Begitu lelap ia tertidur. Tak tampak sedikitpun rona
kesakitan dan kesusahan yang selama ini mendera dirinya. Sungguh...Maha Besar
Tuhan yang telah menciptakan siang dan malam. Hingga ia bisa melupakan sejenak
kesulitan hidupnya dalam selimut mimpi sang pemilik nyawa.
“krek...krek..”
Suara gaduh itu terdengar dari arah dapur.
“trang..treng..”
Pagi-pagi sekali bahkan sebelum matahari menampakan wujudnya Fira sudah
sibuk membereskan seisi rumah. Tak seperti biasa.
“kamu itu sedang apa?
Pagi-pagi sudah bikin ribut..”
tanya Indri yang masih terlihat mengantuk sambil berdiri di belakangnya.
“eh, lu udah bangun?
Sorry kalau gw ganggu tidur lu..”
Jawabnya.
“lu mandi aja sana,
ntar abis mandi kita sarapan! Gw udah bikinin nasi goreng
tuh di meja!!”
ujarnya lagi sembari sibuk merapihkan piring-piring yang baru saja ia
cuci ke dalam lemari.
“kamu nggak perlu
ngelakuin semua ini?”
“akh..berisik! udah
sana mandi! emangnya lu nggak bakalan kerja apa?”
Sentaknya kemudian sembari memberikan handuk dan peralatan mandi pada
adik perempuannya itu. Indri hanya merengut dan mengerutu pelan ketika Fira
mengusirnya keluar dari dapur.
“kerja jam berapa?”
Tanya Fira sembari menyuguhkan sepiring nasi goreng begitu Indri selesai
mandi.
“jam tujuh..”
“lu bisa pergi sendiri?
Apa perlu gw anterin lu kesana?”
“nggak perlu, aku masih
bisa pergi sendiri..”
Jawabnya dingin sembari melahap sarapan paginya.
“sejak kapan lu tahu
tentang penyakit lu itu?”
Tanya Fira begitu hati-hati.
“belum lama..”
“lu udah pernah
periksain lebih lanjut belum?”
Indri hanya menggelengkan kepalanya.
“apa si Arya tahu
tentang kondisi lu?”
Tanyanya lagi tapi jawabnya masih sama.
“kenapa lu nggak
ngomong sama si Arya? dia itu kan dokter! Apalagi kalian
bukannya lagi
pacaran? Dia pasti bakal bantuin pengobatan lu..”
ujarnya begitu mengebu-ngebu, tapi Indri hanya meliriknya sinis.
“gw minta maaf kalau
omongan gw salah? Tapi penyakit lu tuh nggak boleh
didiemin aja!
kan kalau udah parah ribet juga nantinya?”
“itu bukan urusan kamu..aku juga tidak akan meminta
bantuanmu nantinya!Jadi
tenang saja!
dan urus saja urusanmu sendiri.. jangan terlalu memaksakan diri
untuk bertanggung jawab tentang keadaanku..”
jawab Indri sambil beranjak dari
tempat duduknya.
“lu sombong banget!
Bukan apa-apa, gw itu cuma khawatir sama lu!”
“aku pergi dulu..”
“lu mau berangkat
sekarang?”
“hmm..”
Pamitnya sembari membawa Dion keluar rumah. Keduanya berjalan menuju
rumah Farida. Wanita tua itu tampak tengah sibuk menyiapkan beberapa bahan
masakan di teras rumah untuk ia jual malam harinya.
“Assalamualaikum..”
Sapa Indri pada wanita itu.
“Waalaikumsalam, kamu sudah mau berangkat ndri?”
Jawab Farida begitu Indri dan Dion sudah berada di depan terasnya.
“iya bu..titip Dion ya?”
“iya..kamu hati-hati di jalan!!”
Dion yang sudah biasa di titipkan disana langsung menghampiri Farida. Ia
duduk di samping wanita tua itu sembari memperhatikannya memotong begitu banyak
daun bawang.
“saya berangkat dulu..”
Pamitnya, kemudian berjalan menjauhi rumah Farida dan pergi ke arah gang
yang sering ia lewati setiap hari.
Mata sayunya nampak kosong. Ia berhenti di pinggir jalan. Seperti patung
ia berdiri disana tanpa bergerak sedikitpun, dan kedua matanya terus tertunduk
memperhatikan aspal jalan. Satu dua angkutan kota yang sering ia tumpangi untuk
sampai di tempat kerjanya ia biarkan berlalu begitu saja. Ia menengok jam yang
ada di layar handphonenya. Pukul 07.30. itu sudah sangat terlambat untuk sampai
di restoran. tapi seolah tak perduli. ia kembali melamun. Beberapa saat kemudian ia nyalakan lagi
handphonenya, dan tampak menghubungi seseorang.
“tut..tut...tut..”
Begitu bunyi yang ia dengar sembari menunggu panggilannya diangkat.
“hallo..”
Jawab si pemilik nomor tak berapa lama.
“Rin, hari ini aku
nggak bisa masuk kerja..tolong ijinin ya?”
“loch..emangnya kenapa?
Kamu sakit?”
“hmm...aku agak nggak
enak badan..”
Jawabnya lesu.
“kamu udah ke dokter?”
“belum, siang ini baru
mau kesana..”
“ya udah, nanti aku
bilangin sama mba Wiwi..kamu istirahat, biar cepet
sembuh!!”
“hmm..makasih Rin, aku tutup teleponnya ya?”
“iya..”
Panggilan itupun berakhir singkat. Kali ini Indri mulai menghentikan
sebuah angkutan kota yang melintas tepat di hadapannya. Hari itu ia putuskan
untuk pergi kesatu tempat yang sudah lama tak pernah ia kunjungi. mungkin
kondisi disana sudah sangat tak terurus. Sambil memperhatikan jalanan dari
balik kaca angkot ia tak berhenti memikirkan perkara itu. sekitar setengah
jam. akhirnya ia sampai juga disana. tak
banyak orang. Mungkin karena ini bukan waktu yang biasa untuk datang kesana.
Indri menghampiri sebuah lapak pedagang. Ia menengok ke sekeliling. Tak ada
siapapun. Selain jajaran botol air dan beberapa bunga yang dibungkus kertas
koran.
“mau beli bunga neng?”
Tanya pemilik lapak dari arah belakang langsung mengejutkannya.
“iya pak..berapa
sebungkusnya?”
“2000 ribu aja neng!”
Indri membeli tiga bungkus bunga dan sebotol air di lapak itu. sambil
terus menyisir jalan setapak disana, ia berusaha mengingat-ngingat dimana letak
makam ibunya. Sudah sangat lama sejak ibunya meninggal dan di makamkan disana,
baik Indri maupun Fira keduanya tidak pernah datang lagi ke tempat itu. tepat
di sudut pemakaman dekat aliran sungai Indri menghentikan langkahnya. Disana.
Ia melihat makam ibunya yang memang tampak tak terurus, banyak rumput liar
hampir menutupi permukaan makam. Ia dekati makam itu kemudian duduk di
sampingnya. sambil membersihkan makam tersebut dengan kedua tangannya. Indri
mulai bicara sendiri, entah apa yang ia katakan pada jasad dibawah gundukan
tanah yang tak mungkin bisa mendengarnya lagi. Tapi jika dilihat dari raut
wajahnya, sudah pasti itu adalah hal yang menyedihkan. Setelah makam itu tampak
sedikit bersih, ia taburkan 2 bungkus bunga dan air yang ia beli dari seorang
pedagang di lapak tadi. Airmatanya tak terbendung ketika mulutnya
menyenandungan sedikit do’a yang ia tahu untuk ibunya. Diiringi suara deras air
yang jatuh dari jurang sungai, juga guguran bunga kamboja. Pagi itu ia habiskan
dengan berdo’a di samping makam ibunya.
Dan saat matahari sudah sedikit terik, ia mulai beranjak dari duduknya
meninggalkan makam itu. ia lewati lagi jalan setapak yang tadi dilaluinya
termasuk lapak pedagang yang masih tetap sepi didatangi pembeli. Ia
menghentikan lagi sebuah bus, kali ini yang ia tuju adalah sebuah rumah sakit,
hari itu ia datang bukan untuk memeriksakan kondisinya. Ia sengaja datang
kesana hanya untuk bertemu dengannya.
Indri berdiri di depan sebuah pintu, tangannya tampak hendak mengetuk
pintu itu tapi tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namannya dari ujung
lorong sisi kirinya.
“Indri!!”
Panggil orang tadi sembari berlari kecil menghampirinya.
“kenapa kamu kemari?
Apa kamu sakit?”
Tanya pria itu lengkap dengan pakaian dokter dan stetoskop yang
melingkar di lehernya.
“tidak,
aku hanya ingin menemuimu..”
Jawabnya sambil tersenyum simpul begitu Arya sudah berada di hadapannya.
“kamu tidak kerja?”
“aku libur..”
“libur?”
“huuh, boleh aku
masuk?”
“masuk saja..”
Begitu sampai di dalam, Arya langsung mempersilahkannya duduk di sebuah kursi
yang memang ada di ruang.
“ada apa?”
tanya pria itu yang merasa heran karena kedatangannya.
“tidak ada apa-apa, di
rumah bosan sekali! Jadi aku kemari untuk melihatmu
bekerja..”
“benar tidak ada apa-apa?”
Tanyanya lagi.
“iya!! kamu lanjutan saja pekerjaanmu, tidak usah
pedulikan aku..”
Pria itu hanya mengerutkan dahi, sembari kembali melanjutkan
pekerjaannya. Waktu berlalu. saat memeriksa beberapa laporan kesehatan tak
jarang Arya melirik Indri yang hanya duduk diam dan terus memperhatikannya tanpa
berkata apapun.
“aku keluar sebentar,
kamu tidak apa-apakan disini sendirian?”
“kamu mau
kemana?”
“aku harus memeriksa beberapa pasien,kamu tunggu saja
disini! aku tidak
lama..”
Jelas Arya sambil menenteng
beberapa berkas kemudian bergegas keluar.
Dan begitu pintu itu tertutup raut wajah pria itu tampak berbeda, ia
menghela nafas panjang sambil memegangi dadanya. Jantungnya berdebar kencang.
Konsentrasinya langsung buyar ketika mengetahui gadis itu terus
memperhatikannya seperti tadi. Ia mengerutu sendiri, sambil mengantuk-antukan
kepalanya pada sebuah pintu.
“gadis itu pandai
sekali membuatku jadi tak karuan seperti ini!!”
Keluhnya dalam hati tanpa berhenti mengantuk-antukan kepalanya, sampai
seorang perawat menegurnya dari arah belakang.
“anda tidak apa-apa,
dok?”
Tanya perawat itu sembari menepuk pundaknya. Sontak saja Arya langsung
terperanjat. Ia tampak kelimpungan. Malu juga lucu. ia hanya meringis. Kemudian
berlari meninggalkan tempat itu segera sambil menundukan kepalanya.
Cukup lama, pria itu meninggalkannya sendirian di dalam ruang kerjanya.
Karena bosan. Indri yang sedari tadi anteng duduk diatas sofa akhirnya beranjak
juga. Ia menghampiri meja kerja yang terlihat apik dengan sebuah papan nama
yang terbuat dari ukiran kayu bertuliskan Dr. M. Arya Ramadian. Sedikit tidak
sopan memang, tapi berhubung si empuya ruangan sedang tidak ada, tangan-tangan
jahil Indri mulai mengotak-atik isi meja
dokter muda itu. ada rasa penasaran yang memenuhi kepalanya. Satu persatu laci
ia jelajahi. Isinya hampir semua berkas-berkas rumah sakit, hingga akhirnya ia
sampai di satu laci kecil sebelah kanan meja. Disana ada yang sedikit menarik
perhatiannya. handphone milik Arya yang tergeletak begitu saja. dengan cekatan
jari-jari kecilnya mulai mengutak-atik isi handphone itu. tapi Indri langsung
tertegun saat ia mendapati ada foto dirinya di dalam handphone itu. bukan hanya
satu melainkan banyak, semuanya itu diambil tanpa sepengetahuannya. Bahkan
foto-fotonya itu mempunyai folder tersendiri. Terkejut. Indri bertanya dalam
hati.
Sekitar waktu makan siang akhirnya Arya kembali ke ruang kerjanya, saat
ia masuk gadis itu masih terlihat tenang duduk diatas sofa ruang tamu kecil
ruangan itu.
“kamu sudah kembali?”
Sapanya sambil tak berhenti memandangi Arya yang langsung berjalan ke
meja kerjanya.
“iya..”
Jawabnya kikuk.
“kira-kira kapan
kerjaan kamu selesai?”
“memangnya kenapa?”
“kalau memang tidak ada
kerjaan yang mendesak, hari ini temani aku jalan-
jalan!”
“jalan-jalan? memangnya
kamu mau jalan-jalan kemana?”
Ia bertanya tapi tak mau memandang gadis itu, sambil entah menulis apa
Arya hanya terus menundukan wajahnya.
“kemana saja, asal sama
kamu..”
Jawabnya lugu. Entah kenapa, tangannya serasa mulai gemetar lagi. Baru
kali ini ia dibuat salah tingkah seperti ini. Jangankan melihat wajah Indri
yang masih duduk tenang di tempatnya. Baru mendengar suaranya saja sudak
membuat pria itu merinding tak karuan.
“kenapa kamu diam saja?
kamu tidak mau pergi?”
“aku masih ada kerjaan,
lain kali saja kita perginya..”
Jawab Arya berat. Hening sejenak. Arya yang sedikit penasaran karena tak
mendengar gertakan Indri mulai meliriknya. Gadis itu masih duduk tenang di
tempatnya, sambil tak berhenti menatap kearahnya. sekilas tampak sedikit
menakutkan juga.
“bagaimana kalau tidak
ada lain kali?”
Tanyanya lirih kemudian sembari tertunduk lesu.
“kamu itu bicara apa?”
“bagaimana kalau tidak pernah ada kata lain kali?”
“itu tidak mungkin? aku janji lain kali kita pasti
pergi bersama! aku akan temani
kamu kemanapun
kamu mau pergi! Tapi tidak hari ini..”
jelas Arya sambil mulai mendekatinya.
“kenapa mesti lain
kali? Kenapa tidak hari ini saja?!!”
Sentak Indri kesal.
“memangnya kenapa mesti
hari ini?”
Arya malah balik bertanya. Tapi
gadis itu hanya diam seribu bahasa, kemudian mulai mengeluarkan jurus andalan
semua wanita. Menangis.
“kenapa kamu malah
menangis? bukannya sudah ku bilang aku paling tidak
suka melihatmu seperti ini?”
ujarnya yang mulai luluh sembari menghapus basah di kedua pipi gadis itu.
“kalau pekerjaanku
sudah selesai, aku akan temani kamu pergi..”
“kapan selesainya?”
“sebentar lagi..karena
itu berhentilah menangis!”
Sentaknya pelan.
“kenapa kamu tidak
mengatakannya dari tadi? Kamu sengaja ingin
mempermainkanku,
huh?!!!”
tapi Indri malah balas membentaknya keras, sembari memukuli bahu Arya
dengan sekuat tenaga.
“akh..maaf-maaf! Aku
tidak bermaksud seperti itu!”
Jelasnya sambil berusaha menghindari pukulan Indri yang bertubi-tubi
kearahnya.
“sudah hentikan! Itu sakit!!!!”
Teriaknya makin kesakitan. Ketika gadis itu tak mau menghentikan
pukulannya. Kadang ia tak mengerti pada dirinya sendiri. Apa yang sangat
menarik dari gadis itu, hingga ia bisa jadi seperti ini.
“cinta, itu memang gila..”
No comments:
Post a Comment