Langit sudah telihat biru temarang ketika mentari baru menampakan
sedikit cahayanya. Seperti biasa. Indri bangun dari tidurnya pagi itu.
Gumamnya pelan sembari beranjak dari tempat tidur. Sekujur badannya
terasa pegal, mungkin karena kemarin ia terlalu asyik mencoba begitu banyak
permainan di taman hiburan bersama Arya. Begitu beranjak ia hanya butuh waktu
setengah jam untuk mempersiapkan dirinya pergi bekerja seperti biasa. Hari itu
Indri kembali mencium bau wangi dari arah dapur, lagi-lagi tampak Fira tengah
sibuk membuatkan sarapan pagi untuknya. Kali ini ia memasakan sepiring nasi
goreng lengkap dengan telur mata sapi diatasnya.
“nih..makan dulu!!”
Ujar wanita itu sembari menyodorkan makanannya. Tanpa berkata apapun
Indri langsung saja melahap sarapan paginya.
“kemarin kalian
darimana?”
Tanya Fira yang duduk sigap di samping sembari memperhatikannya makan.
Tapi Indri tak menjawab pertanyaannya itu, wajahnya tertunduk lesu menutupi
matanya yang tampak semakin sayu.
“huft..”
Fira hanya menghela nafas. Dan mulai berhenti bertanya, sambil tetap
memperhatikannya makan. Perasaannya kembali berkecamuk lagi ketika ia melihat
Indri. ia tak bisa membiarkannya tetap seperti itu. mana mungkin ia hanya diam
saja tanpa melakukan sesuatu, bertindak bodoh hanya sebagai penonton ketika
gadis itu semakin sekarat. Itu gila. Pikirnya lekat-lekat. Sampai ia tak sadar
bahwa Indri sudah lama beranjak dari sana begitu makanannya habis.
Sembari sedikit memijat bahu kirinya yang makin terasa pegal, Indri
berjalan melewati gang rumahnya menuju jalan raya. Seperti biasa ia menunggu
kendaraan umum yang biasa mengantarkannya ke tempat kerja. Udara pagi itu
lumayan dingin, tapi ia malah mandi keringat di sekitaran dahinya. Rasanya lesu
sekali. Ujarnya dalam hati sembari menaiki sebuah angkutan kota yang baru saja
ia hentikan. Lama kendaraan itu melaju rasa lesu yang mengelayutinya tak
kunjung hilang. Wajahnyapun mulai tampak
pucat.
“kamu tidak
apa-apa,dek?”
Tanya seorang wanita paruh baya yang juga tengah berada di dalam angkot
bersamanya. Tapi Indri hanya tersenyum.
“tidak apa-apa bu..”
Ujarnya pelan. Sembari memejamkan kedua matanya, mungkin jika ia tidur
sebentar rasa sakit itu akan hilang. Tapi kenyataannya itu semua hanya
perasaannya saja. begitu ia turun dari angkutan kota, bukannya merasa lebih
baik kepalanya malah makin terasa pusing. Keringat dingin juga makin memenuhi
dahinya. Rasanya sakit. Sekujur badannya terasa sakit. Indri masih melanjutkan
perjalanannya menuju tempat kerja.
Sembari menahan rasa sakit, ia usahakan untuk tetap berjalan. Tapi
tiba-tiba semuanya terasa berputar-putar dan samar. Ia mulai tak bisa menopang
tubuhnya jalannya pun sudah tak karuan. Berat. Semuanya semakin berputar hebat
di kepalanya. Beberapa orang yang juga tengah berjalan kaki di trotoar itu
mulai memperhatikannya. Sambil berjalan mereka melirik kearah Indri yang sudah
diam berdiri ditempatnya.
“kamu tidak apa-apa?”
Tanya seorang pejalan kaki yang khawatir ketika melihatnya sudah tak
kuasa berdiri dan hanya duduk jongkok di tengah jalan. Tapi Indri tak menjawab,
rasanya sulit sekali untuk bersuara. Sambil memegangi dadanya yang mulai terasa
sesak Indri hanya bisa menatap si pejalan kaki itu dengan matanya yang merah
karena menahan sakit. Sontak saja orang itu langsung terlihat semakin khawatir
dan juga kebingungan.
“kamu tidak apa-apa?”
Tanyanya berulang-ulang sambil tak berhenti mondar-mandir mencoba
meminta bantuan. Tak berapa lama beberapa orang mulai mengerumuni keduanya.
kembali orang-orang tersebut satu persatu terus bertanya apakah dirinya tidak
apa-apa, padahal tanpa ditanyapun harusnya sudah terlihat jelas oleh mereka bahwa
keadaan Indri memang sudah tidak baik-baik saja. lama mereka hanya
mengerumuninya, ketika ia sudah tampak kewalahan menahan sakit. Sampai salah
seorang dari mereka akhirnya mengusulkan untuk membawanya ke rumah sakit.
Ketika ambulans datang Indri sudah dalam keadaan tak sadar. Wajahnya tampak
semakin pucat.
* * *
Sembari membawa hasil tes kesehatan adiknya, Fira pergi ke sebuah cafe
untuk menemui seseorang yang ia yakini mau membantu keadaan mereka. Meskipun
gengsi, tapi ia teguhkan dirinya untuk datang menemui orang itu. mereka berjanji untuk bertemu disana sekitar
siang hari saat jam makan siang. Tapi 15 menit sebelum jam pertemuan mereka,
Fira tampak sudah anteng menunggu kedatangannya sembari duduk di sebuah bangku
di pinggir pintu masuk cafe. Sedikitnya ia masih terlihat gugup. tak lama orang
yang ditunggupun akhirnya datang. Wajah yang nampak tak asing. Dengan setelan
jas dan kacamata khasnya.
“kamu sudah lama
nunggu?”
Tanya pria itu ramah seperti biasa sambil melemparkan sebuah senyuman ke
arahnya.
“lumayan..”
Jawab Fira malas.
“aku terkejut, waktu
kamu menghubungiku..ini pertama kalinya
kamu
menghubungiku lebih dulu! Apa
kamu sudah makan? Mau makan apa? biar
aku pesankan?”
ujarnya lagi sambil berusaha memanggil seorang pramusaji.
“udah deh!nggak perlu
banyak basa-basi gw kesini cuma mau ngasih tahu lu
soal ini..”
potong Fira sembari menyodorkan hasil tes kesehatan Indri pada kakak
tertuanya itu.
“ini apa?”
“lu baca aja dulu, ntar
juga lu tahu sendiri..”
Tanpa bertanya lebih banyak, Farid langsung membuka amplop yang berada
dihadapannya. Semakin ia membaca isi didalamnya. Tampak raut wajahnya yang
semula sumringah berubah sedikit demi sedikit. Seolah tak percaya. Ia ulangi
membaca surat itu bahkan hingga tiga kali.
“gw nggak tahu mesti gimana? Lu tahu sendiri keadaan
kita kayak
gini?Jangankan
buat berobat? Buat makan aja susah! Sementara dari yang gw
lihat
kondisinya udah makin buruk..kali ini gw mohon banget sama lu..tolong
selamatkan dia..”
Pinta Fira berat. apa yang ia lakukan saat itu hampir sama dengan
kejadian ibunya dulu. Sembari mengepalkan kedua lengannya kuat-kuat di balik
meja. Ia berusaha untuk menahan emosinya.
“kamu pikir aku ini
siapa?”
Tanya Farid yang terlihat marah.
“aku ini abangmu, kita
satu keluarga! Harusnya aku yang jadi tulang punggung
di keluarga ini..melindungi
kalian itu sudah jadi kewajibanku.. kamu tidak perlu
memohon padaku seperti
ini..lagipula aku tidak ingin mengulang kesalahan
yang sama..”
lanjutnya lagi yang mulai mengingat masa lalu.
“jadi lu mau bantu gw?”
Tanya Fira meyakinkan.
Rasanya begitu lega ketika ia melihat pria itu mengangguk. Ia bahkan tak
bisa menahan harunya.
“makasih..lu emang
abang gw..”
Ujarnya sambil menyimpulkan sebuah senyum. Itu kali pertama ia
melakukannya lagi setelah sekian lama keduanya tak pernah berhubungan baik.
* * *
Dalam keadaan setengah sadar, Indri dibawa ke sebuah rumah sakit.
Wajahnya terlihat semakin pucat. Samar. Hanya cahaya lampu disepanjang koridor
rumah sakit yang sedikit tertinggal di pelupuk matanya. Saat itu, yang terpikir
olehnya hanyalah kematian.
Si pejalan kaki yang pertama kali menghampirinya ikut mendampingi Indri
kala itu. tampak pria setengah baya itu terlihat sibuk mengutak-ngatik telepon
genggam milik Indri untuk berusaha menghubungi seseorang. Untungnya nomor di
kontak gadis itu tak terlalu banyak, jadi dengan mudah ia bisa menghubungi
beberapa nomor yang kemungkinan adalah kontak keluarganya.
“ada apa Ndri?”
Tanya Fira yang tengah sibuk menikmati makan siangnya bersama Farid,
begitu mendapati satu panggilan.
“hallo..maaf, ini
dengan siapa ya?”
Orang disebrang telepon malah balik bertanya padanya. Suara yang tak ia
kenal dan terdengar lebih mirip suara laki-laki ketimbang suara adik
perempuannya itu.
“kamu yang siapa? Mana
Indri?”
“kalau boleh saya tahu,
ini siapanya pemilik handphone ya?”
“gw kakaknya, emang
kenapa? Lu tuh siapa?!”
Tanya Fira nyolot, sembari
sedikit mengebrak meja makannya. Farid
yang melihatnya tampak seperti itupun langsung terdiam dan hanya
memperhatikannya sambil keheranan.
“oh..maaf!! saya hanya
mau memberitahukan kalau adik mba ada di Rumah
Sakit..”
Jelasnya halus. Fira yang awalnya terlihat kesal sekarang malah terlihat
kebingungan, begitu ia mendengarkan penjelasan orang yang tengah berbicara di
teleponnya. Sambil merengut. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Kini ia
malah terlihat semakin terkejut. Farid yang melihatnya seperti itu semakin
merasa bingung.
“ada apa?”
Tanyannya penasaran. Tapi Fira tak menjawab, ia tetap Fokus mendengarkan
semua perkataan orang di sebrang teleponnya. Dengan air muka yang tampak
mengkhawatirkan.
“ada apa?”
Tanya Farid lagi. Begitu Fira menutup teleponnya.
“kita mesti pergi ke
rumah sakit!!”
Jawabnya singkat sembari bergegas membereskan tasnya dan beranjak dari
tempat itu, Farid yang masih terlihat bingung dan penasaran hanya menurut saja.
dengan segera keduanya pergi menuju rumah sakit yang ditunjukan Fira, ia
terlihat panik. Ditengah perjalanan menuju rumah sakit ia terus saja tampak
gelisah. Bahkan ia terus saja mengomel dan memaki ketika perjalanan mereka
harus terhenti saat lampu merah. Dan begitu mobil yang mereka kendarai berhenti
tepat didepan pintu masuk rumah sakit, Fira langsung bergegas turun dan berlari
masuk ke dalam rumah sakit itu. Ia berlarian di koridor rumah sakit seperti
orang gila. Sambil mencari-cari orang yang tadi menghubunginya.
“bagaimana kondisi adik
saya?”
Tanya Fira begitu ia sampai di depan ruang IGD dengan nafas yang
terengah-engah.
“saya juga kurang tahu,
dia masih diperiksa dokter..”
Jawab pria itu segera.
“ini barang-barang adik
mba..”
Ujarnya lagi sembari memberikan tas milik Indri yang sering dipakainya
untuk pergi bekerja. Tak lama kemudian Farid datang menghampiri keduanya. ia
masih terlihat sedikit bingung. Tapi begitu ia melihat Indri dibawa keluar dari
ruang IGD, ia akhirnya mengerti, apa yang tengah terjadi saat itu. Sementara
Farid pergi untuk mengurus segala prosedur administrasi di rumah sakit. Fira
menemani Indri yang masih terbaring di ruang rawatnya. ia tak berhenti menghela
nafas sambil memandangi wajah adiknya itu.
“Indri sudah bangun?”
Tanya Farid yang baru kembali ke ruangan itu.
“belum, tadi dokter
bilang apa?”
“Hbnya turun..jadi
perlu diopname..”
“lu liat sendirikan? Gw
nggak bohong, dia memang sekarat!”
“sudahlah aku percaya!
jadi kamu jangan khawatir..dia pasti akan baik-baik
saja!”
Hari semakin larut. keduanya masih setia menemani Indri yang belum juga
terjaga, wajahnya yang tampak pucat pasi sedikit demi sedikit mulai tampak
lebih baik. Sebaliknya raut kelelahan malah terlihat jelas di wajah kedua kakak
kandungnya itu. hingga akhirnya sekitar tengah malam Indri mulai membuka
matanya.
“dia sadar..”
Ujar Fira yang langsung berlari membangunkan Farid dari kursinya begitu
melihat mata adiknya itu terbuka. Indri masih terlihat bingung. Ia tak tahu apa
yang terjadi yang ia ingat hanya kepalanya yang terasa begitu pusing kala itu.
sembari memegangi kepalanya Indri berusaha untuk bangun dari tempatnya. Tapi
dengan segera Farid memintanya untuk tetap membaringkan tubuhnya.
“sudah kamu tidur saja,
jangan banyak bergerak!”
“mana
yang sakit? Perlu gw panggilin dokter?”
Ujar keduanya, begitu perhatian.
“aku nggak apa-apa..”
Jawab Indri tak jelas, karena nafasnya yang masih berat.
“kamu tenang saja..kita
akan berusaha sebaik mungkin untuk membantumu
sembuh secepatnya..”
“kalian tidak perlu
khawatir, aku baik-baik saja..”
“udah deh Ndri, lu
nggak perlu pura-pura kuat! Kita tahu kondisi lu tuh udah
kayak gimana? Lu jangan mikir
macem-macem! Ini semua kita lakuin demi
lu..biar lu cepet sembuh! gw
nggak mau lu kenapa-napa Ndri! Gw nggak mau
lu mati, Cuma lu satu-satunya
yang gw punya..”
Ujar Fira lirih.
“Fira bener, Ndri! Kakak mau kamu sembuh!!kita semua
mau kesembuhan
kamu!jadi
kamu harus kuat..”
“aku tidak akan mati semudah
itu..”
Jawabnya lagi, sambil menatap iba wajah kedua kakaknya. Aku tidak akan
mati. Aku... tidak ingin mati.
Deru mesin kendaraan terdengar mulai menghilang. Dengan langkahnya yang
mulai gontai ia berjalan menuju pelataran rumahnya. Dan berhenti di depan
pintu.
“Assalamualaikum..”
Salamnya seraya membuka pintu. hari itu hampir subuh. Langit yang pekat.
Mulai terlihat kebiru-biruan.
“Waalaikumsalam, sudah
pulang mas? Kok larut begini?”
Tanya Ine yang muncul dari arah kamar mereka. Farid tak langsung
menjawab pertanyaan istrinya itu. sambil melonggarkan kerah & kancing
lengan kemejanya ia rebahkan tubuhnya diatas sebuah sofa.
“bisa tolong buatkan
aku minum, rasanya haus sekali!!”
Tanpa banyak bertanya dulu wanita itu dengan sigap langsung bergegas
menuju dapur, dan tak lama kembali
sambil membawakan segelas teh hangat untuknya.
“gimana tadi? mas
ngobrolin apa saja sama Fira?”
Tanya Ine kembali. Tapi, Farid malah melamun sambil menghela nafas
panjang. Kemudian sedikit demi sedikit mulai meneguk minumannya.
“ada apa?”
“hari ini Indri masuk
rumah sakit..”
“rumah sakit??memangnya
dia kenapa?”
“tadi siang dia pingsan
di jalan..”
“pingsan? Kok bisa
sampai pingsan? Memang dia sakit apa?”
“aku juga belum terlalu
yakin tapi kemungkinan besar itu leukemia..”
“leukemia??”
Ine hanya bisa terperanjat tak percaya.
“separah itu?sekarang
keadaannya bagaimana?”
“tadi sekitar jam 12
dia baru sadar..”
“jadi semalam tadi mas
jagain dia di rumah sakit?”
“hmm..”
Jawabnya hanya dengan sebuah anggukan.
“tolong jangan kasih
tahu ayah dulu..kita tunggu sampai hasil tesnya benar-
benar sudah meyakinkan! saya
tidak ingin membuatnya merasa khawatir..”
“iya..”
Dingin. udara malam itu tak menyurutkan langkah Fira melewati gang-gang
kecil rumahnya. Sepi. Hanya suara langkah kaki dan binatang malam yang
mengiringi perjalanannya. Wajah lelahnya itu, terus saja tak berhenti
menunjukan raut kesedihan. Dengan berat hati ia harus pergi meninggalkan Indri
yang baru saja tersadar tengah malam tadi sendirian di rumah sakit. Farid yang
kala itu ikut menjaga Indri juga harus bergegas pulang untuk mengabari
keluarganya.
Lama ia hanya berdiri di depan pintu rumah mereka yang sering kali ia
anggap sebagai gubuk reyot yang tak ada harganya. Kenapa semua jadi seperti
ini. Kenapa hidup mereka jadi sebegitu menyedihkan seperti ini. Apa Tuhan
sebegitu membencinya, hingga semua yang ada dihidupnya jadi begitu berantakan.
“aku harus bagaimana?”
Eluhnya dalam hati, sembari menghapus basah di kedua pelupuk matanya.
Segera ia hilangkan raut kesedihan itu dari paras cantiknya sambil hendak
membuka pintu. tapi ketika ia berusaha membuka pintu, tiba-tiba seseorang
muncul dari balik pintu itu. ia sempat terperanjat beberapa saat. Tapi ekspresi
terkejut itu segera memudar begitu ia
tahu bahwa orang yang baru saja ia lihat adalah Farida.
“ibu bikin saya kaget
tahu?!!”
Sentaknya begitu saja pada wanita paruh baya itu.
“maaf, Ibu kira Indri
yang barusan pulang? soalnya udah jam segini dia belum
pulang juga!”
“hari ini dia nggak
akan pulang..”
Jawab Fira malas sambil bergegas pergi menuju kamar Indri. kemudian
sibuk mengemasi beberapa pakaian juga peralatan mandi milik adiknya itu kedalam
sebuah tas ransel besar.
“memangnya Indri
kemana?”
“dia tadi masuk rumah
sakit, dokter bilang harus diopname beberapa hari
disana..”
“rumah sakit?Memangnya dia kenapa??”
Tanya Farida yang terlihat sangat terkejut ketika mendengar kabar itu.
“nanti saja aku
jelaskan, Tolong jaga rumah sama si Dion, sekarang aku mesti
balik lagi ke rumah sakit..”
“berapa lama dirawat disananya? Rumah sakit mana? dia baik-baik saja
kan??”
Tanya Farida lagi.
“orang masuk rumah sakit mana mungkin baik-baik saja!!
Sudahlah ibu nanya
terus aku jadi
pusing!lebih baik aku berangkat sekarang!!”
pamitnya yang terlihat kesal sembari bergegas meninggalkan rumah itu.
* * *
Pancaran cahaya keemasan menyinari sebagian tubuhnya. Membuat sebuah
bayangan hitam di dinding ruangan itu. Wajah sayunya itu nampak terlihat gugup,
sambil memandang keluar jendela. Ia hanya bisa menunggu.
sekilas ia teringat memori-memori lamanya dulu. 22 tahun. Yang ia alami.
Apa yang ia miliki, apa yang sudah ia capai, dan apa saja yang telah ia
lewatkan. 22 tahun itu terasa cepat berlalu. Saat itu waktu rasanya seperti
pergi meninggalkannya. Apa yang
membuatnya tetap ingin hidup. Padahal ia tahu. Kejadian beberapa tahun lalu.
Itu dunia nyata. Yang membuatnya berpikir bahwa kebahagian bukanlah bagian dari
hidupnya lagi. ia hanyalah sebuah tanggung jawab dan beban dipundaknya adalah
sebuah hiasan di kehidupannya. Apa yang membuatnya tetap memaksakan diri untuk
hidup. Bahkan ketika ia tahu, bahwa hidup malah tak sedang berpihak padanya.
Apa yang membuatnya tetap menginginkan hidup. Ketika hidup malah seperti tidak
menginginkannya lagi.
“lu udah siap, Ndri?”
Tanya Fira yang baru sampai di bangsalnya.
“kenapa harus diperiksa
lagi? Bukannya sudah jelas kalau aku sakit?!”
“gw juga kurang ngerti,
tapi gw yakin itu juga buat kesembuhan lu..”
Jawab Fira ragu.
“udahlah, lu nggak usah
takut! Paling cuma sakit sedikit!!”
Ujarnya lagi sambil membantu Indri yang masih terlihat gugup beranjak
menuju kursi roda. Dengan hati-hati Fira membawa saudaranya itu menuju satu
ruang pemeriksaan. Lorong demi lorong mereka lewati, Ia terlihat sama gugupnya
seperti Indri. bahkan mungkin lebih besar. Jauh di dalam hatinya ia merasa
sangat ketakutan. Ia tak tahu apa yang akan mereka lakukan pada adiknya, apa
itu menyakitkan. Ataukah hanya pemeriksaan biasa. Ia tak tahu. Ia benar-benar
buta tentang penyakit itu. tapi ia terus berusaha untuk terlihat tenang. Begitu
keduanya sampai, Indri langsung dibawa masuk ke dalam ruang pemeriksaan itu
oleh seorang perawat. Dingin. bau obat langsung menyeruak ke hidungnya begitu
ia sampai didalam sana. Tampak dua orang dokter ahli sudah bersiap untuk
melakukan proses pengambilan sampel sumsum tulang belakangnya, atau yang lebih
sering disebut dengan proses Bone Marrow Puncture (B
M P) sebuah
proses pemeriksaan sumsum tulang belakang dengan cara mengambil sedikit sampel
dari sumsum tulang belakang untuk diperiksa apakah dalam sumsum tulang tersebut
terdapat sel sel kanker atau tidak dan seberapa
tinggi tingkat keganasannya. ya, Hari itu ia memang sudah dijadwalkan untuk
memeriksakan penyakitnya lebih lanjut.
Raut ketakutan itu semakin terlihat jelas di wajah Indri, ketika mereka memintanya untuk
berbaring dengan posisi telungkup di atas sebuah meja periksa. Dingin ia
rasakan sesuatu menyentuh punggungnya. Saat itu jantungnya semakin berdegup
kencang. takut. Indri hanya bisa menutup matanya ketika jarum biopsi perlahan
mulai menembus jaringan kulitnya.
“akh..”
erangnya pelan begitu jarum yang berukuran diatas normal itu semakin
dalam menembus kulit bahkan sampai ke tulang.
Tangannya yang gemetar makin terasa dingin. ia hanya bisa meringis,
Tanpa berani membuka mata. Ibu. Rintihnya dalam hati. Jarum biopsi itu semakin
dalam masuk menembus tulangnya. Perlahan. Para dokter ahli mulai mengambil
beberapa mililiter sel darah yang berada disana. Sakit dilukanya. Tak seberapa.
Tapi rasa takut yang terus menyelubungi perasaannya. Yang membuatnya terlihat
begitu tersiksa menjalani pemeriksaan itu.
“pemeriksaannya sudah
dimulai?”
Tanya Farid dengan nafas yang terengah-engah sambil menghampiri Fira.
“baru aja, kenapa sih
mesti diperiksa lagi? Kan udah jelas kalau dia tu kena
leukemia?!”
jawabnya berang sambil masih
terlihat gugup.
“kamu tenang saja,
pemeriksaan ini bagus untuk mengetahui sudah seberapa
parah penyakitnya juga untuk
menentukan pengobatan mana yang tepat
untuknya!
Lebih cepat kita tahu maka kemungkinan kesembuhannya juga
lebih besar!”
“lu yakin dia nggak
bakalan kenapa-napa?”
“kita berdo’a saja..”
Farid hanya berujar singkat. Karena sejujurnya ia juga tidak bisa
menjamin sesuatu sebelum ia mendapatkan hasil tes yang benar-benar akurat. Jika
setelah itu hasilnya keluar. ia hanya bisa berdo’a dan berharap bahwa sel kanker
yang ada di tubuh Indri belum terlalu serius untuk bisa membunuhnya.
selang satu jam akhirnya Indri keluar. Dengan wajahnya yang masih
terlihat lesu, ia hanya bisa menyapa keduanya orang kakaknya yang tetap setia
menungguinya di depan pintu ruang pemeriksaan. dengan sebuah senyum kecil di
bibirnya.
“gimana tadi? Sakit
nggak?”
Fira langsung menyambutnya dengan sebuah pertanyaan.
“sedikit..”
Jawabnya agak parau.
“biar kami saja yang
mengantarkannya..”
Ujar Farid pada seorang perawat.
“kamu pasti lelah!
Lebih baik kita kembali lagi ke bangsal
saja..”
“hmm..”
“setelah pemeriksaan
ini kita hanya tinggal menunggu hasilnya saja..”
Indri hanya menghela nafas. Dalam hati ia hanya bisa berharap bahwa
semuanya akan baik-baik saja.
No comments:
Post a Comment