# KADO ULANG TAHUN
matahari sudah sangat terik, ketika ia selesai mencuci beberapa pakaian
Dion, Fira dan juga miliknya sendiri sambil merendamnya dengan cairan pewangi
di sebuah ember besar Indri langsung mulai mencuci piring-piring kotor bekas
makan kemarin malam, sementara Dion di asuh Farida yang memang sedang tak sibuk
hari itu. ia membereskan setiap sudut rumah kontrakannya seorang diri karena
kebetulan juga hari itu Fira tidak pulang, kalau ada dia Indri jadi tak leluasa
bekerja kakak perempuannya yang satu ini sangat suka bermalas-malasan saat
berada di rumah, semua barang dibuatnya berantakan, makan seenaknya dan
menyuruhnya seenaknya pula.
Mereka memang tak pernah akur, dari kecil selalu saja bertengkar
memperebutkan hal-hal kecil. Tapi biar
bagaimanapun saat ini keduanya harus terus bersama karena yang mereka punya
hanya satu sama lain.
“ada surat?”
Gumam Indri yang melihat sebuah amplop tergeletak di bawah pintu
rumahnya.
“surat dari mana?”
Tanyanya penasaran pada diri sendiri sambil merobek ujung amplop. Ketika
membaca isi surat tersebut, Indri hanya menautkan kedua alisnya. Sebuah surat
dari rumah sakit berisi laporan kesehatan atas namanya. Dan begitu ia selesai membaca surat itu ia
langsung menyimpannya di bawah tumpukan pakaian di dalam lemari kayu di
kamarnya. Ia tampak sedikit melamun, sambil kembali mengerjakan pekerjaan
rumahnya.
* * *
“tok..tok...tok!!!”
Arya langsung meninggalkan pekerjaannya di dapur begitu ia mendengar
suara pintu rumahnya di ketuk dari luar, seorang tamu yang sengaja datang
menemuinya hari itu sambil membawa beberapa rantang makanan kesukaannya.
Pakaiannya rapih. Rambutnya yang kecokelatan terurai menutupi bahunya. Ia
berdiri sambil menunggu si pemilik rumah membukakan pintu untuknya.
“Vina?”
Sapa Arya yang terlihat keheranan begitu melihat wanita itu berdiri di
depan pintu rumahnya.
“apa aku boleh masuk?”
Tanya wanita itu sambil melirik ke dalam rumah.
“tentu, ayo masuk!”
“rumah kamu besar juga
ya?”
Ujarnya sembari melihat ke sekeliling rumah itu, dan berhenti di ruang
tamu.
“silahkan duduk..”
“makasih, apa
kedatanganku menganggu?”
“tidak! Tapi ada apa
kamu tiba-tiba datang kerumahku?”
“aku cuma mau nganterin
ini, ibu sendiri yang membuatkannya untukmu”
Ujarnya sembari memberikan rantang makanan yang sedari tadi di
tentengnya.
“terima kasih.. kamu
harusnya tidak usah repot-repot mengantarkannya
kemari?”
“nggak
masalah, lagipula aku juga ingin melihat keadaanmu..”
“aku baik-baik saja,
kamu tidak perlu khawatir.. bagaimana hubunganmu
dengan
Radith?”
“kami baik, kamu
sendiri? Bagaimana hubunganmu dengan gadis yang kamu
bawa ke
pernikahan kami itu?”
“maksudmu Indri?
Hubungan kami sedang kurang baik sekarang..”
“kenapa?”
Tanya Vina yang masih penasaran dengan kedekatan keduanya.
“apa karena aku? Apa
kamu masih belum bisa melupakan semuanya?”
“bukan karena itu,
jujur.. aku bahkan sudah tak memikirkannya lagi..”
Jawabnya sambil tersenyum lirih.
“apa itu berarti kamu sudah memaafkan kami?”
“maaf itu terlalu mudah, tentu! Aku rasa, aku sudah
mulai memaafkan kalian
berdua?”
“syukurlah, aku
benar-benar merasa lega..”
Gumam Vina sambil tersenyum.
“apa kamu senang
sekarang?”
Tanya Arya begitu dingin ketika melihat ekspresi wanita itu.
“tentu,
harusnya kamu tahu? Selama ini kami terus merasa bersalah
terhadapmu?”
“kalian memang harus merasa seperti itu..”
“Arya, apa kamu marah?”
Tanya Vina yang melihat air muka Arya yang tiba-tiba tak bersahabat.
“Kamu tahu,vin? Aku baru menyadari sesuatu.. ternyata
melupakan seseorang
itu lebih
mudah ketimbang mencintainya.. “
“Arya..kamu..”
“sudahlah! Sebaiknya kamu pulang saja! tidak
seharusnya kamu datang
kemari?”
“benar bukan seperti
itu! aku harap kamu tidak salah paham tentang
ucapanku tadi?”
“terserah apa katamu
saja?”
Jawabnya malas sambil membuang muka.
“lebih baik aku pulang,
kalau ada waktu datang ke rumah ibu ingin tahu
kabarmu..”
“hmmm..”
“aku pulang..”
Ujarnya sambil beranjak dari tempat duduknya, kemudian pergi
meninggalkan Arya yang masih duduk di ruang tamu, moodnya kembali buruk. Ia
memang sudah tak terlalu memikirkan wanita itu. tapi tetap saja ia tak bisa
begitu saja memaafkan apa yang telah mereka lakukan padanya. Dia hanya manusia
biasa marah itu pasti ada. Itu hal yang alami dan lumrah atas apa yang sudah
terjadi diantara mereka.
“tok...tok...tok!!!”
Tiba-tiba ia mendengar pintunya kembali di ketuk dari luar.
“ada apa lagi?!!”
Sentaknya sambil membuka pintu, dan berpikir bahwa wanita itu kembali
lagi.
“wess...santai aja
donk! Kenapa mesti nyolot gitu?”
Jawab orang yang ada di balik pintu rumahnya dengan nada yang sama.
“maaf, saya pikir
siapa? Gimana kalian bisa kesini?”
Tanya Arya pada kedua orang itu yang tak lain adalah Ririn dan Galih.
“rahasia donk!
Ngomong-ngomong nggak enak kalau ngobrol diluar kayak
gini..”
Sindir Galih sambil menengteng kedua tangannya di pinggang.
“maaf.. ayo masuk!”
“rumahnya gede banget?”
Gumam kedua orang itu ketika mereka masuk kedalam sana.
“silahkan duduk, kalian
mau minum apa?”
“apa aja juga boleh!”
“air kobokan boleh?”
Arya coba membuat gurauan, tapi keduanya hanya merespon tanpa ekspresi.
“si Arya coba
ngelucu?nggak mempan bro!”
“kalau itu silahkan yang punya rumah saja yang minum!”
Jawab keduanya sambil mulai tertawa.
“kalian ini!”
Gumam Arya dongkol sambil membuatkan minuman untuk keduanya.
“ ada apa?”
“kami kesini mau ajakan
kamu jadi tim kreatif..”
“tim kreatif?”
“bentar lagi Indri kan ulang tahun, aku sama Galih mau bikin surprise
party gitu?”
“ulang tahun?”
“Hooh, kamu mau ikutan
nggak?”
“kalian ini seperti
anak kecil saja? memang masih jaman ya bikin yang kayak
gituan?”
“kami kesini bukan buat denger ejekan kamu! Mau ikutan
nggak?”
Sentak Galih.
“memang kapan hari
ulang tahunnya?”
Tanya Arya sedikit penasaran.
* * *
Tangannya gemetar, ia duduk sambil menunggu namanya di panggil ke dalam
ruangan, matanya tampak kosong. Sambil berusaha membuat dirinya tetap tenang
Indri terus menunggu hasil tesnya keluar.
“ibu Indri, silahkan
masuk!”
Panggil seorang perawat padanya.
“iya..”
Tangannya masih sangat gemetar, rasanya begitu dingin ketika ia memasuki
ruangan itu, bau obat menyeruak membuatnya sedikit kesulitan bernafas di dalam
sana. Tampak seorang dokter sudah menunggunya..
“silahkan duduk!”
“bagaimana hasilnya dok?”
“kemungkinan besar ini
memang kanker.. sebaiknya kamu segera menjalani
perawatan,
untuk penanganan yang lebih tepat..”
ia hanya menghela nafas, sembari menyandarkan badannya pada kursi.
“kira-kira berapa
biayanya dok?”
“saya juga kurang tahu,
mungkin bisa mencapai jutaan..”
“jutaan itu kira-kira berapa?”
“itu bukan kewenangan
saya, tapi yang penting kamu harus segera berobat,
masalah biaya sebaiknya
kamu bicarakan hal ini dengan keluargamu..”
“saya mengerti, terima kasih dok!”
Pria itu hanya mengangguk ramah sambil mempersilahkannya keluar
meinggalkan ruangan itu, Ia masih tampak melamun sembari membawa hasil tes
kesehatannya, itu adalah hasil tes ketiga dari tiga rumah sakit berbeda yang ia
datangi dan semua hasil yang ia terima tetap sama. Indri menghela nafas
panjang. Hidupnya tamat. Ia merasa semakin tak berguna. Semuanya akan percuma
saja, hidupnya hanya akan percuma saja.
Dengan langkah longlai Indri berjalan pulang, wajahnya lesu. Ia berjalan
sedikit demi sedikit menuju rumahnya melewati sebuah gang sempit yang panjang,
gelap, juga sepi. tak ada siapapun selain dirinya dan seorang pria yang tengah
berdiri di samping tiang lampu dengan jaket tebal juga masker yang menutupi
hampir seluruh wajahnya. Dari jauh Indri terus memperhatikan orang tersebut
yang tak bergerak atau beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri, ia hanya
diam seperti sebuah patung. Tapi begitu Indri berjalan tepat di hadapannya
tiba-tiba pria itu langsung membekap mulutnya dengan sebuah sapu tangan. Sontak
saja Indri langsung terkejut dan berusaha melepaskan diri tapi tiba-tiba datang
seorang yang lain dengan jaket tebal dan masker yang menutupi wajahnya pula.
orang itu membantu temannnya mengikat kedua lengan Indri kebelakang, kemudian
menutup mata Indri dengan sebuah kain percak dan membekap mulutnya dengan
lakban hitam. Indri tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya terus meronta ketika
kedua orang tadi mulai mendorongnya masuk kedalam sebuah mobil pick up berwarna
putih, tak terdengar apapun selain suara
deru mobil. Entah berapa orang yang sedang berada di dalam mobil itu, mau
kemana mereka, dan apa yang hendak mereka lakukan kepadanya, Indri terus
bertanya dalam hati sambil merasakan hawa dingin yang mulai terasa begitu
menusuk. Lama mobil itu melaju, dan akhirnya berhenti di sebuah gedung. Pukul
11.30 mereka mulai memaksa Indri turun
dari mobil dan mengawalnya masuk ke dalam gedung tersebut. Gelap tak ada
siapapun disana, Indri merasa semakin ketakutan dengan mata dan mulut yang
masih tertutup juga tangan yang terikat kedua orang tadi membawanya masuk
kedalam sebuah lift. Lantai 30. Mereka kembali memaksa Indri menaiki beberapa
anak tangga, dan kemudian berhenti tepat didepan sebuah pintu, salah satu dari
mereka membukakan pintu itu. dingin. begitu pintu terbuka tiupan angin yang
cukup kencang langsung menerpa tubuhnya. Indri semakin merasa takut, tapi
kemudian pria itu mulai melepas lakban dimulutnya.
“kalian itu siapa? Apa
yang mau kalian lakukan?!”
Sentak Indri begitu lakban di mulutnya terlepas. Tapi keduanya tak
menjawab, mereka malah terus mendorongnya untuk melewati pintu itu dan memapah
Indri menuju ujung Balkon. Hawa dingin terus menusuk wajahnya. Tiba-tiba ikatan tangannyapun ikut dilepaskan.
Tapi pria yang tepat berada di belakangnya tetap menarik lengan Indri ke
belakang, berjaga-jaga agar perempuan itu tak berusaha melepaskan penutup
matanya.
“kalian siapa? Apa
maksud kalian sebenarnya?”
Tanya Indri yang makin merasa takut juga penasaran.
“nanti juga kamu tahu
sendiri..”
Jawab salah seorang diantara mereka yang kemudian meninggalkannya begitu
saja, pria itu mulai melepaskan masker di wajahnya dan membantu teman mereka
yang masih sibuk mempersiapkan semuanya.
“jangan coba-coba
melepaskan penutup matamu, kalau tidak mau mati!”
Ancam pria di belakangnya yang kemudian ikut melepaskan masker dan
kumpluk jaket yang menutupi wajahnya selama ini. Perasaannya sudah mulai tak
enak, suara yang ia dengar tampak tak asing di telinganya, pukul 11.59 sudah
waktunya pria itu melepaskan penutup mata Indri. Gelap awalnya semua tampak
samar begitu ia membuka mata, tapi lama kelamaan semuanya semakin jelas. Indri
terkejut begitu mendapati dirinya sudah berada diujung loteng di sebuah gedung yang
sangat tinggi, ia bahkan hampir saja terjatuh jika pria yang berada
dibelakangnya tidak segera menahan tangannya.
“jangan banyak bergerak, lihat saja ke bawah!”
Bentak pria itu sembari tetap memegang lengan Indri, dan tak
membiarkannnya menengok ke belakang. Begitu Indri melihat ke bawah ia langsung tersenyum senang, dengan mimik muka yang masih
kebingungan dan mata yang tampak berkaca-kaca. Sebuah ucapan selamat ulang
tahun di tengah jalan yang dibuat dari lampu-lampu kecil berbentuk bintang.
Tepat pukul 12.00 tiba-tiba dari balik pintu loteng muncul Galih juga Ririn
yang membawa sebuah chesse cake kecil sambil menyanyikan lagu selamat ulang
tahun untuknya. Indri tercengang. Matanya semakin basah, ia terus tersenyum
gembira sambil tak berhenti menangis.
“jangan nangis! Ayo
cepat tiup lilinnya?”
Pinta Ririn yang mulai pegal membawa cake sambil menutupi lilin-lilin
diatasnya supaya tak tertiup angin.
“kamu tidak membuat
permohonan?”
Tanya Galih yang melihat Indri langsung meniup lilinnya.
“tidak perlu..”
Jawab Indri kalem sambil tersenyum simpul.
“sekarang ayo kita
makan kuenya!”
Celetuk Arya tiba-tiba sembari mengambil cake yang sedari tadi dibawa
Ririn kemudian berusaha memotongnya menjadi beberapa bagian.
“makasih ya? Aku benar-benar tidak
menyangka kalau kalian akan membuat
kejutan
seperti ini?”
“sama- sama, selamat ulang tahun ya!”
Ujar Ririn sambil memeluknya kemudian memberikan sebuah bingkisan yang
begitu besar.
“ini apa?”
“buka aja!”
Dengan segera Indri membuka bingkisan itu, sebuah boneka pucca yang hampir
sebesar Dion.
“ini bagus! Makasih ya
Rin!”
“pastinya
donk! Kamu tahu aku nyarinya susah banget, tapi karen aku tahu
kamu suka banget sama yang kayak beginian
jadi rasanya nggak sia-sia! ”
Jawabnya sambil mengkerutkan dahinya, tapi tersenyum kemudian.
“selamat ulang tahun
ya..”
Galih ikut memberikan ucapan selamat untuknya, kemudian memberikan
sebuah kado.
“ini terlalu mahal, aku
jadi nggak enak kalau harus menerimanya?”
Ujar Indri ketika tahu bahwa kado itu berisi sebuah kamera digital.
“nggak apa-apa, aku sengaja menabung hanya untuk
membelikanmu itu, jadi
kamu harus menerimanya!”
“tapi?”
“terima saja! aku harap kamu senang?”
“makasih..”
Jawab Indri yang semakin merasa canggung terhadap pria itu.
“heh Arya! mana hadiah
yang mau kamu kasih ke Indri?”
Panggil Ririn yang melihatnya terus saja sibuk memakan kue ulang tahun
milik Indri.
“hadiahnya ada di mobil, aku lupa membawanya kesini?
Nanti saja tidak apa-
apakan?”
“kamu ini gimana sih!”
“nggak apa-apa dia
orangnya memang seperti itu?”
jawab Indri ketus sambil memeluk boneka pucca yang baru diterimanya.
“disini dingin ya!”
“kalau begitu sebaiknya kamu pakai ini!!!”
Ujar Arya & Galih serentak sambil berusaha memakaikan jaketnya pada
gadis itu, Indri hanya merenggut dan tak tahu harus menerima milik siapa. Kedua
orang tadi saling memandang sinis satu sama lain, berharap salah satu diantara
mereka ada yang mau mengalah.
“pakai ini aja Ndri?
Kebetulan tadi aku bawa dua?”
Suguh Ririn sambil mengeluarkan sebuah kardigan di dalam tasnya.
“makasih..untung aja
ada kamu!”
Tanpa basa-basi Indri langsung menerima kardigan itu dan memakainya,
sementara kedua orang tadi masih saja saling beradu mata. Sambil menghabiskan
malam keempatnya asyik mengobrol dan menghabiskan makanan mereka ditemani
pemandangan malam yang tampak gemerlapan dari atas sana. Dia tersenyum, sebuah senyuman yang membuatku
sedikit sulit bernafas, wajahnya yang kecil tampak sangat menawan malam itu,
matanya yang kelelahan menatap sekilas
kearahku, tapi aku hanya bisa balas tersenyum kearahnya. Wanita itu, aku mulai
mencintainya.
* * *
“sebaiknya kita pulang? Ini sudah hampir pagi? Aku
ngantuk banget!”
Ajak Ririn pada ketiganya yang juga sudah terlihat sangat mengantuk.
“kalau begitu ayo!”
Jawab Arya yang mulai beranjak dari tempat duduknya, kemudian berjalan
menuju pintu loteng. Mereka menaiki sebuah lift turun ke bassment dan
menghampiri mobil pick up berwarna putih yang kemarin dibawa ketiganya untuk
menculik Indri.
“ayo cepat naik!”
Panggil Galih sambil menghidupkan mesin mobilnya, Arya duduk didepan bersamanya
sementara Indri dan Ririn duduk dibelakang. Di perjalanan pulang Ririn &
Indri tampak pulas tertidur sementara Galih & Arya sibuk bergantian
menyetir mobil. Dan ketika mereka sampai
di jalan Raya dekat gang rumah Indri..
“beneran kamu mau turun
disini?”
Tanya Galih pada Arya yang juga ikut turun di gang rumah Indri.
“iya! Sudah sana kalian
pulang saja!”
Sentaknya pada pria itu yang terlihat sangat tidak senang.
“udahlah, jangan ribut
lagi! Kita pulang saja! aku udah cape banget nih?”
Sengor Ririn dari arah belakang yang sangat-sangat-sangat terlihat
mengantuk.
“kita pulang dulu ya
Ndri?”
“iya, hati-hati
dijalan..”
Jawabnya sambil melambaikan tangan begitu mobil itu melaju meninggalkan
keduanya.
“kenapa kamu juga ikut
turun disini?”
Tanya Indri sinis sambil masih membawa boneka pucca & kamera yang
diberikan teman-teman kerjanya.
“memangnya tidak boleh
aku turun disini?”
“bukan begitu, hanya
saja..”
“sudahlah, kemarikan
tanganmu!”
“buat apa?”
“aku kan sudah bilang
mau memberikan hadiahmu nanti?dimana ya?”
Ujar Arya sambil mengodok isi kedua saku jaketnya.
“loch? Bukannya kamu
bilang itu ada di dalam mobil?”
“aku bohong! Apa kamu
tidak pernah lihat orang berbohong?”
“kenapa?”
“itu karena aku tak mau
orang lain tahu..”
“bukan itu! kenapa kamu
menyuruhku menyodorkan tangan seperti ini?”
“nanti juga kamu tahu!
Akhirnya..ketemu!”
Gumamnya pelan sembari mengenggam hadiah itu dan menaruhnya diatas
tangan Indri.
“selamat ulang tahun..”
“ini kalung?”
“yup, bagus kan?”
“emas bukan?!”
Tanya Indri polos sambil melihat liontin kalung itu yang terbuat dari
batu kristal berbentuk bintang, didalamnya ada ukiran seperti sepasang sayap
kecil.
“kamu itu tidak sopan!
Sudah pakai saja! jangan coba-coba
Menghilangkannya,
Kalau kamu tidak mau mati!”
Ancam Arya dengan perasaan dongkol.
“iya, gitu aja marah?
Bisa tolong pegang ini dulu?”
Pintanya sambil memberikan boneka pucca dan kamera yang terus
ditengtengnya.
“kamu mau apa?”
“aku mau pake
kalungnya! Pegangin bentar aja masa nggak mau?!”
Sentak Indri yang berusaha memakai kalung itu.
“makasih ya..ini
bagus!”
Gumam Indri pelan kemudian.
“sama-sama, kalau gitu aku pulang dulu!”
“loch? Nggak ikut ke
rumah dulu nih?”
“nggak usah..sampai
nanti..”
“hmm..”
Pamit Pria itu sambil sedikit mengelus kepala Indri dan langsung
meninggalkannya.
hari sudah semakin pagi, orang-orang sudah sibuk memulai aktifitas
mereka. Sementara Indri baru sampai di depan rumah kontrakannya, ia hanya
menautkan alis begitu mendapati sepasang sepatu pria di depan pintu rumahnya.
“assalamualaikum..”
Salam Indri dari balik pintu sembari melepaskan sepatu skeetnya.
“waalaikumsalam..”
Jawab seorang laki-laki dari dalam rumah begitu Indri sampai di ruang
tengah.
“kak Farid?”
Panggilnya keheranan saat ia melihat Kakak laki-lakinya tengah duduk
berbincang dengan Fira yang terus saja memalingkan wajahnya dari pria itu, ia
begitu benci sampai tak mau melihatnya.
“ngapain kak Farid
kesini?”
Tanya Indri yang tak kalah sinis sambil duduk diantara mereka.
“sampai kapan kalian
mau seperti ini?”
“sebaiknya kakak pulang
saja! percuma datang kesini..”
Jelas Indri pelan.
“kalian belum bisa
memaafkanku?”
Keduanya hanya diam.
“terserah kalian saja,
tapi aku hanya ingin memberi tahu kalau ayah sudah
ketemu,
sekarang dia tinggal bersamaku..”
“apa dia baik-baik saja?”
Tanya Indri yang sedikit penasaran dengan kabar pria yang sudah hampir 7
tahun tak ditemuinya itu.
“ngapain sih kamu tanya
tentang orang itu?!”
Sentak Fira segera begitu mendengar Indri menanyakan kabar pria tua yang
sudah mencampakan mereka begitu saja, dimatanya orang itu sama jahatnya dengan
Farid.
“aku hanya ingin tahu
saja..”
Jawab Indri pelan sambil menundukan kepalanya.
“kakak harap kalian mau
tinggal bersama kami..kita berkumpul lagi jadi satu
keluarga?”
Pinta Farid sambil mengenggam kedua tangan Indri.
“lepas!!! lu ngapain
sih? Kita ini bukan keluarga lagi! Jadi jangan bermimpi
buat ngebawa kita pergi dari sini!”
Sentak Fira sembari menyingkirkan kedua tangan Farid dari adiknya.
“Itu menurut kamu! Aku belum dengar pendapat
Indri?”
Balasnya kemudian kembali memohon pada adik bungsunya itu.
“bagaimana? Apa kamu
mau ikut bersama kakak?”
Tanyanya penuh harap.
“kalau lu setuju sama
orang ini gw nggak akan pernah sudi nganggap lu
sebagai adik
gw lagi?!”
ancam Fira penuh emosi.
“nggak ada untungnya juga jadi adik kamu..”
Jawab Indri polos. Kini keputusan tinggal ada di tangannya, ia masih
bingung harus menjawab apa, disatu sisi ia masih merasa sama bencinya seperti
Fira kepada ketiga orang itu, tapi disisi lain ia teringat akan penyakitnya.
Kalau ia memutuskan untuk ikut tinggal bersama Farid,Ine dan ayahnya mungkin
saja Farid mau membantunya membayar semua biaya pengobatan yang harus segera dijalaninya. Untung untuknya, Itung-itung
memanfaatkan mereka karena yang ia tahu biaya pengobatan penyakitnya ini
memakan uang yang sangat banyak. pikiran picik itu sempat terbersit di
kepalanya tapi.. ia bukan orang seperti itu. rasa marah dan kekecewaannya lebih
besar dari pikiran buruk itu.
“kakak pulang saja, Kami lebih baik seperti ini..
karena semuanya akan percuma
saja, meskipun
kita tinggal bersama, ibu juga tidak akan hidup lagi..”
jawabnya lirih sambil melepaskan tangannya dari genggaman Farid, mungkin
ia bodoh tapi baginya lebih baik mati membusuk di gubug kecilnya ketimbang
harus hidup dari uang mereka.
“kalian ini sama
seperti ibu! Keras kepala!”
“terserah kamu mau
bilang apa?nggak ada lagi yang mesti diomongin,sudah
pulang sana!”
Usir Fira saat itu juga, Pria itu terlihat kesal dengan segera ia
bangkit dari duduknya dan keluar dari rumah itu. ia hanya ingin keluarganya
bisa kembali utuh, akur dan tinggal bersama seperti dulu. karena menurutnya
hanya dengan cara itu ia bisa meminta maaf pada ibunya, dan hanya dengan itu ia
ingin menghapuskan rasa bersalah yang selama ini mengikutinya. Tapi niat
baiknya selalu saja dianggap sebelah mata oleh kedua adiknya, dari luar rumah
kecil itu terlihat sangat kumuh.
“dari mana aja kamu?”
Tanya Fira begitu Farid sudah tak ada disana.
“bukan urusanmu..”
Jawab Indri seperti biasa sembari pergi ke kamarnya.
“ehhh......tunggu!”
Cegat Fira segera.
“ada apa?”
“kemari!”
Panggilnya yang tak mau bangkit.
“ada apa?!”
Tanya Indri ketus sembari menghampirinya.
“jangan sinis gitu! aku
Cuma mau ngasih ini!”
Sentak Fira sembari menyodorkan sebuah kantong berisi pakaian baru.
“ini?”
“selamat ulang tahun..”
Gumam Fira pelan sambil menggaruk-garuk lehernya sedikit, rasanya
canggung. Karena ia tak biasa melakukan hal itu sebelumnya. Indri hanya balas
tersenyum, ia tak menyangka kalau wanita yang selama ini sering mengajaknya
bertengkar dan memberikannya begitu banyak masalah bisa berbuat baik padanya. Saat
itu Ia merasa sangat terharu.
“bagaimanapun juga gw ini
kakak lu, anggap aja itu imbalan karena selama ini
gw udah banyak
nyusahin lu..”
“makasih....”
Ujar Indri pelan kemudian masuk kedalam kamar, disana ia pandangi semua
hadiah itu, mulai dari boneka, kamera, kalung, dan pakaian yang baru saja ia
terima. Tiba-tiba air matanya meleleh.
No comments:
Post a Comment