tak bisa
memarahinya.
“maaf karena sudah
membuatmu melihat hal ini, bisa kamu pulang
sekarang!”
pinta Fira pelan pada Arya sambil
tetap menundukan kepalanya.
“buat apa kamu
menyuruhnya pulang? Dia itu tamuku!”
“tidak apa-apa, lebih
baik aku pulang..”
Ujar Arya seraya beranjak dari duduknya, kemudian pergi meninggalkan
tempat itu. ia tak mau menganggu pembicaraan kedua kakak beradik itu. hening.
Indri hanya duduk sambil menemani Dion menonton acara anak-anak di televisi
sementara Fira tetap tak bergerak dari tempatnya berdiri.
“gw minta maaf..”
Ujarnya pelan. Tapi Indri tak menghiraukannya.
“gw mana tahu kalau itu
milik si codet...dia..”
“sudahlah, aku nggak
mau dengar alasan apapun dari kamu..”
Jawabnya dingin tanpa mau melihat wajah Fira.
“sampai kapan kamu akan
terus seperti ini??aku tidak pernah memintamu untuk
memberikanku
hadiah, jadi berhenti mempermalukan dirimu sendiri!kalau kamu
terus seperti
ini, aku tidak tahu lagi apa jadinya jika aku sudah tidak ada..”
“maksud lu apa? Memangnya lu mau pergi kemana?”
Tanya Fira yang tak mengerti dengan ucapan adiknya itu.
“jangan bilang kalau lu
mau ikut tinggal sama si Farid?!!!”
“jangan asal ngomong?
Siapa yang bilang aku mau tinggal disana?!”
Sentak Indri segera.
“terus apa maksud
omongan lu tadi,Huh?!!!”
“kamu ini? Memangnya
aku harus terus tinggal bareng kamu seumur hidup? Aku
ini manusia
biasa, ada saat dimana aku nggak mungkin nemenin kamu terus,
aku juga punya
kehidupan sendiri..”
“maksud lu itu apa sih?!!”
“aku ini juga perempuan
gimana kalau ada saatnya aku harus menikah? Kamu
mau punya adik
perawan tua?”
bentaknya lagi.
“apa? Memangnya siapa
yang mau nikahin lu? Dokter itu?!!”
Tanya Fira sambil memperoloknya.
“kamu ini?! Sudah makan
belum? Tadi aku beli nasi padang..”
“dimana?”
“di dapur! Udah sana
makan dulu!!
Bentaknya sambil kembali sibuk menonton Televisi bersama Dion. Fira yang
memang sudah sangat lapar langsung saja bergegas pergi ke dapur untuk mengambil
nasi bungkus tersebut. Sambil melahap makanannya ia teringat perkataan ibunya
juga Farida.
“kalau lu nggak ada...nggak
ada gunanya gw hidup..”
Gumam Fira lirih sambil menatap nasi bungkus itu dengan matanya yang
mulai tampak basah.
* * *
Suara serangga malam hari mengiringi lembaran-lembaran kertas itu, Indri
larut dalam cerita Novel yang ia baca. Dan
saat tiba di halaman terakhir seperti
novel sebelumnya ia tak berani menyelesaikan akhir cerita itu.
“gatal!!!”
Gumamnya kesal sembari mengaruk garuk kedua lengannya yang tak berhenti
di hinggapi nyamuk. Tapi saat ia membuka lengan bajunya makin jauh ia melihat
ada banyak bercak keunguan di kedua tanganya, Seperti bekas terbentur sesuatu
tapi ia tak merasakan apapun. ia kembali
teringat dengan penyakitnya. Ini sudah hampir dua minggu sejak ia memeriksa
kesehatannya terakhir kali, dan sejak saat itu ia belum pernah memeriksakan kondisinya
lagi.
“ini gejala umum yang
sering terjadi untuk penderita leukemia seperti kamu..”
“leukemia?”
“melihat gejala yang muncul kemungkinan besar ini
memang leukemia..”
“leukemia nggak parah kan dok?”
“kamu sudah melakukan
pengobatan apa saja?”
Tanya dokter tersebut sambil memeriksa hasil pemeriksaannya.
“saya hanya baru
meminum obat ini?”
Jawabnya sembari menunjukan obat yang pernah diberikan dokter lain
padanya.
“maksudmu, selama dua
minggu ini kamu hanya minum obat ini saja?”
“iya..”
“obat ini tidak akan
terlalu membantu untuk penyembuhan, ini hanya berguna
untuk
meringankan rasa sakit yang diakibatkan penyakit ini, kamu harus segera
menjalani
pengobatan jika tidak mau penyakitnya semakin parah..”
“iya, dokter...”
“sekarang kamu ke bagian
lab untuk tes darah! Oh iya sebaiknya
kamu juga
mulai berhenti melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang
menguras
banyak tenaga..itu tidak baik untuk kondisi fisik penderita leukimia”
“baik, terima kasih
dok!”
“sama-sama..”
Pamit Indri sembari meninggalkan ruangan itu. apa yang harus
dilakukannya, kemana ia harus meminta bantuan. Kalau ia terus membiarkan
kondisinya seperti ini kemungkinan semuanya malah akan semakin buruk dan
mungkin hidupnya benar-benar tak akan berlangsung lama.
Aku mulai
putus asa,Tuhan
tak tahu
harus memulainya dari mana
kau
menunjukanku pada banyak jalan
tapi
akhirnya
aku
tetap merasa semua jalan itu seperti buntu
No comments:
Post a Comment