Monday, January 21, 2013

Cerbung : Hanya Satu #8



 # KADO ULANG TAHUN

matahari sudah sangat terik, ketika ia selesai mencuci beberapa pakaian Dion, Fira dan juga miliknya sendiri sambil merendamnya dengan cairan pewangi di sebuah ember besar Indri langsung mulai mencuci piring-piring kotor bekas makan kemarin malam, sementara Dion di asuh Farida yang memang sedang tak sibuk hari itu. ia membereskan setiap sudut rumah kontrakannya seorang diri karena kebetulan juga hari itu Fira tidak pulang, kalau ada dia Indri jadi tak leluasa bekerja kakak perempuannya yang satu ini sangat suka bermalas-malasan saat berada di rumah, semua barang dibuatnya berantakan, makan seenaknya dan menyuruhnya seenaknya pula.
Mereka memang tak pernah akur, dari kecil selalu saja bertengkar memperebutkan hal-hal  kecil. Tapi biar bagaimanapun saat ini keduanya harus terus bersama karena yang mereka punya hanya satu sama lain.
             “ada surat?”
Gumam Indri yang melihat sebuah amplop tergeletak di bawah pintu rumahnya.
            “surat dari mana?”
Tanyanya penasaran pada diri sendiri sambil merobek ujung amplop. Ketika membaca isi surat tersebut, Indri hanya menautkan kedua alisnya. Sebuah surat dari rumah sakit berisi laporan kesehatan atas namanya.  Dan begitu ia selesai membaca surat itu ia langsung menyimpannya di bawah tumpukan pakaian di dalam lemari kayu di kamarnya. Ia tampak sedikit melamun, sambil kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya.
           
*                                                           *                                               *



“tok..tok...tok!!!”
Arya langsung meninggalkan pekerjaannya di dapur begitu ia mendengar suara pintu rumahnya di ketuk dari luar, seorang tamu yang sengaja datang menemuinya hari itu sambil membawa beberapa rantang makanan kesukaannya. Pakaiannya rapih. Rambutnya yang kecokelatan terurai menutupi bahunya. Ia berdiri sambil menunggu si pemilik rumah membukakan pintu untuknya.
            “Vina?”
Sapa Arya yang terlihat keheranan begitu melihat wanita itu berdiri di depan pintu rumahnya.
            “apa aku boleh masuk?”
Tanya wanita itu sambil melirik ke dalam rumah.
            “tentu, ayo masuk!”
            “rumah kamu besar juga ya?”
Ujarnya sembari melihat ke sekeliling rumah itu, dan berhenti di ruang tamu.
            “silahkan duduk..”
            “makasih, apa kedatanganku menganggu?”
            “tidak! Tapi ada apa kamu tiba-tiba datang kerumahku?”
            “aku cuma mau nganterin ini, ibu sendiri yang membuatkannya untukmu”
Ujarnya sembari memberikan rantang makanan yang sedari tadi di tentengnya.
            “terima kasih.. kamu harusnya tidak usah repot-repot mengantarkannya
  kemari?”
            “nggak masalah, lagipula aku juga ingin melihat keadaanmu..”
            “aku baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir.. bagaimana hubunganmu
  dengan Radith?”
            “kami baik, kamu sendiri? Bagaimana hubunganmu dengan gadis yang kamu
  bawa ke pernikahan kami itu?”
            “maksudmu Indri? Hubungan kami sedang kurang baik sekarang..”
            “kenapa?”
Tanya Vina yang masih penasaran dengan kedekatan keduanya.
            “apa karena aku? Apa kamu masih belum bisa melupakan semuanya?”
            “bukan karena itu, jujur.. aku bahkan sudah tak memikirkannya lagi..”
Jawabnya sambil tersenyum lirih.
“apa itu berarti kamu sudah memaafkan kami?”
“maaf itu terlalu mudah, tentu! Aku rasa, aku sudah mulai memaafkan kalian
              berdua?”
            “syukurlah, aku benar-benar merasa lega..”
Gumam Vina sambil tersenyum.
            “apa kamu senang sekarang?”
Tanya Arya begitu dingin ketika melihat ekspresi wanita itu.
            “tentu, harusnya kamu tahu? Selama ini kami terus merasa bersalah
  terhadapmu?”
“kalian memang harus merasa seperti itu..”
“Arya, apa kamu marah?”
Tanya Vina yang melihat air muka Arya yang tiba-tiba tak bersahabat.
“Kamu tahu,vin? Aku baru menyadari sesuatu.. ternyata melupakan seseorang
  itu lebih mudah ketimbang mencintainya.. “
“Arya..kamu..”
“sudahlah! Sebaiknya kamu pulang saja! tidak seharusnya kamu datang
  kemari?”
            “benar bukan seperti itu! aku harap kamu tidak salah paham tentang
  ucapanku tadi?”
            “terserah apa katamu saja?”
Jawabnya malas sambil membuang muka.
            “lebih baik aku pulang, kalau ada waktu datang ke rumah ibu ingin tahu
  kabarmu..”
“hmmm..”
“aku pulang..”
Ujarnya sambil beranjak dari tempat duduknya, kemudian pergi meninggalkan Arya yang masih duduk di ruang tamu, moodnya kembali buruk. Ia memang sudah tak terlalu memikirkan wanita itu. tapi tetap saja ia tak bisa begitu saja memaafkan apa yang telah mereka lakukan padanya. Dia hanya manusia biasa marah itu pasti ada. Itu hal yang alami dan lumrah atas apa yang sudah terjadi diantara mereka.
“tok...tok...tok!!!”
Tiba-tiba ia mendengar pintunya kembali di ketuk dari luar.
            “ada apa lagi?!!”
Sentaknya sambil membuka pintu, dan berpikir bahwa wanita itu kembali lagi.
            “wess...santai aja donk! Kenapa mesti nyolot gitu?”
Jawab orang yang ada di balik pintu rumahnya dengan nada yang sama.
            “maaf, saya pikir siapa? Gimana kalian bisa kesini?”
Tanya Arya pada kedua orang itu yang tak lain adalah Ririn dan Galih.
            “rahasia donk! Ngomong-ngomong nggak enak kalau ngobrol diluar kayak
  gini..”
Sindir Galih sambil menengteng kedua tangannya di pinggang.
            “maaf.. ayo masuk!”
            “rumahnya gede banget?”
Gumam kedua orang itu ketika mereka masuk kedalam sana.
            “silahkan duduk, kalian mau minum apa?”
            “apa aja juga boleh!”
            “air kobokan boleh?”
Arya coba membuat gurauan, tapi keduanya hanya merespon tanpa ekspresi.
            “si Arya coba ngelucu?nggak mempan bro!”
“kalau itu silahkan yang punya rumah saja yang minum!”
Jawab keduanya sambil mulai tertawa.
“kalian ini!”
Gumam Arya dongkol sambil membuatkan minuman untuk keduanya.
            “ ada apa?”
            “kami kesini mau ajakan kamu jadi tim kreatif..”
            “tim kreatif?”
            “bentar lagi Indri kan  ulang tahun, aku sama Galih mau bikin surprise party gitu?”
            “ulang tahun?”
            “Hooh, kamu mau ikutan nggak?”
            “kalian ini seperti anak kecil saja? memang masih jaman ya bikin yang kayak
  gituan?”
“kami kesini bukan buat denger ejekan kamu! Mau ikutan nggak?”
Sentak Galih.
            “memang kapan hari ulang tahunnya?”
Tanya Arya sedikit penasaran.

            *                                                           *                                               *
Tangannya gemetar, ia duduk sambil menunggu namanya di panggil ke dalam ruangan, matanya tampak kosong. Sambil berusaha membuat dirinya tetap tenang Indri terus menunggu hasil tesnya keluar.
            “ibu Indri, silahkan masuk!”
Panggil seorang perawat padanya.
            “iya..”
Tangannya masih sangat gemetar, rasanya begitu dingin ketika ia memasuki ruangan itu, bau obat menyeruak membuatnya sedikit kesulitan bernafas di dalam sana. Tampak seorang dokter sudah menunggunya..
            “silahkan duduk!”
            “bagaimana hasilnya dok?”
            “kemungkinan besar ini memang kanker.. sebaiknya kamu segera menjalani
  perawatan, untuk penanganan yang lebih tepat..”
ia hanya menghela nafas, sembari menyandarkan badannya pada kursi.
            “kira-kira berapa biayanya dok?”
            “saya juga kurang tahu, mungkin bisa mencapai jutaan..”
            “jutaan itu kira-kira berapa?”
            “itu bukan kewenangan saya, tapi yang penting kamu harus segera berobat,
  masalah biaya sebaiknya kamu bicarakan hal ini dengan keluargamu..”
“saya mengerti, terima kasih dok!”
Pria itu hanya mengangguk ramah sambil mempersilahkannya keluar meinggalkan ruangan itu, Ia masih tampak melamun sembari membawa hasil tes kesehatannya, itu adalah hasil tes ketiga dari tiga rumah sakit berbeda yang ia datangi dan semua hasil yang ia terima tetap sama. Indri menghela nafas panjang. Hidupnya tamat. Ia merasa semakin tak berguna. Semuanya akan percuma saja, hidupnya hanya akan percuma saja.
Dengan langkah longlai Indri berjalan pulang, wajahnya lesu. Ia berjalan sedikit demi sedikit menuju rumahnya melewati sebuah gang sempit yang panjang, gelap, juga sepi. tak ada siapapun selain dirinya dan seorang pria yang tengah berdiri di samping tiang lampu dengan jaket tebal juga masker yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Dari jauh Indri terus memperhatikan orang tersebut yang tak bergerak atau beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri, ia hanya diam seperti sebuah patung. Tapi begitu Indri berjalan tepat di hadapannya tiba-tiba pria itu langsung membekap mulutnya dengan sebuah sapu tangan. Sontak saja Indri langsung terkejut dan berusaha melepaskan diri tapi tiba-tiba datang seorang yang lain dengan jaket tebal dan masker yang menutupi wajahnya pula. orang itu membantu temannnya mengikat kedua lengan Indri kebelakang, kemudian menutup mata Indri dengan sebuah kain percak dan membekap mulutnya dengan lakban hitam. Indri tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya terus meronta ketika kedua orang tadi mulai mendorongnya masuk kedalam sebuah mobil pick up berwarna putih, tak terdengar apapun selain  suara deru mobil. Entah berapa orang yang sedang berada di dalam mobil itu, mau kemana mereka, dan apa yang hendak mereka lakukan kepadanya, Indri terus bertanya dalam hati sambil merasakan hawa dingin yang mulai terasa begitu menusuk. Lama mobil itu melaju, dan akhirnya berhenti di sebuah gedung. Pukul 11.30  mereka mulai memaksa Indri turun dari mobil dan mengawalnya masuk ke dalam gedung tersebut. Gelap tak ada siapapun disana, Indri merasa semakin ketakutan dengan mata dan mulut yang masih tertutup juga tangan yang terikat kedua orang tadi membawanya masuk kedalam sebuah lift. Lantai 30. Mereka kembali memaksa Indri menaiki beberapa anak tangga, dan kemudian berhenti tepat didepan sebuah pintu, salah satu dari mereka membukakan pintu itu. dingin. begitu pintu terbuka tiupan angin yang cukup kencang langsung menerpa tubuhnya. Indri semakin merasa takut, tapi kemudian pria itu mulai melepas lakban dimulutnya.
            “kalian itu siapa? Apa yang mau kalian lakukan?!”
Sentak Indri begitu lakban di mulutnya terlepas. Tapi keduanya tak menjawab, mereka malah terus mendorongnya untuk melewati pintu itu dan memapah Indri menuju ujung Balkon. Hawa dingin terus menusuk wajahnya.  Tiba-tiba ikatan tangannyapun ikut dilepaskan. Tapi pria yang tepat berada di belakangnya tetap menarik lengan Indri ke belakang, berjaga-jaga agar perempuan itu tak berusaha melepaskan penutup matanya.
            “kalian siapa? Apa maksud kalian sebenarnya?”
Tanya Indri yang makin merasa takut juga penasaran.
            “nanti juga kamu tahu sendiri..”
Jawab salah seorang diantara mereka yang kemudian meninggalkannya begitu saja, pria itu mulai melepaskan masker di wajahnya dan membantu teman mereka yang masih sibuk mempersiapkan semuanya.
            “jangan coba-coba melepaskan penutup matamu, kalau tidak mau mati!”
Ancam pria di belakangnya yang kemudian ikut melepaskan masker dan kumpluk jaket yang menutupi wajahnya selama ini. Perasaannya sudah mulai tak enak, suara yang ia dengar tampak tak asing di telinganya, pukul 11.59 sudah waktunya pria itu melepaskan penutup mata Indri. Gelap awalnya semua tampak samar begitu ia membuka mata, tapi lama kelamaan semuanya semakin jelas. Indri terkejut begitu mendapati dirinya sudah berada diujung loteng di sebuah gedung yang sangat tinggi, ia bahkan hampir saja terjatuh jika pria yang berada dibelakangnya tidak segera menahan tangannya.
“jangan banyak bergerak, lihat saja ke bawah!”
Bentak pria itu sembari tetap memegang lengan Indri, dan tak membiarkannnya menengok ke belakang. Begitu Indri melihat ke bawah ia langsung  tersenyum senang, dengan mimik muka yang masih kebingungan dan mata yang tampak berkaca-kaca. Sebuah ucapan selamat ulang tahun di tengah jalan yang dibuat dari lampu-lampu kecil berbentuk bintang. Tepat pukul 12.00 tiba-tiba dari balik pintu loteng muncul Galih juga Ririn yang membawa sebuah chesse cake kecil sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuknya. Indri tercengang. Matanya semakin basah, ia terus tersenyum gembira sambil tak berhenti menangis.
            “jangan nangis! Ayo cepat tiup lilinnya?”
Pinta Ririn yang mulai pegal membawa cake sambil menutupi lilin-lilin diatasnya supaya tak tertiup angin.
            “kamu tidak membuat permohonan?”
Tanya Galih yang melihat Indri langsung meniup lilinnya.
            “tidak perlu..”
Jawab Indri kalem sambil tersenyum simpul.
            “sekarang ayo kita makan kuenya!”
Celetuk Arya tiba-tiba sembari mengambil cake yang sedari tadi dibawa Ririn kemudian berusaha memotongnya menjadi beberapa bagian.
            “makasih ya? Aku benar-benar tidak menyangka kalau kalian akan membuat
  kejutan seperti ini?”
“sama- sama, selamat ulang tahun ya!”
Ujar Ririn sambil memeluknya kemudian memberikan sebuah bingkisan yang begitu besar.
            “ini apa?”
            “buka aja!”
Dengan segera Indri membuka bingkisan itu, sebuah boneka pucca yang hampir sebesar Dion.
            “ini bagus! Makasih ya Rin!”
            “pastinya donk! Kamu tahu aku nyarinya susah banget, tapi karen aku tahu
              kamu suka banget sama yang kayak beginian jadi rasanya nggak sia-sia! ”
Jawabnya sambil mengkerutkan dahinya, tapi tersenyum kemudian.
            “selamat ulang tahun ya..”
Galih ikut memberikan ucapan selamat untuknya, kemudian memberikan sebuah kado.
            “ini terlalu mahal, aku jadi nggak enak kalau harus menerimanya?”
Ujar Indri ketika tahu bahwa kado itu berisi sebuah kamera digital.
“nggak apa-apa, aku sengaja menabung hanya untuk membelikanmu itu, jadi   
  kamu harus menerimanya!”
  “tapi?”
“terima saja! aku harap kamu senang?”
“makasih..”
Jawab Indri yang semakin merasa canggung terhadap pria itu.
            “heh Arya! mana hadiah yang mau kamu kasih ke Indri?”
Panggil Ririn yang melihatnya terus saja sibuk memakan kue ulang tahun milik Indri.
“hadiahnya ada di mobil, aku lupa membawanya kesini? Nanti saja tidak apa- 
  apakan?”
            “kamu ini gimana sih!”
            “nggak apa-apa dia orangnya memang seperti itu?”
jawab Indri ketus sambil memeluk boneka pucca yang baru diterimanya.
            “disini dingin ya!”
“kalau begitu sebaiknya kamu pakai ini!!!”
Ujar Arya & Galih serentak sambil berusaha memakaikan jaketnya pada gadis itu, Indri hanya merenggut dan tak tahu harus menerima milik siapa. Kedua orang tadi saling memandang sinis satu sama lain, berharap salah satu diantara mereka ada yang mau mengalah.
            “pakai ini aja Ndri? Kebetulan tadi aku bawa dua?”
Suguh Ririn sambil mengeluarkan sebuah kardigan di dalam tasnya.
            “makasih..untung aja ada kamu!”
Tanpa basa-basi Indri langsung menerima kardigan itu dan memakainya, sementara kedua orang tadi masih saja saling beradu mata. Sambil menghabiskan malam keempatnya asyik mengobrol dan menghabiskan makanan mereka ditemani pemandangan malam yang tampak gemerlapan dari atas sana.   Dia tersenyum, sebuah senyuman yang membuatku sedikit sulit bernafas, wajahnya yang kecil tampak sangat menawan malam itu, matanya yang  kelelahan menatap sekilas kearahku, tapi aku hanya bisa balas tersenyum kearahnya. Wanita itu, aku mulai mencintainya.

            *                                                           *                                                           *
           
“sebaiknya kita pulang? Ini sudah hampir pagi? Aku ngantuk banget!”
Ajak Ririn pada ketiganya yang juga sudah terlihat sangat mengantuk.
            “kalau begitu ayo!”
Jawab Arya yang mulai beranjak dari tempat duduknya, kemudian berjalan menuju pintu loteng. Mereka menaiki sebuah lift turun ke bassment dan menghampiri mobil pick up berwarna putih yang kemarin dibawa ketiganya untuk menculik Indri.
            “ayo cepat naik!”
Panggil Galih sambil menghidupkan mesin mobilnya, Arya duduk didepan bersamanya sementara Indri dan Ririn duduk dibelakang. Di perjalanan pulang Ririn & Indri tampak pulas tertidur sementara Galih & Arya sibuk bergantian menyetir mobil.  Dan ketika mereka sampai di jalan Raya dekat gang rumah Indri..
            “beneran kamu mau turun disini?”
Tanya Galih pada Arya yang juga ikut turun di gang rumah Indri.
            “iya! Sudah sana kalian pulang saja!”
Sentaknya pada pria itu yang terlihat sangat tidak senang.
            “udahlah, jangan ribut lagi! Kita pulang saja! aku udah cape banget nih?”
Sengor Ririn dari arah belakang yang sangat-sangat-sangat terlihat mengantuk.
            “kita pulang dulu ya Ndri?”
            “iya, hati-hati dijalan..”
Jawabnya sambil melambaikan tangan begitu mobil itu melaju meninggalkan keduanya.
            “kenapa kamu juga ikut turun disini?”
Tanya Indri sinis sambil masih membawa boneka pucca & kamera yang diberikan teman-teman kerjanya.
            “memangnya tidak boleh aku turun disini?”
            “bukan begitu, hanya saja..”
            “sudahlah, kemarikan tanganmu!”
            “buat apa?”
            “aku kan sudah bilang mau memberikan hadiahmu nanti?dimana ya?”
Ujar Arya sambil mengodok isi kedua saku jaketnya.
            “loch? Bukannya kamu bilang itu ada di dalam mobil?”
            “aku bohong! Apa kamu tidak pernah lihat orang berbohong?”
            “kenapa?”
            “itu karena aku tak mau orang lain tahu..”
            “bukan itu! kenapa kamu menyuruhku menyodorkan tangan seperti ini?”
            “nanti juga kamu tahu! Akhirnya..ketemu!”
Gumamnya pelan sembari mengenggam hadiah itu dan menaruhnya diatas tangan Indri.
            “selamat ulang tahun..”
            “ini kalung?”
            “yup, bagus kan?”
            “emas bukan?!”
Tanya Indri polos sambil melihat liontin kalung itu yang terbuat dari batu kristal berbentuk bintang, didalamnya ada ukiran seperti sepasang sayap kecil.
            “kamu itu tidak sopan! Sudah pakai saja! jangan coba-coba
  Menghilangkannya, Kalau kamu tidak mau mati!”
Ancam Arya dengan perasaan dongkol.
            “iya, gitu aja marah? Bisa tolong pegang ini dulu?”
Pintanya sambil memberikan boneka pucca dan kamera yang terus ditengtengnya.
            “kamu mau apa?”
            “aku mau pake kalungnya! Pegangin bentar aja masa nggak mau?!”
Sentak Indri yang berusaha memakai kalung itu.
            “makasih ya..ini bagus!”
Gumam Indri pelan kemudian.
“sama-sama, kalau gitu aku pulang dulu!”
            “loch? Nggak ikut ke rumah dulu nih?”
            “nggak usah..sampai nanti..”
            “hmm..”
Pamit Pria itu sambil sedikit mengelus kepala Indri dan langsung meninggalkannya.
hari sudah semakin pagi, orang-orang sudah sibuk memulai aktifitas mereka. Sementara Indri baru sampai di depan rumah kontrakannya, ia hanya menautkan alis begitu mendapati sepasang sepatu pria di depan pintu rumahnya.
            “assalamualaikum..”
Salam Indri dari balik pintu sembari melepaskan sepatu skeetnya.
            “waalaikumsalam..”
Jawab seorang laki-laki dari dalam rumah begitu Indri sampai di ruang tengah.    
            “kak Farid?”
Panggilnya keheranan saat ia melihat Kakak laki-lakinya tengah duduk berbincang dengan Fira yang terus saja memalingkan wajahnya dari pria itu, ia begitu benci sampai tak mau melihatnya.
            “ngapain kak Farid kesini?”
Tanya Indri yang tak kalah sinis sambil duduk diantara mereka.
            “sampai kapan kalian mau seperti ini?”
            “sebaiknya kakak pulang saja! percuma datang kesini..”
Jelas Indri pelan.
            “kalian belum bisa memaafkanku?”
Keduanya hanya diam.
            “terserah kalian saja, tapi aku hanya ingin memberi tahu kalau ayah sudah
  ketemu, sekarang dia tinggal bersamaku..”
“apa dia baik-baik saja?”
Tanya Indri yang sedikit penasaran dengan kabar pria yang sudah hampir 7 tahun tak ditemuinya itu.
            “ngapain sih kamu tanya tentang orang itu?!”
Sentak Fira segera begitu mendengar Indri menanyakan kabar pria tua yang sudah mencampakan mereka begitu saja, dimatanya orang itu sama jahatnya dengan Farid.
            “aku hanya ingin tahu saja..”
Jawab Indri pelan sambil menundukan kepalanya.
            “kakak harap kalian mau tinggal bersama kami..kita berkumpul lagi jadi satu
  keluarga?”
Pinta Farid sambil mengenggam kedua tangan Indri.
            “lepas!!! lu ngapain sih? Kita ini bukan keluarga lagi! Jadi jangan bermimpi
buat ngebawa kita pergi dari sini!”
Sentak Fira sembari menyingkirkan kedua tangan Farid dari adiknya.
              “Itu menurut kamu! Aku belum dengar pendapat Indri?”
Balasnya kemudian kembali memohon pada adik bungsunya itu.
            “bagaimana? Apa kamu mau ikut bersama kakak?”
Tanyanya penuh harap.
            “kalau lu setuju sama orang ini gw nggak akan pernah sudi nganggap lu
  sebagai adik gw lagi?!”
ancam Fira penuh emosi.
“nggak ada untungnya juga jadi adik kamu..”
Jawab Indri polos. Kini keputusan tinggal ada di tangannya, ia masih bingung harus menjawab apa, disatu sisi ia masih merasa sama bencinya seperti Fira kepada ketiga orang itu, tapi disisi lain ia teringat akan penyakitnya. Kalau ia memutuskan untuk ikut tinggal bersama Farid,Ine dan ayahnya mungkin saja Farid mau membantunya membayar semua biaya pengobatan yang harus segera  dijalaninya. Untung untuknya, Itung-itung memanfaatkan mereka karena yang ia tahu biaya pengobatan penyakitnya ini memakan uang yang sangat banyak. pikiran picik itu sempat terbersit di kepalanya tapi.. ia bukan orang seperti itu. rasa marah dan kekecewaannya lebih besar dari pikiran buruk itu.
“kakak pulang saja, Kami lebih baik seperti ini.. karena semuanya akan percuma
  saja, meskipun kita tinggal bersama, ibu juga tidak akan hidup lagi..”
jawabnya lirih sambil melepaskan tangannya dari genggaman Farid, mungkin ia bodoh tapi baginya lebih baik mati membusuk di gubug kecilnya ketimbang harus hidup dari uang mereka.
            “kalian ini sama seperti ibu! Keras kepala!”
            “terserah kamu mau bilang apa?nggak ada lagi yang mesti diomongin,sudah
  pulang sana!”
Usir Fira saat itu juga, Pria itu terlihat kesal dengan segera ia bangkit dari duduknya dan keluar dari rumah itu. ia hanya ingin keluarganya bisa kembali utuh, akur dan tinggal bersama seperti dulu. karena menurutnya hanya dengan cara itu ia bisa meminta maaf pada ibunya, dan hanya dengan itu ia ingin menghapuskan rasa bersalah yang selama ini mengikutinya. Tapi niat baiknya selalu saja dianggap sebelah mata oleh kedua adiknya, dari luar rumah kecil itu terlihat sangat kumuh.
            “dari mana aja kamu?”
Tanya Fira begitu Farid sudah tak ada disana.
            “bukan urusanmu..”
Jawab Indri seperti biasa sembari pergi ke kamarnya.
            “ehhh......tunggu!”
Cegat Fira segera.
            “ada apa?”
            “kemari!”
Panggilnya yang tak mau bangkit.
            “ada apa?!”
Tanya Indri ketus sembari menghampirinya.
            “jangan sinis gitu! aku Cuma mau ngasih ini!”
Sentak Fira sembari menyodorkan sebuah kantong berisi pakaian baru.
            “ini?”
            “selamat ulang tahun..”
Gumam Fira pelan sambil menggaruk-garuk lehernya sedikit, rasanya canggung. Karena ia tak biasa melakukan hal itu sebelumnya. Indri hanya balas tersenyum, ia tak menyangka kalau wanita yang selama ini sering mengajaknya bertengkar dan memberikannya begitu banyak masalah bisa berbuat baik padanya. Saat itu Ia merasa sangat terharu.
            “bagaimanapun juga gw ini kakak lu, anggap aja itu imbalan karena selama ini
  gw udah banyak nyusahin lu..”
“makasih....”
Ujar Indri pelan kemudian masuk kedalam kamar, disana ia pandangi semua hadiah itu, mulai dari boneka, kamera, kalung, dan pakaian yang baru saja ia terima. Tiba-tiba air matanya meleleh.

No comments: