Wednesday, January 23, 2013

Cerbung : Hanya Satu #12



Begitu lelap ia tertidur. Tak tampak sedikitpun rona kesakitan dan kesusahan yang selama ini mendera dirinya. Sungguh...Maha Besar Tuhan yang telah menciptakan siang dan malam. Hingga ia bisa melupakan sejenak kesulitan hidupnya dalam selimut mimpi sang pemilik nyawa.
            “krek...krek..”
Suara gaduh itu terdengar dari arah dapur.
            “trang..treng..”
Pagi-pagi sekali bahkan sebelum matahari menampakan wujudnya Fira sudah sibuk membereskan seisi rumah. Tak seperti biasa.
            “kamu itu sedang apa? Pagi-pagi sudah bikin ribut..”
tanya Indri yang masih terlihat mengantuk sambil berdiri di belakangnya.
            “eh, lu udah bangun? Sorry kalau gw ganggu tidur lu..”
Jawabnya.
            “lu mandi aja sana, ntar abis mandi kita sarapan! Gw udah bikinin nasi goreng
  tuh di meja!!”
ujarnya lagi sembari sibuk merapihkan piring-piring yang baru saja ia cuci ke dalam lemari.
            “kamu nggak perlu ngelakuin semua ini?”
            “akh..berisik! udah sana mandi! emangnya lu nggak bakalan kerja apa?”
Sentaknya kemudian sembari memberikan handuk dan peralatan mandi pada adik perempuannya itu. Indri hanya merengut dan mengerutu pelan ketika Fira mengusirnya keluar dari dapur.
            “kerja jam berapa?”
Tanya Fira sembari menyuguhkan sepiring nasi goreng begitu Indri selesai mandi.
            “jam tujuh..”
            “lu bisa pergi sendiri? Apa perlu gw anterin lu kesana?”
            “nggak perlu, aku masih bisa pergi sendiri..”
Jawabnya dingin sembari melahap sarapan paginya.
            “sejak kapan lu tahu tentang penyakit lu itu?”
Tanya Fira begitu hati-hati.
            “belum lama..”
            “lu udah pernah periksain lebih lanjut belum?”
Indri hanya menggelengkan kepalanya.
            “apa si Arya tahu tentang kondisi lu?”
Tanyanya lagi tapi jawabnya masih sama.
            “kenapa lu nggak ngomong sama si Arya? dia itu kan dokter! Apalagi kalian
  bukannya lagi pacaran? Dia pasti bakal bantuin pengobatan lu..”
ujarnya begitu mengebu-ngebu, tapi Indri hanya meliriknya sinis.
            “gw minta maaf kalau omongan gw salah? Tapi penyakit lu tuh nggak boleh
  didiemin aja! kan kalau udah parah ribet juga nantinya?”
“itu bukan urusan kamu..aku juga tidak akan meminta bantuanmu nantinya!Jadi
  tenang saja! dan urus saja urusanmu sendiri.. jangan terlalu memaksakan diri
  untuk  bertanggung jawab tentang keadaanku..”
 jawab Indri sambil beranjak dari tempat duduknya.
            “lu sombong banget! Bukan apa-apa, gw itu cuma khawatir sama lu!”
            “aku pergi dulu..”
            “lu mau berangkat sekarang?”
            “hmm..”
Pamitnya sembari membawa Dion keluar rumah. Keduanya berjalan menuju rumah Farida. Wanita tua itu tampak tengah sibuk menyiapkan beberapa bahan masakan di teras rumah untuk ia jual malam harinya.
“Assalamualaikum..”
Sapa Indri pada wanita itu.
“Waalaikumsalam, kamu sudah mau berangkat ndri?”
Jawab Farida begitu Indri dan Dion sudah berada di depan terasnya.
“iya bu..titip Dion ya?”
“iya..kamu hati-hati di jalan!!”
Dion yang sudah biasa di titipkan disana langsung menghampiri Farida. Ia duduk di samping wanita tua itu sembari memperhatikannya memotong begitu banyak daun bawang.
            “saya berangkat dulu..”
Pamitnya, kemudian berjalan menjauhi rumah Farida dan pergi ke arah gang yang sering ia lewati setiap hari.

Mata sayunya nampak kosong. Ia berhenti di pinggir jalan. Seperti patung ia berdiri disana tanpa bergerak sedikitpun, dan kedua matanya terus tertunduk memperhatikan aspal jalan. Satu dua angkutan kota yang sering ia tumpangi untuk sampai di tempat kerjanya ia biarkan berlalu begitu saja. Ia menengok jam yang ada di layar handphonenya. Pukul 07.30. itu sudah sangat terlambat untuk sampai di restoran. tapi seolah tak perduli. ia kembali melamun.  Beberapa saat kemudian ia nyalakan lagi handphonenya, dan tampak menghubungi seseorang.
            “tut..tut...tut..”
Begitu bunyi yang ia dengar sembari menunggu panggilannya diangkat.
            “hallo..”
Jawab si pemilik nomor tak berapa lama.
            “Rin, hari ini aku nggak bisa masuk kerja..tolong ijinin ya?”
            “loch..emangnya kenapa? Kamu sakit?”
            “hmm...aku agak nggak enak badan..”
Jawabnya lesu.
            “kamu udah ke dokter?”
            “belum, siang ini baru mau kesana..”
            “ya udah, nanti aku bilangin sama mba Wiwi..kamu istirahat, biar cepet
  sembuh!!”
“hmm..makasih Rin, aku tutup teleponnya ya?”
“iya..”
Panggilan itupun berakhir singkat. Kali ini Indri mulai menghentikan sebuah angkutan kota yang melintas tepat di hadapannya. Hari itu ia putuskan untuk pergi kesatu tempat yang sudah lama tak pernah ia kunjungi. mungkin kondisi disana sudah sangat tak terurus. Sambil memperhatikan jalanan dari balik kaca angkot ia tak berhenti memikirkan perkara itu. sekitar setengah jam.  akhirnya ia sampai juga disana. tak banyak orang. Mungkin karena ini bukan waktu yang biasa untuk datang kesana. Indri menghampiri sebuah lapak pedagang. Ia menengok ke sekeliling. Tak ada siapapun. Selain jajaran botol air dan beberapa bunga yang dibungkus kertas koran.
           
“mau beli bunga neng?”
Tanya pemilik lapak dari arah belakang langsung mengejutkannya.
            “iya pak..berapa sebungkusnya?”
            “2000 ribu aja neng!”

Indri membeli tiga bungkus bunga dan sebotol air di lapak itu. sambil terus menyisir jalan setapak disana, ia berusaha mengingat-ngingat dimana letak makam ibunya. Sudah sangat lama sejak ibunya meninggal dan di makamkan disana, baik Indri maupun Fira keduanya tidak pernah datang lagi ke tempat itu. tepat di sudut pemakaman dekat aliran sungai Indri menghentikan langkahnya. Disana. Ia melihat makam ibunya yang memang tampak tak terurus, banyak rumput liar hampir menutupi permukaan makam. Ia dekati makam itu kemudian duduk di sampingnya. sambil membersihkan makam tersebut dengan kedua tangannya. Indri mulai bicara sendiri, entah apa yang ia katakan pada jasad dibawah gundukan tanah yang tak mungkin bisa mendengarnya lagi. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, sudah pasti itu adalah hal yang menyedihkan. Setelah makam itu tampak sedikit bersih, ia taburkan 2 bungkus bunga dan air yang ia beli dari seorang pedagang di lapak tadi. Airmatanya tak terbendung ketika mulutnya menyenandungan sedikit do’a yang ia tahu untuk ibunya. Diiringi suara deras air yang jatuh dari jurang sungai, juga guguran bunga kamboja. Pagi itu ia habiskan dengan berdo’a di samping makam ibunya.

Dan saat matahari sudah sedikit terik, ia mulai beranjak dari duduknya meninggalkan makam itu. ia lewati lagi jalan setapak yang tadi dilaluinya termasuk lapak pedagang yang masih tetap sepi didatangi pembeli. Ia menghentikan lagi sebuah bus, kali ini yang ia tuju adalah sebuah rumah sakit, hari itu ia datang bukan untuk memeriksakan kondisinya. Ia sengaja datang kesana hanya untuk bertemu dengannya.  Indri berdiri di depan sebuah pintu, tangannya tampak hendak mengetuk pintu itu tapi tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namannya dari ujung lorong sisi kirinya.
            “Indri!!”
Panggil orang tadi sembari berlari kecil menghampirinya.
            “kenapa kamu kemari? Apa kamu sakit?”
Tanya pria itu lengkap dengan pakaian dokter dan stetoskop yang melingkar di lehernya.
            “tidak, aku hanya ingin menemuimu..”
Jawabnya sambil tersenyum simpul begitu Arya sudah berada di hadapannya.
            “kamu tidak kerja?”
            “aku libur..”
            “libur?”
            “huuh, boleh aku masuk?”
            “masuk saja..”
Begitu sampai di dalam, Arya langsung mempersilahkannya duduk di sebuah kursi yang memang ada di ruang.
            “ada apa?”
tanya pria itu yang merasa heran karena kedatangannya.
            “tidak ada apa-apa, di rumah bosan sekali! Jadi aku kemari untuk melihatmu
              bekerja..”
“benar tidak ada apa-apa?”
Tanyanya lagi.
“iya!! kamu lanjutan saja pekerjaanmu, tidak usah pedulikan aku..”
Pria itu hanya mengerutkan dahi, sembari kembali melanjutkan pekerjaannya. Waktu berlalu. saat memeriksa beberapa laporan kesehatan tak jarang Arya melirik Indri yang hanya duduk diam dan terus memperhatikannya tanpa berkata apapun.
            “aku keluar sebentar, kamu tidak apa-apakan disini sendirian?”
 “kamu mau kemana?”
“aku harus memeriksa beberapa pasien,kamu tunggu saja disini! aku tidak
  lama..”
 Jelas Arya sambil menenteng beberapa berkas kemudian bergegas keluar.

Dan begitu pintu itu tertutup raut wajah pria itu tampak berbeda, ia menghela nafas panjang sambil memegangi dadanya. Jantungnya berdebar kencang. Konsentrasinya langsung buyar ketika mengetahui gadis itu terus memperhatikannya seperti tadi. Ia mengerutu sendiri, sambil mengantuk-antukan kepalanya pada sebuah pintu.
            “gadis itu pandai sekali membuatku jadi tak karuan seperti ini!!”
Keluhnya dalam hati tanpa berhenti mengantuk-antukan kepalanya, sampai seorang perawat menegurnya dari arah belakang.
            “anda tidak apa-apa, dok?”
Tanya perawat itu sembari menepuk pundaknya. Sontak saja Arya langsung terperanjat. Ia tampak kelimpungan. Malu juga lucu. ia hanya meringis. Kemudian berlari meninggalkan tempat itu segera sambil menundukan kepalanya.

Cukup lama, pria itu meninggalkannya sendirian di dalam ruang kerjanya. Karena bosan. Indri yang sedari tadi anteng duduk diatas sofa akhirnya beranjak juga. Ia menghampiri meja kerja yang terlihat apik dengan sebuah papan nama yang terbuat dari ukiran kayu bertuliskan Dr. M. Arya Ramadian. Sedikit tidak sopan memang, tapi berhubung si empuya ruangan sedang tidak ada, tangan-tangan jahil Indri mulai mengotak-atik isi  meja dokter muda itu. ada rasa penasaran yang memenuhi kepalanya. Satu persatu laci ia jelajahi. Isinya hampir semua berkas-berkas rumah sakit, hingga akhirnya ia sampai di satu laci kecil sebelah kanan meja. Disana ada yang sedikit menarik perhatiannya. handphone milik Arya yang tergeletak begitu saja. dengan cekatan jari-jari kecilnya mulai mengutak-atik isi handphone itu. tapi Indri langsung tertegun saat ia mendapati ada foto dirinya di dalam handphone itu. bukan hanya satu melainkan banyak, semuanya itu diambil tanpa sepengetahuannya. Bahkan foto-fotonya itu mempunyai folder tersendiri. Terkejut. Indri bertanya dalam hati.  

Sekitar waktu makan siang akhirnya Arya kembali ke ruang kerjanya, saat ia masuk gadis itu masih terlihat tenang duduk diatas sofa ruang tamu kecil ruangan itu.
            “kamu sudah kembali?”
Sapanya sambil tak berhenti memandangi Arya yang langsung berjalan ke meja kerjanya.
            “iya..”
Jawabnya kikuk. 
            “kira-kira kapan kerjaan kamu selesai?”
            “memangnya kenapa?”
            “kalau memang tidak ada kerjaan yang mendesak, hari ini temani aku jalan-
   jalan!”
            “jalan-jalan? memangnya kamu mau jalan-jalan kemana?”
Ia bertanya tapi tak mau memandang gadis itu, sambil entah menulis apa Arya hanya terus menundukan wajahnya.
            “kemana saja, asal sama kamu..”
Jawabnya lugu. Entah kenapa, tangannya serasa mulai gemetar lagi. Baru kali ini ia dibuat salah tingkah seperti ini. Jangankan melihat wajah Indri yang masih duduk tenang di tempatnya. Baru mendengar suaranya saja sudak membuat pria itu merinding tak karuan.
            “kenapa kamu diam saja? kamu tidak mau pergi?”
            “aku masih ada kerjaan, lain kali saja kita perginya..”
Jawab Arya berat. Hening sejenak. Arya yang sedikit penasaran karena tak mendengar gertakan Indri mulai meliriknya. Gadis itu masih duduk tenang di tempatnya, sambil tak berhenti menatap kearahnya. sekilas tampak sedikit menakutkan juga.
            “bagaimana kalau tidak ada lain kali?”
Tanyanya lirih kemudian sembari tertunduk lesu.
            “kamu itu bicara apa?”
“bagaimana kalau tidak pernah ada kata lain kali?”
“itu tidak mungkin? aku janji lain kali kita pasti pergi bersama! aku akan temani
  kamu kemanapun kamu mau pergi! Tapi tidak hari ini..”
jelas Arya sambil mulai mendekatinya.
            “kenapa mesti lain kali? Kenapa tidak hari ini saja?!!”
Sentak Indri kesal.
            “memangnya kenapa mesti hari ini?”
Arya malah balik  bertanya. Tapi gadis itu hanya diam seribu bahasa, kemudian mulai mengeluarkan jurus andalan semua wanita. Menangis.
            “kenapa kamu malah menangis? bukannya sudah ku bilang aku paling tidak
              suka melihatmu seperti ini?”
ujarnya yang mulai luluh sembari menghapus basah di kedua pipi gadis itu.
            “kalau pekerjaanku sudah selesai, aku akan temani kamu pergi..”
            “kapan selesainya?”
            “sebentar lagi..karena itu berhentilah menangis!”
Sentaknya pelan.
            “kenapa kamu tidak mengatakannya dari tadi? Kamu sengaja ingin
  mempermainkanku, huh?!!!”
tapi Indri malah balas membentaknya keras, sembari memukuli bahu Arya dengan sekuat tenaga.
            “akh..maaf-maaf! Aku tidak bermaksud seperti itu!”
Jelasnya sambil berusaha menghindari pukulan Indri yang bertubi-tubi kearahnya.
“sudah hentikan! Itu sakit!!!!”
Teriaknya makin kesakitan. Ketika gadis itu tak mau menghentikan pukulannya. Kadang ia tak mengerti pada dirinya sendiri. Apa yang sangat menarik dari gadis itu, hingga ia bisa jadi seperti ini.

“cinta, itu memang gila..”

No comments: