Wednesday, January 23, 2013

Cerbung : Hanya Satu #14



Langit sudah telihat biru temarang ketika mentari baru menampakan sedikit cahayanya. Seperti biasa. Indri bangun dari tidurnya pagi itu.
            “akh..”
Gumamnya pelan sembari beranjak dari tempat tidur. Sekujur badannya terasa pegal, mungkin karena kemarin ia terlalu asyik mencoba begitu banyak permainan di taman hiburan bersama Arya. Begitu beranjak ia hanya butuh waktu setengah jam untuk mempersiapkan dirinya pergi bekerja seperti biasa. Hari itu Indri kembali mencium bau wangi dari arah dapur, lagi-lagi tampak Fira tengah sibuk membuatkan sarapan pagi untuknya. Kali ini ia memasakan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi diatasnya.
            “nih..makan dulu!!”
Ujar wanita itu sembari menyodorkan makanannya. Tanpa berkata apapun Indri langsung saja melahap sarapan paginya.
            “kemarin kalian darimana?”
Tanya Fira yang duduk sigap di samping sembari memperhatikannya makan. Tapi Indri tak menjawab pertanyaannya itu, wajahnya tertunduk lesu menutupi matanya yang tampak  semakin sayu.
            “huft..”
Fira hanya menghela nafas. Dan mulai berhenti bertanya, sambil tetap memperhatikannya makan. Perasaannya kembali berkecamuk lagi ketika ia melihat Indri. ia tak bisa membiarkannya tetap seperti itu. mana mungkin ia hanya diam saja tanpa melakukan sesuatu, bertindak bodoh hanya sebagai penonton ketika gadis itu semakin sekarat. Itu gila. Pikirnya lekat-lekat. Sampai ia tak sadar bahwa Indri sudah lama beranjak dari sana begitu makanannya habis.

Sembari sedikit memijat bahu kirinya yang makin terasa pegal, Indri berjalan melewati gang rumahnya menuju jalan raya. Seperti biasa ia menunggu kendaraan umum yang biasa mengantarkannya ke tempat kerja. Udara pagi itu lumayan dingin, tapi ia malah mandi keringat di sekitaran dahinya. Rasanya lesu sekali. Ujarnya dalam hati sembari menaiki sebuah angkutan kota yang baru saja ia hentikan. Lama kendaraan itu melaju rasa lesu yang mengelayutinya tak kunjung hilang. Wajahnyapun  mulai tampak pucat.
            “kamu tidak apa-apa,dek?”
Tanya seorang wanita paruh baya yang juga tengah berada di dalam angkot bersamanya. Tapi Indri hanya tersenyum.
            “tidak apa-apa bu..”
Ujarnya pelan. Sembari memejamkan kedua matanya, mungkin jika ia tidur sebentar rasa sakit itu akan hilang. Tapi kenyataannya itu semua hanya perasaannya saja. begitu ia turun dari angkutan kota, bukannya merasa lebih baik kepalanya malah makin terasa pusing. Keringat dingin juga makin memenuhi dahinya. Rasanya sakit. Sekujur badannya terasa sakit. Indri masih melanjutkan perjalanannya menuju tempat kerja.
Sembari menahan rasa sakit, ia usahakan untuk tetap berjalan. Tapi tiba-tiba semuanya terasa berputar-putar dan samar. Ia mulai tak bisa menopang tubuhnya jalannya pun sudah tak karuan. Berat. Semuanya semakin berputar hebat di kepalanya. Beberapa orang yang juga tengah berjalan kaki di trotoar itu mulai memperhatikannya. Sambil berjalan mereka melirik kearah Indri yang sudah diam berdiri ditempatnya.
            “kamu tidak apa-apa?”
Tanya seorang pejalan kaki yang khawatir ketika melihatnya sudah tak kuasa berdiri dan hanya duduk jongkok di tengah jalan. Tapi Indri tak menjawab, rasanya sulit sekali untuk bersuara. Sambil memegangi dadanya yang mulai terasa sesak Indri hanya bisa menatap si pejalan kaki itu dengan matanya yang merah karena menahan sakit. Sontak saja orang itu langsung terlihat semakin khawatir dan juga kebingungan.
            “kamu tidak apa-apa?”
Tanyanya berulang-ulang sambil tak berhenti mondar-mandir mencoba meminta bantuan. Tak berapa lama beberapa orang mulai mengerumuni keduanya. kembali orang-orang tersebut satu persatu terus bertanya apakah dirinya tidak apa-apa, padahal tanpa ditanyapun harusnya sudah terlihat jelas oleh mereka bahwa keadaan Indri memang sudah tidak baik-baik saja. lama mereka hanya mengerumuninya, ketika ia sudah tampak kewalahan menahan sakit. Sampai salah seorang dari mereka akhirnya mengusulkan untuk membawanya ke rumah sakit. Ketika ambulans datang Indri sudah dalam keadaan tak sadar. Wajahnya tampak semakin pucat.
                       
            *                                               *                                               * 

Sembari membawa hasil tes kesehatan adiknya, Fira pergi ke sebuah cafe untuk menemui seseorang yang ia yakini mau membantu keadaan mereka. Meskipun gengsi, tapi ia teguhkan dirinya untuk datang menemui orang itu.  mereka berjanji untuk bertemu disana sekitar siang hari saat jam makan siang. Tapi 15 menit sebelum jam pertemuan mereka, Fira tampak sudah anteng menunggu kedatangannya sembari duduk di sebuah bangku di pinggir pintu masuk cafe. Sedikitnya ia masih terlihat gugup. tak lama orang yang ditunggupun akhirnya datang. Wajah yang nampak tak asing. Dengan setelan jas dan kacamata khasnya.
            “kamu sudah lama nunggu?”
Tanya pria itu ramah seperti biasa sambil melemparkan sebuah senyuman ke arahnya.
            “lumayan..”
Jawab Fira malas.
            “aku terkejut, waktu kamu menghubungiku..ini  pertama kalinya kamu
  menghubungiku lebih dulu! Apa kamu sudah makan? Mau makan apa? biar
  aku pesankan?”
ujarnya lagi sambil berusaha memanggil seorang pramusaji.
            “udah deh!nggak perlu banyak basa-basi gw kesini cuma mau ngasih tahu lu
  soal ini..”
potong Fira sembari menyodorkan hasil tes kesehatan Indri pada kakak tertuanya itu.
            “ini apa?”
            “lu baca aja dulu, ntar juga lu tahu sendiri..”
Tanpa bertanya lebih banyak, Farid langsung membuka amplop yang berada dihadapannya. Semakin ia membaca isi didalamnya. Tampak raut wajahnya yang semula sumringah berubah sedikit demi sedikit. Seolah tak percaya. Ia ulangi membaca surat itu bahkan hingga tiga kali.
“gw nggak tahu mesti gimana? Lu tahu sendiri keadaan kita kayak
  gini?Jangankan buat berobat? Buat makan aja susah! Sementara dari yang gw
  lihat kondisinya udah makin buruk..kali ini gw mohon banget sama lu..tolong selamatkan dia..”

Pinta Fira berat. apa yang ia lakukan saat itu hampir sama dengan kejadian ibunya dulu. Sembari mengepalkan kedua lengannya kuat-kuat di balik meja. Ia berusaha untuk menahan emosinya.

            “kamu pikir aku ini siapa?”
Tanya Farid yang terlihat marah.
            “aku ini abangmu, kita satu keluarga! Harusnya aku yang jadi tulang punggung
  di keluarga ini..melindungi kalian itu sudah jadi kewajibanku.. kamu tidak perlu
  memohon padaku seperti ini..lagipula aku tidak ingin mengulang kesalahan
  yang sama..”
lanjutnya lagi yang mulai mengingat masa lalu.
            “jadi lu mau bantu gw?”
Tanya Fira meyakinkan.
Rasanya begitu lega ketika ia melihat pria itu mengangguk. Ia bahkan tak bisa menahan harunya.
            “makasih..lu emang abang gw..”
Ujarnya sambil menyimpulkan sebuah senyum. Itu kali pertama ia melakukannya lagi setelah sekian lama keduanya tak pernah berhubungan baik.

*                                                           *                                               *

Dalam keadaan setengah sadar, Indri dibawa ke sebuah rumah sakit. Wajahnya terlihat semakin pucat. Samar. Hanya cahaya lampu disepanjang koridor rumah sakit yang sedikit tertinggal di pelupuk matanya. Saat itu, yang terpikir olehnya hanyalah kematian.

Si pejalan kaki yang pertama kali menghampirinya ikut mendampingi Indri kala itu. tampak pria setengah baya itu terlihat sibuk mengutak-ngatik telepon genggam milik Indri untuk berusaha menghubungi seseorang. Untungnya nomor di kontak gadis itu tak terlalu banyak, jadi dengan mudah ia bisa menghubungi beberapa nomor yang kemungkinan adalah kontak keluarganya.
            “ada apa Ndri?”
Tanya Fira yang tengah sibuk menikmati makan siangnya bersama Farid, begitu mendapati satu panggilan.
            “hallo..maaf, ini dengan siapa ya?”
Orang disebrang telepon malah balik bertanya padanya. Suara yang tak ia kenal dan terdengar lebih mirip suara laki-laki ketimbang suara adik perempuannya itu.
            “kamu yang siapa? Mana Indri?”
            “kalau boleh saya tahu, ini siapanya pemilik handphone ya?”
            “gw kakaknya, emang kenapa? Lu tuh siapa?!”
Tanya Fira  nyolot, sembari sedikit mengebrak meja makannya.  Farid yang melihatnya tampak seperti itupun langsung terdiam dan hanya memperhatikannya sambil keheranan.
            “oh..maaf!! saya hanya mau memberitahukan kalau adik mba ada di Rumah
  Sakit..”
Jelasnya halus. Fira yang awalnya terlihat kesal sekarang malah terlihat kebingungan, begitu ia mendengarkan penjelasan orang yang tengah berbicara di teleponnya. Sambil merengut. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Kini ia malah terlihat semakin terkejut. Farid yang melihatnya seperti itu semakin merasa bingung.
            “ada apa?”
Tanyannya penasaran. Tapi Fira tak menjawab, ia tetap Fokus mendengarkan semua perkataan orang di sebrang teleponnya. Dengan air muka yang tampak mengkhawatirkan.
            “ada apa?”
Tanya Farid lagi. Begitu Fira menutup teleponnya.
            “kita mesti pergi ke rumah sakit!!”
Jawabnya singkat sembari bergegas membereskan tasnya dan beranjak dari tempat itu, Farid yang masih terlihat bingung dan penasaran hanya menurut saja. dengan segera keduanya pergi menuju rumah sakit yang ditunjukan Fira, ia terlihat panik. Ditengah perjalanan menuju rumah sakit ia terus saja tampak gelisah. Bahkan ia terus saja mengomel dan memaki ketika perjalanan mereka harus terhenti saat lampu merah. Dan begitu mobil yang mereka kendarai berhenti tepat didepan pintu masuk rumah sakit, Fira langsung bergegas turun dan berlari masuk ke dalam rumah sakit itu. Ia berlarian di koridor rumah sakit seperti orang gila. Sambil mencari-cari orang yang tadi menghubunginya. 
            “bagaimana kondisi adik saya?”
Tanya Fira begitu ia sampai di depan ruang IGD dengan nafas yang terengah-engah.
            “saya juga kurang tahu, dia masih diperiksa dokter..”
Jawab pria itu segera.
            “ini barang-barang adik mba..”
Ujarnya lagi sembari memberikan tas milik Indri yang sering dipakainya untuk pergi bekerja. Tak lama kemudian Farid datang menghampiri keduanya. ia masih terlihat sedikit bingung. Tapi begitu ia melihat Indri dibawa keluar dari ruang IGD, ia akhirnya mengerti, apa yang tengah terjadi saat itu. Sementara Farid pergi untuk mengurus segala prosedur administrasi di rumah sakit. Fira menemani Indri yang masih terbaring di ruang rawatnya. ia tak berhenti menghela nafas sambil memandangi wajah adiknya itu.
            “Indri sudah bangun?”
Tanya Farid yang baru kembali ke ruangan itu.
            “belum, tadi dokter bilang apa?”
            “Hbnya turun..jadi perlu diopname..”
            “lu liat sendirikan? Gw nggak bohong, dia memang sekarat!”
            “sudahlah aku percaya! jadi kamu jangan khawatir..dia pasti akan baik-baik
  saja!”
Hari semakin larut. keduanya masih setia menemani Indri yang belum juga terjaga, wajahnya yang tampak pucat pasi sedikit demi sedikit mulai tampak lebih baik. Sebaliknya raut kelelahan malah terlihat jelas di wajah kedua kakak kandungnya itu. hingga akhirnya sekitar tengah malam Indri mulai membuka matanya.
            “dia sadar..”
Ujar Fira yang langsung berlari membangunkan Farid dari kursinya begitu melihat mata adiknya itu terbuka. Indri masih terlihat bingung. Ia tak tahu apa yang terjadi yang ia ingat hanya kepalanya yang terasa begitu pusing kala itu. sembari memegangi kepalanya Indri berusaha untuk bangun dari tempatnya. Tapi dengan segera Farid memintanya untuk tetap membaringkan tubuhnya.
            “sudah kamu tidur saja, jangan banyak bergerak!”
            “mana yang sakit? Perlu gw panggilin dokter?”
Ujar keduanya, begitu perhatian.
            “aku nggak apa-apa..”
Jawab Indri tak jelas, karena nafasnya yang masih berat.
            “kamu tenang saja..kita akan berusaha sebaik mungkin untuk membantumu
  sembuh secepatnya..”
            “kalian tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja..”
            “udah deh Ndri, lu nggak perlu pura-pura kuat! Kita tahu kondisi lu tuh udah
   kayak gimana? Lu jangan mikir macem-macem! Ini semua kita lakuin demi
   lu..biar lu cepet sembuh! gw nggak mau lu kenapa-napa Ndri! Gw nggak mau
   lu mati, Cuma lu satu-satunya yang gw punya..”
Ujar Fira lirih.
“Fira bener, Ndri! Kakak mau kamu sembuh!!kita semua mau kesembuhan
   kamu!jadi kamu harus kuat..”
 “aku tidak akan mati semudah itu..”
Jawabnya lagi, sambil menatap iba wajah kedua kakaknya. Aku tidak akan mati. Aku... tidak ingin mati. 



Deru mesin kendaraan terdengar mulai menghilang. Dengan langkahnya yang mulai gontai ia berjalan menuju pelataran rumahnya. Dan berhenti di depan pintu.
            “Assalamualaikum..”
Salamnya seraya membuka pintu. hari itu hampir subuh. Langit yang pekat. Mulai terlihat kebiru-biruan.
            “Waalaikumsalam, sudah pulang mas? Kok larut begini?”
Tanya Ine yang muncul dari arah kamar mereka. Farid tak langsung menjawab pertanyaan istrinya itu. sambil melonggarkan kerah & kancing lengan kemejanya ia rebahkan tubuhnya diatas sebuah sofa.
            “bisa tolong buatkan aku minum, rasanya haus sekali!!”
Tanpa banyak bertanya dulu wanita itu dengan sigap langsung bergegas menuju dapur, dan tak lama kembali  sambil membawakan segelas teh hangat untuknya.
            “gimana tadi? mas ngobrolin apa saja sama Fira?”
Tanya Ine kembali. Tapi, Farid malah melamun sambil menghela nafas panjang. Kemudian sedikit demi sedikit mulai meneguk minumannya.
            “ada apa?”
            “hari ini Indri masuk rumah sakit..”
            “rumah sakit??memangnya dia kenapa?”
            “tadi siang dia pingsan di jalan..”
            “pingsan? Kok bisa sampai pingsan? Memang dia sakit apa?”
            “aku juga belum terlalu yakin tapi kemungkinan besar itu leukemia..”
            “leukemia??”
Ine hanya bisa terperanjat tak percaya.
            “separah itu?sekarang keadaannya bagaimana?”
            “tadi sekitar jam 12 dia baru sadar..”
            “jadi semalam tadi mas jagain dia di rumah sakit?”
            “hmm..”
Jawabnya hanya dengan sebuah anggukan.
            “tolong jangan kasih tahu ayah dulu..kita tunggu sampai hasil tesnya benar-
  benar sudah meyakinkan! saya tidak ingin membuatnya merasa khawatir..”
            “iya..”

Dingin. udara malam itu tak menyurutkan langkah Fira melewati gang-gang kecil rumahnya. Sepi. Hanya suara langkah kaki dan binatang malam yang mengiringi perjalanannya. Wajah lelahnya itu, terus saja tak berhenti menunjukan raut kesedihan. Dengan berat hati ia harus pergi meninggalkan Indri yang baru saja tersadar tengah malam tadi sendirian di rumah sakit. Farid yang kala itu ikut menjaga Indri juga harus bergegas pulang untuk mengabari keluarganya.
Lama ia hanya berdiri di depan pintu rumah mereka yang sering kali ia anggap sebagai gubuk reyot yang tak ada harganya. Kenapa semua jadi seperti ini. Kenapa hidup mereka jadi sebegitu menyedihkan seperti ini. Apa Tuhan sebegitu membencinya, hingga semua yang ada dihidupnya jadi begitu berantakan.
            “aku harus bagaimana?”
Eluhnya dalam hati, sembari menghapus basah di kedua pelupuk matanya. Segera ia hilangkan raut kesedihan itu dari paras cantiknya sambil hendak membuka pintu. tapi ketika ia berusaha membuka pintu, tiba-tiba seseorang muncul dari balik pintu itu. ia sempat terperanjat beberapa saat. Tapi ekspresi terkejut itu segera memudar  begitu ia tahu bahwa orang yang baru saja ia lihat adalah Farida.
            “ibu bikin saya kaget tahu?!!”
Sentaknya begitu saja pada wanita paruh baya itu.
            “maaf, Ibu kira Indri yang barusan pulang? soalnya udah jam segini dia belum
  pulang juga!”
            “hari ini dia nggak akan pulang..”
Jawab Fira malas sambil bergegas pergi menuju kamar Indri. kemudian sibuk mengemasi beberapa pakaian juga peralatan mandi milik adiknya itu kedalam sebuah tas ransel besar.
            “memangnya Indri kemana?”
            “dia tadi masuk rumah sakit, dokter bilang harus diopname beberapa hari
  disana..”
“rumah sakit?Memangnya dia kenapa??”
Tanya Farida yang terlihat sangat terkejut ketika mendengar kabar itu.
            “nanti saja aku jelaskan, Tolong jaga rumah sama si Dion, sekarang aku mesti
  balik lagi ke rumah sakit..”
“berapa lama dirawat disananya? Rumah sakit mana? dia baik-baik saja kan??”
Tanya Farida lagi.
“orang masuk rumah sakit mana mungkin baik-baik saja!! Sudahlah ibu nanya
  terus aku jadi pusing!lebih baik aku berangkat sekarang!!”
pamitnya yang terlihat kesal sembari bergegas meninggalkan rumah itu.

            *                                                           *                                               *

Pancaran cahaya keemasan menyinari sebagian tubuhnya. Membuat sebuah bayangan hitam di dinding ruangan itu. Wajah sayunya itu nampak terlihat gugup, sambil memandang keluar jendela. Ia hanya bisa menunggu.

sekilas ia teringat memori-memori lamanya dulu. 22 tahun. Yang ia alami. Apa yang ia miliki, apa yang sudah ia capai, dan apa saja yang telah ia lewatkan. 22 tahun itu terasa cepat berlalu. Saat itu waktu rasanya seperti pergi meninggalkannya. Apa  yang membuatnya tetap ingin hidup. Padahal ia tahu. Kejadian beberapa tahun lalu. Itu dunia nyata. Yang membuatnya berpikir bahwa kebahagian bukanlah bagian dari hidupnya lagi. ia hanyalah sebuah tanggung jawab dan beban dipundaknya adalah sebuah hiasan di kehidupannya. Apa yang membuatnya tetap memaksakan diri untuk hidup. Bahkan ketika ia tahu, bahwa hidup malah tak sedang berpihak padanya. Apa yang membuatnya tetap menginginkan hidup. Ketika hidup malah seperti tidak menginginkannya lagi.
            “lu udah siap, Ndri?”
Tanya Fira yang baru sampai di bangsalnya.
            “kenapa harus diperiksa lagi? Bukannya sudah jelas kalau aku sakit?!”
            “gw juga kurang ngerti, tapi gw yakin itu juga buat kesembuhan lu..”
Jawab Fira ragu.
            “udahlah, lu nggak usah takut! Paling cuma sakit sedikit!!”
Ujarnya lagi sambil membantu Indri yang masih terlihat gugup beranjak menuju kursi roda. Dengan hati-hati Fira membawa saudaranya itu menuju satu ruang pemeriksaan. Lorong demi lorong mereka lewati, Ia terlihat sama gugupnya seperti Indri. bahkan mungkin lebih besar. Jauh di dalam hatinya ia merasa sangat ketakutan. Ia tak tahu apa yang akan mereka lakukan pada adiknya, apa itu menyakitkan. Ataukah hanya pemeriksaan biasa. Ia tak tahu. Ia benar-benar buta tentang penyakit itu. tapi ia terus berusaha untuk terlihat tenang. Begitu keduanya sampai, Indri langsung dibawa masuk ke dalam ruang pemeriksaan itu oleh seorang perawat. Dingin. bau obat langsung menyeruak ke hidungnya begitu ia sampai didalam sana. Tampak dua orang dokter ahli sudah bersiap untuk melakukan proses pengambilan sampel sumsum tulang belakangnya, atau yang lebih sering disebut dengan proses Bone Marrow Puncture (B M P) sebuah proses pemeriksaan sumsum tulang belakang dengan cara mengambil sedikit sampel dari sumsum tulang belakang untuk diperiksa apakah dalam sumsum tulang tersebut terdapat sel sel kanker atau tidak dan seberapa tinggi tingkat keganasannya. ya, Hari itu ia memang sudah dijadwalkan untuk memeriksakan penyakitnya lebih lanjut.

Raut ketakutan itu semakin terlihat jelas di  wajah Indri, ketika mereka memintanya untuk berbaring dengan posisi telungkup di atas sebuah meja periksa. Dingin ia rasakan sesuatu menyentuh punggungnya. Saat itu jantungnya semakin berdegup kencang. takut. Indri hanya bisa menutup matanya ketika jarum biopsi perlahan mulai menembus jaringan kulitnya. 
“akh..”
erangnya pelan begitu jarum yang berukuran diatas normal itu semakin dalam menembus kulit bahkan sampai ke tulang.  Tangannya yang gemetar makin terasa dingin. ia hanya bisa meringis, Tanpa berani membuka mata. Ibu. Rintihnya dalam hati. Jarum biopsi itu semakin dalam masuk menembus tulangnya. Perlahan. Para dokter ahli mulai mengambil beberapa mililiter sel darah yang berada disana. Sakit dilukanya. Tak seberapa. Tapi rasa takut yang terus menyelubungi perasaannya. Yang membuatnya terlihat begitu tersiksa menjalani pemeriksaan itu.
            “pemeriksaannya sudah dimulai?”
Tanya Farid dengan nafas yang terengah-engah sambil menghampiri Fira.
            “baru aja, kenapa sih mesti diperiksa lagi? Kan udah jelas kalau dia tu kena
  leukemia?!”
jawabnya berang  sambil masih terlihat gugup.
            “kamu tenang saja, pemeriksaan ini bagus untuk mengetahui sudah seberapa
   parah penyakitnya juga untuk menentukan pengobatan mana yang tepat
   untuknya! Lebih cepat kita tahu maka kemungkinan kesembuhannya juga
   lebih besar!”
            “lu yakin dia nggak bakalan kenapa-napa?”
            “kita berdo’a saja..”
Farid hanya berujar singkat. Karena sejujurnya ia juga tidak bisa menjamin sesuatu sebelum ia mendapatkan hasil tes yang benar-benar akurat. Jika setelah itu hasilnya keluar. ia hanya bisa berdo’a dan berharap bahwa sel kanker yang ada di tubuh Indri belum terlalu serius untuk bisa membunuhnya.   

selang satu jam akhirnya Indri keluar. Dengan wajahnya yang masih terlihat lesu, ia hanya bisa menyapa keduanya orang kakaknya yang tetap setia menungguinya di depan pintu ruang pemeriksaan. dengan sebuah senyum kecil di bibirnya.
            “gimana tadi? Sakit nggak?”
Fira langsung menyambutnya dengan sebuah pertanyaan.
            “sedikit..”
Jawabnya agak parau.
            “biar kami saja yang mengantarkannya..”
Ujar Farid pada seorang perawat.
            “kamu pasti lelah! Lebih baik  kita kembali lagi ke bangsal saja..”
            “hmm..”
            “setelah pemeriksaan ini kita hanya tinggal menunggu hasilnya saja..”
Indri hanya menghela nafas. Dalam hati ia hanya bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

No comments: