Tuesday, January 22, 2013

Cerbung : Hanya Satu #9



“apa mereka benar-benar saling menyukai?”
Tanya Galih tiba-tiba sambil melahap semangkuk bubur Ayam di hadapannya. Setelah menurunkan Indri dan Arya di depan gang, keduanya memutuskan untuk mengisi perut mereka yang sudah mulai keroncongan di sebuah lapak penjual bubur ayam di pinggir jalan.
            “mana aku tahu?”
            “kamu itu kan temennya, masa nggak tahu?”
            “dia itu nggak pernah cerita masalah begituan sama aku!emangnya kenapa?
  Kamu masih suka sama Indri?”
“hmmm..”
Gumam Galih pelan.
            “tapi menurutku sebaiknya kamu lupain aja Indri, bukan apa-apa! Hanya, baru
  kali ini aku lihat dia dekat dengan seorang pria, Indri mulai berubah sedikit demi
  sedikit, lebih banyak tersenyum, lebih bersemangat, aku senang melihatnya
  seperti itu! itu membuatku sedikit tenang..”
Ujar Ririn sembari menghela nafas. Sementara Galih terus mendengarkannya dengan raut wajah kecewa.
            “dari dulu juga aku ingin membuatnya seperti itu, tapi sepertinya Tuhan tidak
  menunjukku untuk melakukannya..”
            “setiap manusia itu punya jodohnya masing-masing..”
Jawabnya kalem sambil terus menghabiskan semangkuk bubur Ayam miliknya sampai habis tak bersisa. Takdir Tuhan memang aneh dan sulit dimengerti, apa yang diinginkannya kadang tak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Baik itu buruk ataupun baik, baik itu Indah ataupun menyakitkan, baik itu sempurna atau penuh cacat tak ada yang bisa kita tawar. Seperti boneka. Kita dipaksa melakukan sebuah lakon yang kalau mungkin bisa kita pilih tak pernah ingin kita perankan.

            *                                                           *                                               *

            “anakku...”
Panggil seseorang begitu sayu malam itu, di dalam sepetak kamar yang usang berdindingkan sebuah triplek tipis. Suara itu terus memanggilnya pelan sambil terisak tangan tuanya yang kasar kembali mencoba membelai rambut gadis itu. pukul 02.00 dini hari. Indri mulai terjaga dari tidurnya, matanya masih samar melihat ke sekeliling .dingin. malam itu ia kembali terbangun oleh suara yang sering menganggunya.

Sosok dihadapnnya semakin jelas, seorang wanita tua yang telah ia kenal lama. Wajahnya tampak lusuh, wanita itu menatapnya sambil mengeluarkan butiran – butiran air berwarna merah dari matanya. Begitu banyak sampai memenuhi selimut yang tengah dikenakan Indri.
             “ibu?”
Tanyanya yang terlihat ketakutan saat wanita tua itu tak berhenti menangis.
            “Indri... ibu takut sekali disini..”
Ujarnya lirih sambil merengkuh kedua lengannya sendiri.
            “disini dingin...ibu ketakutan setiap hari...kamu temani ibu ya?”
Pintanya tanpa berhenti menangis. Indri hanya diam sambil ketakutan, selimutnya terasa semakin basah ia tak bisa bergerak, kakinya terasa sangat berat untuk beranjak, ia mulai ikut menangis ketika wanita tua itu semakin mendekatinya. Kedua tangan yang begitu kasar terlihat membusuk dan semakin membusuk ketika menyentuh pundaknya, tangis Indri semakin kencang, perlahan sosok ibunya mulai berubah, bau bangkai yang begitu menyengat keluar dari tubuhnya.
            “temani ibu..”
Pintanya semakin lirih, dengan kedua bola mata yang hampir keluar, Indri menjerit. Ia ketakutan. begitu ketakutan sampai suara jeritannyapun tak bisa di dengarnya sendiri.
            “temani ibu..”
Bisik wanita tua itu ke telinganya. Indri menutup mata sambil mengigil ketakutan, sampai suara itu tak kedengaran lagi. sosok itu sudah pergi, genangan darah yang tadi memenuhi selimutnya tiba-tiba menghilang.
Keringat dingin terus mengalir dari dahinya. Ia mulai mengatur nafasnya yang dari tadi terasa sangat berat. hawa malam terus mengusiknya. Hingga akhirnya Ia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menyelimuti kedua kakinya yang terasa dingin, tapi..
            “temani ibu..”
Suara itu muncul lagi dengan seorang wanita tua yang tampak tenang terbaring di sampingnya, wajahnya pucat dan seutas tali menjerat lehernya. Indri kembali berteriak ketakutan rasa takut yang teramat sangat sampai – sampai membuatnya terbangun dari tidur. nafasnya terengah-engah dan keringat dingin masih membasahi dahinya. Ia melihat ke sekeliling kamarnya yang mulai terang karena sinar matahari dari balik jendela. Mimpi buruk itu terus datang, dan semakin hari semakin membuatnya merasa ketakutan. Apa itu sebuah pertanda untuknya, pertanda bahwa ia juga akan segera mati, membusuk dan menjadi sebuah bangkai yang tak berguna nantinya. Ia mulai menangis, jika memikirkan tentang itu.

            *                                                           *                                               *

Sepulang bekerja ia kembali berdiri di depan rumah Arya, ia berdiri sambil terus saja memikirkan mimpi yang menganggu tidurnya hampir setiap malam.
            “apa kamu sudah lama menungguku?”
Tanya Arya yang baru saja sampai disana dengan mobil Honda CR-V silver kesayangannya.
            “lumayan..”
            “Ayo masuk!”
Ajaknya sembari membuka pintu gerbang, keduanya berjalan beriringan memasuki rumah, seperti biasa tanpa disuruh Indri langsung duduk di sebuah sofa di ruang tamu sembari menunggu Arya selesai membuatkan minum untuknya.
            “aku kaget waktu tadi pagi kamu telepon mau datang kesini, ada apa?”
            “sebenernya aku.. mau lihat-lihat koleksi buku kamu, boleh tidak?”
            “kamu kesini cuma buat itu?”
            “iya, nggak tahu kenapa aku ingin baca sesuatu..karena aku nggak punya 
  buku jadi aku bermaksud pinjam buku-buku kamu..”
“itu bagus, kamu mau pinjam buku apa? Aku punya banyak koleksi novel
  bagus..”
“boleh aku lihat-lihat sendiri nggak?”
            “tentu! kamu tahu kan ruangannya dimana? aku mau buat
  makanan dulu”
            “iya..”
Jawab Indri yang langsung saja bergegas pergi ke ruang kerja Arya, disana ada satu rak yang sangat besar dengan deretan buku yang memenuhi hampir setiap sudutnya. Ia melihat judul buku-buku itu satu persatu, kemudian mengambil beberapa buku yang akan ia pinjam nantinya.
            “bagaimana bukunya sudah ketemu?”
            “iya..nih..”
Ujarnya sembari menunjukan tiga buku yang tengah di pegangnya pada Arya. dua buku adalah sebuah novel terjemahan dari penulis ternama Eropa.
            “ternyata selera kamu tidak buruk juga..”
Gumam Arya yang melihat judul buku-buku itu yang memang memiliki cerita yang sangat bagus, tapi pria yang masih mengenakan celemek masaknya itu langsung menautkan alis begitu melihat judul buku ke tiga. Buku yang sudah lama ia beli untuk memenuhi tugas saat ia masih jadi mahasiswa kedokteran di Bandung.
            “buat apa kamu baca buku ini?”
Tanya Arya penasaran.
            “memangnya kenapa kalau aku baca buku itu? aku hanya ingin tahu saja..
  sepertinya menarik!”
“yang seperti ini menarik?”
Tanya Arya lagi sembari menegaskan judul buku itu ke wajah Indri “cara mudah mengenal dan mengobati kanker”.
“memangnya kenapa? Aku suka buku ini! Kamu mungkin tidak tahu dulu aku
  sering membaca buku-buku semacam ini dari kakakku dia juga kan dokter
  sama seperti kamu!”
“benarkah?”
“kalau kamu tidak percaya, kamu tanya saja pada bu Farida atau Ririn! 
  Mereka tahu bahwa aku memang punya kakak seorang dokter!”
Jawab Indri ngotot.
“iya..sudahlah, buat apa kita meributkan hal itu! apa tidak ada lagi yang mau
  kamu cari disini?”
“memangnya kenapa?”
“ayo kita makan, aku sudah menyiapkan makan malam..”
            “nggak usah! Aku langsung pulang saja, nggak enak lama-lama di rumah pria
 lajang yang tinggal sendirian..”
ujar Indri menirukan perkataan Arya beberapa waktu yang lalu.
            “berhenti menirukan apa yang pernah aku katakan padamu! Kamu harus
  makan! Aku sudah lelah membuatkannya untukmu juga!”
sentak Arya sembari melemparkan celemek yang tadi dipakainya ke wajah Indri kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Indri yang masih tertawa geli kemudian duduk di ruang makan yang tampak sedikit aneh dengan candle kecil juga sebotol wine yang menghiasi meja makan. Tak lama Arya datang sambil membawakan dua porsi steak tanderloin buatannya sendiri untuk mereka berdua. Indri hanya memandangi makanan yang baru saja di sajikan Arya untuknya.
            “kenapa kamu hanya melihatnya saja, aku tidak akan memasukan racun
  apapun kedalamnya! ayo cepat dimakan!”
            “apa setiap kamu mengajak perempuan makan malam selalu seperti ini?”
Tanya Indri yang merasa aneh dengan suasana saat itu.
            “memangnya kenapa?!”
            “sudah berapa banyak perempuan yang kamu ajak makan malam disini?”
            “itu bukan urusanmu..sudah makan saja!”
Sentaknya, tapi Indri tak berhenti bertanya sampai membuatnya kesal.
            “apa reaksi mereka waktu makan malam bersamamu?ayo ceritakan padaku?”
            “pertanyaanmu itu membuat selera makanku hilang!”
Sentaknya lagi sembari membantingkan garpu makannya ke atas piring.
            “kenapa kamu marah? Aku kan Cuma bertanya?”
            “benar kamu sangat ingin tahu?!”
 Tanyanya sembari mendekati Indri, dengan tatapan aneh.
            “kamu mau apa?”
            “aku mau memberitahumu tentang apa yang terjadi setelah aku mengajak
  seorang perempuan makan malam di rumahku..”
ujarnya sambil terus mendekati Indri, tatapan matanya begitu nakal. Ia mendekati gadis itu seperti seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya. Tapi si mangsa malah duduk kalem sambil balas menatapnya. Ia mendekat, perlahan. Mengitari meja makan. Semakin dekat sampai tiba-tiba ia jatuh tersungkur ke lantai begitu kakinya tersandung oleh kaki Indri yang sengaja diangkat untuk menghalangi langkahnya.
            “akhhhh...”
Arya mengerang kesakitan sambil berusaha bangkit, tapi bukannya membantu pria itu berdiri Indri malah terus tertawa, sambil mulai memakan makanannya.
            “kamu ini benar-benar perempuan yang menyebalkan, bukannya membantuku
  berdiri malah tertawa seperti itu?!”
            “maaf..habis  kamu lucu..”
Ujarnya yang masih tak berhenti tertawa.
            “terus saja tertawa, sampai hidungmu berdarah!”
Sindir Arya yang kembali duduk di kursinya. Bukannya berhenti Indri malah terus tertawa mendengar sindiran itu sampai akhirnya apa yang dikatakan Arya berubah jadi kenyataan tiba-tiba dari hidung Indri keluar sedikit darah.
            “Aaaa..”
Gumam Indri pelan yang langsung saja berhenti tertawa.
            “apa aku bilang? Hidungmu berdarahkan?”
“apa kamu itu dukun?”
“sudahlah, Pakai ini!nanti darahnya mengenai pakaianmu..”
Jawab Arya yang memberikan serbet makannya pada Indri.
            “makasih..”
            “kenapa hidungmu selalu saja mengeluarkan darah? Apa kamu sakit?”
            “mungkin terlalu cape, aku kan pernah bilang sama kamu kalau ini itu biasa
  terjadi!”
            “jangan lupa aku ini dokter! Aku tidak mungkin langsung percaya omongan
  seperti itu? sebaiknya kamu periksakan lebih lanjut, bisa jadi kamu punya
  penyakit yang cukup parah?”
“kenapa tidak kamu saja yang memeriksaku, kamu kan dokter?!”
“kalau aku sepintar itu mendeteksi penyakit orang aku tidak akan jadi dokter
  melainkan Tuhan! untuk mengetahui kondisi kesehatan tubuh seseorang itu
  perlu peralatan yang mendukung bukan cuma asal tebak karena melihat
  gejala, bagaimana kalau sampai salah diagnosa?bisa di tuduh malpraktek!”
            “iya pak dokter..”
            “besok kamu datang ke rumah sakit saja..biar kita tahu apa penyakitmu!”
            “tidak usah, aku tidak mau merepotkanmu..”
            “tidak apa-apa, biar aku aturkan jadwal pemeriksaan untukmu..”
            “nggak usah!”
Sentak Indri begitu melihat Arya hendak menghubungi seseorang.
            “tapi..”
“aku bilang nggak usah ya nggak usah! Aku bisa pastikan kalau aku memang
  tidak apa-apa..”
ujarnya sembari beranjak meninggalkan rumah itu.
            “kenapa kamu marah, aku kan hanya bertanya? Lagipula ini juga demi
  kebaikanmu...Indri!”
panggil Arya yang tak berusaha mengejarnya. Setelah cukup jauh ia meninggalkan rumah itu, ia baru menyadari sesuatu. Lagi-lagi dirinya melakukan hal bodoh, kenapa ia harus pergi dengan keadaan marah begitu Arya mengungkit masalah kesehatannnya, padahal mungkin jika pria itu tahu bahwa kenyataannya dia memang tidak baik-baik saja ia bisa menemukan jalan keluar dari semua masalahnya itu.
            “tok...tok..tok!!”
Arya masih duduk sambil menghabiskan makan malamnya ketika ia mendengar suara ketukan di pintunya.
            “Tok..Tok!! Tok..tok!!”
Suara ketukan itu semakin keras, dengan langkah gontai ia akhirnya pergi ke depan pintu rumahnya sambil membawa tiga buku yang ditinggalkan Indri di atas meja makan.
            “sudah ku duga kamu pasti kembali, mencari ini kan?”
Ujar Arya pada Indri yang sudah berada di depan pintu rumahnya lagi.      
            “kenapa kamu pergi begitu saja seperti tadi? Aku tidak akan memaksamu untuk
  melakukannya jika kamu tidak mau..”
            “aku minta maaf, bisa minta bukunya? Aku tetap jadi meminjamnya..”
Jawab Indri sembari menundukan kepalanya.
            “ini! Jangan sampai rusak, semua ini  buku-buku kesayanganku!”
            “iya..”
jawabnya singkat sambil tetap menundukan kepalanya.
            “Arya..sebenarnya, aku..”
Gumamnya terbata-bata dengan suara yang sangat kecil.
            “aku..aku..”
            “kamu kenapa?”
            “aku, mau ikut ke air boleh?mendadak nggak enak perut gini!”
            “kamu itu, perempuan yang aneh?”
            “bolehkan?”
Pintanya sambil memelas.
            “iya, sana-sana!!”
Jawabnya ketus, dengan segera Indri begegas pergi menuju kamar mandi, entah kenapa ia tiba-tiba tak bisa memberitahu Arya tentang penyakitnya itu. berat rasanya, ia tak mau terus-terusan menyusahkan laki-laki yang sudah banyak menolong dirinya beberapa waktu ini, ia juga tak ingin terlihat lemah di depan pria yang masih sangat disukainya itu.

            *                                                           *                                                           *

“kamu itu pura-pura tidak mengerti, atau memang bodoh, huh? Untuk apa aku
          berbuat seperti ini padamu!”
tanyanya sambil merangkul kedua lengan gadis itu.
“itu karena aku menyukaimu..”
Akhirnya kata-kata itu keluar, mendadak ku rasakan tubuhku meleleh,begitu ia memelukku, begitu hangat, sampai aku bisa mendengar detak jantungnya. Tiba-tiba semuanya tampak kabur, aku tak bisa berpikir semuanya kosong aku bahkan tak tahu harus berbuat apa yang bisa aku lakukan hanya menikmati saat-saat itu dan berharap bahwa itu semua bukanlah sebuah mimpi.



            “aku benar-benar nggak nyangka? Selamat ya!”
Ujar Indri sembari memeluk Ririn dengan wajah yang tampak ikut bahagia.
            “Aku juga awalnya nggak nyangka kalau dia bakal ngomong kayak gitu..”
            “aku ikut seneng dengernya..”
Ujar Indri lagi sambil kembali memeluk Ririn yang tampak sumringah, kemarin malam memang adalah hari yang istimewa untuknya, entah kenapa tiba-tiba Galih malah menyatakan cinta padanya, padahal yang selama ini dia tahu pria itu hanya menyukai Indri.  Cinta memang tak diduga datangnya seperti apa.
            “makasih..tapi Ndri, kamu beneran nggak apa-apa?”
            “memangnya aku kenapa?”
            “ya, aku takut kamu marah? Selama ini kita tahunya kan Galih itu suka sama
  Kamu! Aku jadi ngerasa nggak enak pacaran sama dia!”
“kamu itu! memangnya aku siapa sampai harus marah?”
            “kamu memang temenku yang paling-paling-paling baik sedunia..”
Ujar Ririn sembari memeluk Indri erat-erat.
            “aku nggak bisa nafas!”
Gumam Indri sengal.
“oh iya, gimana hubungan kamu sama pak dokter itu?”
            “gimana apanya?”
            “akh..jangan pura-pura nggak ngerti! aku tahu kamu suka kan sama dia?”
            “enak aja, dia tuh yang suka sama aku bukannya aku!”
            “kamu tuh ya..”
keduanya tertawa bersama sambil kembali berpelukan riang. rasanya menyenangkan jika kita mempunyai seorang teman yang mau berbagi kesedihan maupun kesenangan yang kita rasakan, mereka selalu ada bahkan disaat kamu tak mengharapkannya.  Mencintaimu tanpa pamrih, bahagia melihat dirimu tersenyum dan merasa sakit ketika melihatmu dalam kesusahan. Orang lain yang menghargaimu lebih dari saudaranya sendiri. Aku merasa bersyukur pada diriku karena biar seberapa sulit hal buruk yang harus aku hadapi aku masih mempunyai satu yang seperti itu.           

            *                                                           *                                               *


ketika ia sedang asyik mengobrol dengan Ririn di ruang itu, tiba-tiba handphonenya berbunyi sebuah panggilan dari pria yang baru saja mereka bicarakan.
            “hallo..”
Jawab Indri begitu mengetahui pria itu menghubunginya.
            “hallo, apa kamu sedang sibuk?”
            “tidak, aku sedang siap-siap pulang, memangnya kenapa?”
            “rasanya aneh kalau membicarakan ini di telepon! bisa kita bertemu nanti
  sore?”
“memangnya ada apa?”
“bisa tidak?!”
Tanyanya ketus di ujung telepon.
            “mau ketemu dimana?”
            “di rumahmu saja, nanti sepulang bekerja aku kesana!bagaimana?”
            “kalau begitu datang saja!”
            “ya sudah, aku tutup teleponnya dulu!”
            “iya..”
Jawab Indri pelan, sambil masih meletakan handphonenya di telinga ia terus mengira-ngira tentang apa yang hendak  dikatakan pria itu padanya sore nanti, mungkin sesuatu yang penting.
            “dari siapa?”
Tanya Ririn yang melihat gadis itu melamun.
            “dari dia..”
            “ada apa?”
            “aku juga nggak tahu, dia minta ketemu di rumahku sore ini!”
            “apa jangan-jangan dia mau nyatain cinta juga sama kamu?”
Ujar Ririn berandai-andai.
            “kamu ini ngaco, mana mungkin seperti itu?”
            “mungkin saja..sesuatu kan datangnya suka nggak terduga?”
            “nggak mungkin!”
            “ nggak percaya kalau dibilangin! Berani taruhan nggak, dia pasti mau
  nembak kamu!”
“boleh! Kalau ternyata nggak kamu harus traktir aku makan di restoran jepang
  langgananku dulu!”
“oke! Kalau kamu kalah kamu harus beliin aku baju yang waktu itu aku tunjukin   
  sama kamu, gimana?”
“oke! Aku jadi lapar, wangi Shabu-shabunya sudah mulai kecium nih!”
“jangan mimpi! Pasti aku yang menang!”
Sesumbar Ririn yang tampak yakin bahwa Pria itu memang mau menyatakan cintanya pada Indri.
            “sana-sana! Aku bener-bener nggak sabar pengen tahu hasilnya?”
“kalau gitu aku pulang dulu!”
Pamit Indri yang bergegas pulang ke rumahnya, ia juga masih merasa penasaran, apa benar pria itu mau bertindak seperti yang dikatakn Ririn padanya tadi, kalau iya? Bagaimana ia harus menanggapinya nanti. Tapi kalaupun memang bukan itu yang mau dibicarakannya. Kira-kira hal apa yang sangat penting sampai pria itu mau menemuinya. Sambil duduk di ruang tengah rumahnya Indri terus menunggu pria itu datang. Tak jarang ia melihat jam dindingnya sembari terus menunggu.
            “Assalamualaikum..”
Akhirnya pria itu datang, dengan sigap Indri langsung menyambutnya.
            “Waalaikumsalam!”
Jawabnya yang tampak senang namun juga kikuk.
            “ayo masuk! Mau minum apa?”
            “kamu kenapa? Sikapmu aneh sekali?!”
Tanya Arya yang melihat wanita itu tampak serba salah.
            “memangnya aku kenapa? Oh iya, kamu belum jawab pertanyaanku, mau
  minum apa?”
sanggahnya terbata-bata.
            “terserah kamu saja..”
            “kalau gitu kamu tunggu sebentar aku siapin dulu minumnya!”
Pria itu hanya mengangguk kemudian duduk. sambil menunggu minumannya datang, ia menyapa Dion yang tengah sibuk bermain bersama boneka pemberiannya, gadis kecil itu masih tetap tidak mau bicara. Ia hanya tersenyum dan pindah kepangkuan Arya sambil tetap bermain dengan bonekanya.
            “maaf sudah membuatmu menunggu!”
Tak lama Indri datang sambil menyuguhkan segelas teh manis hangat untuknya.
            “kamu bicara seperti orang lain saja! aku minum ya!”
Jawab Arya yang keheranan sembari menyeruput teh manis yang masih panas.
            “apa yang mau kamu bicarakan di telepon tadi?”
            “itu, sebenarnya aku sedikit tidak enak mengatakannya, tapi sabtu depan apa
  kamu bisa ikut denganku?”
“ikut kemana?”
“ke rumahku..”
“aku pikir apa?memangnya rumah kamu kenapa sampai repot-repot datang
  kesini?”
“maksudku bukan rumah yang disini tapi rumah ibuku di bekasi..”
“bekasi? Buat apa aku kesana?”
“kamu ingat kejadian diacara pernikahannya Radith?”
“Radith? Kakak laki-laki kamu itu!”
“hm! Waktu itu aku tidak sengaja mengatakan bahwa kamu adalah pacarku..”
“iya, terus apa hubungannya dengan pergi ke rumahmu?”
“kemarin ibuku meminta kita datang ke rumah, katanya dia ingin lebih
  mengenalmu!” 
mendengar hal itu Indri hanya menautkan alisnya.
            “kenapa kamu tidak katakan saja kalau itu bohong?”
            “aku tidak mungkin mengatakan hal itu..”
            “bilang saja kalau aku tidak bisa ikut!”
            “sudah terlanjur bilang iya, tidak mungkin membatalkannya lagi..”
            “kenapa kamu seenaknya seperti itu?!”
Tanya Indri kesal.
            “aku juga tidak mengerti, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku!”
Balas Arya sedikit membentak.
            “bagaimana? Kamu bisa ikut kan?”
            “apa boleh buat?! Aku menolakpun kamu juga akan tetap memaksa kan?!”
“Pintar..tidak apa-apakan?”
Pria itu hanya tersenyum sambil mengelus-ngelus kepala Indri.
            “mau gimana lagi??!..”
Jawabnya malas sambil memalingkan muka, entah kenapa meskipun wajahnya tampak kesal tapi di dalam hati Indri merasa sangat senang. Pria itu mau mengenalkannya pada orang tuanya, bukankah pertanda baik. Tapi semuanya masih belum pasti karena sampai sekarang baik Arya ataupun Indri tak ada yang mau mengakui perasaannya terhadap satu sama lain. Ketika ketiganya tengah asyik duduk sambil menikmati makanan & minuman yang disediakan Indri. Tiba-tiba Fira datang dengan dikawal seorang pria yang sering mengantar jemput Fira dari tempat kerjanya. pria itu terlihat sangat kesal ia menyeret Fira ke rumahnya sambil menjambak rambut gadis itu.
            “ayo cepat!”
Sentaknya sambil membantingkan Fira ke pintu.
            “i-y-a..”
Jawabnya terbata-bata dan tampak ketakutan. Dengan segera Fira membuka pintu rumahnya tampak Arya, Dion, dan Indri tengah duduk ruang tengah sembari menonton acara anak-anak di televisi.
            “Indri..”
Panggil wanita itu sambil ketakutan.
            “ada apa lagi?”
Tanya Indri yang sudah bosan dengan semua masalah yang dibuat Fira.
            “dimana lu naruh barang gw?”
            “barang mana?”
            “alah, jangan pura-pura nggak tahu!!”
            “aku memang nggak tahu, barang yang mana yang kamu maksud!!”
Jawab Indri balas menyentak pria itu.
            “heh!! Ngomong donk lu!!”
Pria itu malah membentak Fira yang sedari tadi tak mau bicara.
            “bungkusan yang waktu itu gw kasihin lu, lu taruh dimana?”
            “bungkusan mana?”
            “yang isinya baju..”
            “itu, memangnya kenapa?”
 “itu punya gw, gara-gara lu tahu gw jadi ribut sama bini gw! ada yang
  ngomong sama gw kalau tu bungkusan di ambil sama si Fira!!”
Ujarnya kesal sembari hendak memukul Fira.
“ udah-udah jangan ribut disini!”
Lerai Indri sembari masuk kedalam kamarnya, kemudian mengambil bungkusan yang pernah diberikan Fira untuknya sebagai hadiah ulang tahunya kemarin. Pantas saja ia merasa sedikit heran ketika kakak perempuanya itu memberikannya hadiah, jarang sekali.
            “ini bukan!!”
            “sini mana gw lihat!”
Ujar pria yang sering dipanggil codet itu sembari mengambil bungkusan di tangan Indri.
            “belum lu apa-apain kan?”
            “belum!!!!”
            “lu tuh ya barang temen sendiri lu embat juga!!!”
Sindir pria itu pada Fira yang tetap tak bergeming.
            “udah..pulang sana!!”
Usir Indri sambil mendorong pria itu keluar rumah.
            “thanks bro!! kakak lu emang parah!!”
            “hati-hati sama omongan lu! Udah sana pergi!!!”
            “oke..oke!!!”
Ujar Pria itu dengan tampang bingar, sementara Indri hanya menghela nafas sambil kembali masuk ke dalam rumah. Diliriknya Fira yang terus diam sambil menundukan kepalanya, ia sudah benar-benar angkat tangan dengan kelakuan kakaknya yang satu ini. Rasanya kesal sekali, tapi entah kenapa ia tak bisa memarahinya.
            “maaf karena sudah membuatmu melihat hal ini, bisa kamu pulang
  sekarang!”
 pinta Fira pelan pada Arya sambil tetap menundukan kepalanya.
            “buat apa kamu menyuruhnya pulang? Dia itu tamuku!”
            “tidak apa-apa, lebih baik aku pulang..”
Ujar Arya seraya beranjak dari duduknya, kemudian pergi meninggalkan tempat itu. ia tak mau menganggu pembicaraan kedua kakak beradik itu. hening. Indri hanya duduk sambil menemani Dion menonton acara anak-anak di televisi sementara Fira tetap tak bergerak dari tempatnya berdiri.
            “gw minta maaf..”
Ujarnya pelan. Tapi Indri tak menghiraukannya.
            “gw mana tahu kalau itu milik si codet...dia..”
            “sudahlah, aku nggak mau dengar alasan apapun dari kamu..”
Jawabnya dingin tanpa mau melihat wajah Fira.
            “sampai kapan kamu akan terus seperti ini??aku tidak pernah memintamu untuk
  memberikanku hadiah, jadi berhenti mempermalukan dirimu sendiri!kalau kamu
  terus seperti ini, aku tidak tahu lagi apa jadinya jika aku sudah tidak ada..”
“maksud lu apa? Memangnya lu mau pergi kemana?”
Tanya Fira yang tak mengerti dengan ucapan adiknya itu.
            “jangan bilang kalau lu mau ikut tinggal sama si Farid?!!!”
            “jangan asal ngomong? Siapa yang bilang aku mau tinggal disana?!”
Sentak Indri segera.
            “terus apa maksud omongan lu tadi,Huh?!!!”
            “kamu ini? Memangnya aku harus terus tinggal bareng kamu seumur hidup? Aku
  ini manusia biasa, ada saat dimana aku nggak mungkin nemenin kamu terus,
  aku juga punya kehidupan sendiri..”
“maksud lu itu apa sih?!!”
            “aku ini juga perempuan gimana kalau ada saatnya aku harus menikah? Kamu
  mau punya adik perawan tua?”
bentaknya lagi.
            “apa? Memangnya siapa yang mau nikahin lu? Dokter itu?!!”
Tanya Fira sambil memperoloknya.
            “kamu ini?! Sudah makan belum? Tadi aku beli nasi padang..”
            “dimana?”
            “di dapur! Udah sana makan dulu!!
Bentaknya sambil kembali sibuk menonton Televisi bersama Dion. Fira yang memang sudah sangat lapar langsung saja bergegas pergi ke dapur untuk mengambil nasi bungkus tersebut. Sambil melahap makanannya ia teringat perkataan ibunya juga Farida.
            “kalau lu nggak ada...nggak ada gunanya gw hidup..”
Gumam Fira lirih sambil menatap nasi bungkus itu dengan matanya yang mulai tampak basah. 
           
*                                                           *                                                           *

Suara serangga malam hari mengiringi lembaran-lembaran kertas itu, Indri larut dalam cerita Novel yang ia baca.  Dan saat tiba di halaman terakhir  seperti novel sebelumnya ia tak berani menyelesaikan akhir cerita itu.
            “gatal!!!”
Gumamnya kesal sembari mengaruk garuk kedua lengannya yang tak berhenti di hinggapi nyamuk. Tapi saat ia membuka lengan bajunya makin jauh ia melihat ada banyak bercak keunguan di kedua tanganya, Seperti bekas terbentur sesuatu tapi ia tak merasakan apapun.  ia kembali teringat dengan penyakitnya. Ini sudah hampir dua minggu sejak ia memeriksa kesehatannya terakhir kali, dan sejak saat itu ia belum pernah memeriksakan kondisinya lagi.
            “ini gejala umum yang sering terjadi untuk penderita leukemia seperti kamu..”
            “leukemia?”
“melihat gejala yang muncul kemungkinan besar ini memang leukemia..”
“leukemia nggak parah kan dok?”
            “kamu sudah melakukan pengobatan apa saja?”
Tanya dokter tersebut sambil memeriksa hasil pemeriksaannya.
            “saya hanya baru meminum obat ini?”
Jawabnya sembari menunjukan obat yang pernah diberikan dokter lain padanya.
            “maksudmu, selama dua minggu ini kamu hanya minum obat ini saja?”
            “iya..”
            “obat ini tidak akan terlalu membantu untuk penyembuhan, ini hanya berguna
  untuk meringankan rasa sakit yang diakibatkan penyakit ini, kamu harus segera
  menjalani pengobatan jika tidak mau penyakitnya semakin parah..”
            “iya, dokter...”
            “sekarang kamu ke bagian lab untuk tes darah! Oh iya sebaiknya
  kamu juga mulai berhenti melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang 
  menguras banyak tenaga..itu tidak baik untuk kondisi fisik penderita leukimia”
            “baik, terima kasih dok!”
            “sama-sama..”
Pamit Indri sembari meninggalkan ruangan itu. apa yang harus dilakukannya, kemana ia harus meminta bantuan. Kalau ia terus membiarkan kondisinya seperti ini kemungkinan semuanya malah akan semakin buruk dan mungkin hidupnya benar-benar tak akan berlangsung lama.

Aku mulai putus asa,Tuhan
tak tahu harus memulainya dari mana
kau menunjukanku pada banyak jalan
tapi akhirnya
aku tetap merasa semua jalan itu seperti buntu

No comments: