Wednesday, January 23, 2013

Cerbung : Hanya Satu #11



“jadi kalian udah pacaran?”
            “aku juga nggak tahu, menurut kamu gimana?”
            “loch kok nanya aku sih? mana aku tahu! Kalian berdua ini memang aneh,
  perasaan sendiri aja nggak tahu?”
jawab Ririn dengan nada kesal begitu mendengar cerita Indri yang berputar putar tak jelas.
            “jadi aku mesti gimana? Kasih saran donk!”
Pinta Indri sambil merengek.
            “kamu itu ternyata lebih nyebelin kalau lagi jatuh cinta!”
Ujar Ririn ketus.
            “mau gimana lagi, ini kan baru kali pertama..”
            “iya aku tahu! biar lebih jelas kamu tanya aja sama orangnya langsung, kalian itu
  memang pacaran atau nggak?”
            “masa aku yang tanya duluan?”
            “ya udah mau gimana lagi? terserah kamu aja kalau gitu, aku kan cuma ngasih
  saran!!”
Jawabnya Ringan sambil meninggalkan Indri yang masih bingung memikirkan kejadian antara dirinya dan Arya beberapa hari lalu. Sudah seminggu sejak kejadian itu, tapi tak ada yang terjadi. Tak ada kata cinta ataupun pernyataan untuk memulai hubungan dari keduanya. seperti dedaunan yang jatuh dibawa arus sungai, tak jelas arahnya akan kemana. Seperti itu juga hubungan mereka. Tapi namanya jatuh cinta, biar seperti itu semuanya tetap terlihat indah meskipun membutakan akal pikiran.

Sepulang dari rumah sakit, Arya memarkirkan mobil kesayangannya seperti biasa. Tapi wajahnya terlihat muram, sesekali ia menghela nafas panjang. Berusaha menenangkan pikirannya. Sambil merebahkan tubuhnya diatas sofa, ia kembali teringat dengan kejadian yang baru saja dialaminya di rumah sakit. Hari ini bukanlah hari yang sempurna untuknya.
“tok!! Tok!! Tok!!”
Dari luar terdengar suara seseorang mengetuk pintu rumahnya berkali-kali, ia menengok keluar jendela. Hari itu Indri kembali datang menemuinya. Tubuhnya basah kuyup di terpa hujan yang memang tengah turun deras di daerah itu.
            “apa aku menganggumu?”
Sapa gadis itu sambil mengigil kedinginan ketika Arya membukakan pintu rumahnya.
            “kenapa bisa basah begini? Kamu tidak pakai payung?”
            “aku tidak punya payung!”
            “harusnya tadi kamu menghubungiku untuk menjemputmu saja?!”
            “iya! Lain kali aku akan menghubungimu, tapi sekarang apa boleh aku masuk?
              disini dingin!!!”
Jawab Indri sembari menengok ke dalam rumah.
            “masuklah..”

Diluar hujan turun dengan hebatnya, diiringi petir dan angin yang bertiup cukup kencang. Karena besarnya sampai-sampai air yang berada di dalam selokan selokan kecil sudah meluap membanjiri jalanan di sekitaran komplek perumahan itu.
            “pakai ini untuk mengeringkan badanmu!”
Suguh Arya sembari memberikan sebuah handuk kering. dengan segera Indri mengelap wajah, rambut, tangan, dan pakaiannya yang basah dengan handuk pemberiannya itu.
            “minumlah! Itu akan membuatmu hangat!!”
Suguhnya lagi sambil meletakan segelas Kopi jahe diatas meja.
            “Terima kasih..”
            “hmm..huft..”
Arya kembali menghela nafas sambil bersandar dan duduk disamping gadis itu.
            “ada apa?”
Tanya Indri yang tengah meminum kopi jahe buatannya perlahan.
            “tidak..”
jawabnya nampak meragukan.
            “ceritakan saja, aku akan mendengarkanmu..”
Ujar gadis itu sambil tersenyum simpul kearahnya, sementara Arya kembali menghela nafas sambil memandangi langit-langit rumahnya.
            “kamu tahu Indri, apa yang paling membuatku takut saat menjadi seorang dokter?”
Tanyanya sambil mulai memandangi wajah gadis itu.
“Melihat nyawa seorang pasien melayang di tanganmu sendiri..”
Jawabnya sendiri sambil tetap memandangi wajah gadis itu.
“hmm..sudah hampir 3 tahun, aku jadi seorang dokter? Tapi entah kenapa aku
  masih belum terbiasa dengan satu hal itu? hari ini, salah satu pasienku
  meninggal di ruang operasi, jantungnya berhenti beberapa saat setelah kami
  hampir selesai, jam 15.45 tepat waktu kematiannya, dia meninggal beberapa
  menit sebelum kami selesai mengobatinya..”
Ceritanya  kemudian sembari menautkan kedua alisnya.
            “aku benar-benar tidak mengerti kenapa, dia bisa meninggal ketika semua
   proses operasi berjalan lancar?”
“Kenapa kamu berkata seperti itu?hidup mati seseorang itu kan ada di tangan
   Tuhan, biar seberapa keras usahamu, tapi jika Tuhan menginginkannya untuk
   mati? Kamu tidak bisa berbuat apa-apa lagi!”
“aku tahu! Tapi tetap saja, rasanya seperti aku sendiri yang sudah membuat
  orang itu meninggal..”
 Ujarnya lagi, sambil terus menghela nafas dan tampak berat melanjutkan perkataanya.
            “kamu tidak apa-apa?”
Tanya Indri yang melihat pria di sampingnya itu tampak terpuruk.     
“hmm..kamu tahu? begitu aku keluar dari ruang operasi..disana..ada seorang
  wanita, Ia begitu pulas tertidur sambil mengendong seorang anak kecil diatas
  pangkuannya...”
lanjut Pria itu yang terlihat memaksakan dirinya untuk tetap bercerita.
Seorang wanita dan anak yang berada di pangkuannya adalah Istri dari pasien Arya yang harus menjalani satu operasi hari itu. wajahnya yang terlihat lelah menunggu di depan pintu ruang operasi. Ia menunggu suami terkasihnya yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Berusaha bertahan hidup. Mengantungkan harapan, keluarga, dan titik nadihnya di tangan  para dokter sepertinya.
            “bagaimana aku harus memberitahukan wanita itu, bahwa suami..yang ia
              tunggu hingga lelah tertidur, hanya berakhir di kamar jenazah..mana mungkin
              aku bisa memberitahukannya? Aku bahkan tak berani membangunkannya..”
Jelas Arya Lirih sambil teringat wajah tenang wanita yang masih pulas tertidur itu, mungkin dimimpinya ia tengah bersama dengan suami terkasihnya, membayangkan ia terbangun disambut senyum lega. Tapi, di kenyataanya. Yang akan ia lakukan begitu terbangun, hanya membanjiri wajah lelahnya dengan sebuah tangisan yang mungkin akan berakhir lama.
            “itu satu hal yang lebih menakutkan lagi, dari sekedar melihat pasienmu mati di
               meja operasi..”
            “semua itu bukan salahmu! apa yang terjadi, semua sudah digariskan Tuhan..
kita tidak akan pernah bisa memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki- 
Nya..karena  itu..jangan menyalahkan diri sendiri lagi..”
Nasehatnya sembari sedikit menepuk pundak pria itu.
            “hmm...”
 Jawab Arya sambil tersenyum lirih.

Suara tetesan air hujan masih terdengar nyaring berjatuhan diatas genting rumah Arya. hujan masih belum reda. Segelas kopi jahe yang ada diatas meja kini hanya tinggal seperempatnya saja.
            “oh iya, ngomong-ngomong kenapa kamu kemari?”
Tanya Arya mengalihkan topik pembicaraan mereka.
            “memangnya aku tidak boleh kesini?”
            “bukan begitu! Pasti ada hal penting yang mau kamu bicarakan denganku
  kan?Kalau tidak mana mungkin kamu rela basah kuyup seperti ini hanya untuk
  menemuiku saja?”
“itu..”
“ada apa?”
“sebenarnya aku mau tanya sesuatu sama kamu..”
“tanya apa?”
“sebenarnya..kita itu..apa kita..kita...”
Bicaranya terputus-putus tak jelas.
“kita apa? Bicara yang jelas!!”
Bentak Arya padanya.
            “apa kita ini udah pacaran?”
            “kenapa kamu bertanya tentang hal itu?”
Arya malah balik bertanya.
            “itu.. karena..aku hanya tidak mau ada kesalahpahaman! Sebenarnya
  hubungan kita ini  seperti apa? Aku tidak pernah mendengar kata-kata kalau
  kamu menyukaiku..”
jelas Indri dengan rona wajah yang mulai memerah.
            “nyali kamu besar juga ya?”
Sindir Arya sambil tertawa. Ketika ia mendengar gadis itu mengusik tentang status hubungan keduanya.
            “kenapa kamu tertawa? Ini bukan hal yang harus kamu tertawakan!”
Bentaknya kesal.
            “baiklah..aku mengerti!.. aku menyukaimu Indri..”
Jawab pria itu polos sambil tak berhenti tertawa kearahnya.
            “Bohong!!”
Bentaknya lagi  segera.
            “jadi mau kamu itu apa? Aku sudah katakan kalau aku menyukaimu kan?”
            “kamu pikir aku akan percaya dengan ucapanmu tadi?serius sedikit!!”
Pinta Indri sambil menajamkan kedua matanya.
            “aku benar-benar tidak tahu harus berkata seperti apa? Karena kalau aku
  mengatakan apa yang tengah aku pikirkan tentangmu, maka hasilnya akan
  seperti tadi! Kamu akan berkata bahwa semua ucapkanku itu, hanya bualan
  saja, iyakan?”
jelasnya.
            “kalau begitu, jangan katakan apapun..biar aku saja yang cari tahu sendiri
              semua  pikiranmu tentangku..”
“memang lebih baik seperti itu..”
jawab Arya sambil mengelus kepala gadis itu, kemudian berjalan menuju pantry rumahnya.
            “kamu mau makan apa? Biar aku buatkan sesuatu..”
Suguhnya lagi sembari mengecek persediaan makanan di dalam kulkas.
            “nggak usah, tiap aku datang kesini selalu saja kamu tawari makan?”
            “yang penting aku tidak minta bayaran kan?kamu mau makan apa?”
            “tidak usah, aku pulang saja..lagipula hujannya sudah mulai berhenti..”
Pamit Indri sambil beranjak dari tempat duduknya.
            “eits..kenapa terburu-buru? Kalau kamu tidak mau makan tidak apa-apa..”
Cegat Arya segera sambil menarik lengannya.
            “tinggallah disini lebih lama..”
Pintanya lagi sedikit memelas.
            “ini sudah jam 9, kamu mau aku pulang jam berapa?!”
            “kalau begitu tunggu sebentar..biar aku antar kamu pulang..”  

Kini hanya gerimis kecil yang mengiringi langkah keduanya. sambil memegangi sebuah payung, Arya tak berhenti memperhatikan gadis yang berjalan di sampingnya. ia tersenyum hanya karena memikirkan betapa pendeknya gadis itu bila sedang berada didekatnya. rambut hitamnya yang terus saja ia ikat kuncir kuda, pakaian kaosnya, celana jeans beulel, dan sepatu skeet usang yang penuh lubang. Seperti itu ia tampil setiap hari, tapi.. biarpun begitu...saat bersamanya.. entah kenapa jantungku selalu berdetak sangat kencang. 

“Apa kau bisa mendengarnya???”

                                    *                                   *                                               *          

“Disini saja..”
Pinta Indri, begitu mereka sampai di depan gang rumahnya.
            “kamu duluan..”
Ujar pria itu.
            “kamu saja..aku ingin melihatmu pergi lebih dulu..”
            “kalau begitu, aku pulang dulu..sampai nanti!!”
            “hmm..”
Pamit Arya sembari kembali mengelus rambut gadis itu. hujan sudah benar-benar reda. Indri masih tegak berdiri di tempatnya, dan hanya memperhatikan Arya. pria itu melambai sambil tersenyum lembut kearahnya kemudian berjalan semakin jauh meninggalkan tempat itu.

Sebelum melanjutkan perjalanannya, Indri tampak menghela nafas sambil tak berhenti memandangi sosok pria itu. rasanya semua ini salah. Aku merasa berdosa bila teringat dengan hal itu. jangan terlalu serius tentang ini. biar aku saja, biar aku saja yang benar-benar menyukaimu seorang diri. Aku tidak ingin membuatmu merasa menyesal karena sudah mengenalku. Lirihnya dalam hati.

Itu sudah sekitar pukul 10.00 malam, seperti biasa Indri melewati gang kecil yang hanya di terangi sebuah tiang lampu menuju rumahnya.

Sementara di rumah Fira sudah tak sabar menunggu kedatangannya. Wajah gadis itu tampak kesal, tangannya gemetar, ia terus saja menarik nafas dalam – dalam sambil meremas secarik kertas yang berada di tangannya kuat-kuat.
            “kreekkk..”
Tiba-tiba terdengar suara pintu rumah itu terbuka, akhirnya yang ditunggu datang juga. Dengan segera ia menghampiri Indri yang masih sibuk melepaskan sepatunya di depan pintu rumah.
            “dari mana aja lu?!”
Sentak Fira dari belakang.
“lu tuh ya, sejak kenal sama dokter itu..jadi nggak tahu waktu! Jam segini baru
  balik?emangnya kalian berdua itu abis ngapain aja?”                                  
“bukan urusan kamu..”
Jawabnya malas seperti biasa.
            “berhenti kurang ajar sama gw, biar gimanapun gw ini masih kakak lu!abis di
  apain aja lu?! gw curiga jangan–jangan dia cuma mau main–main aja sama
  lu? lu sendiri kan yang bilang kalau cowok kayak dia nggak mungkin suka sama
  orang kayak kita?”
Ujarnya sembari mencegat langkah Indri.
            “sudah ku bilang itu bukan urusan kamu..”
Jawabnya santai sambil melangkah masuk kedalam kamarnya. Tapi, Fira malah semakin kesal, dengan langkah yang berapi-api dan tangan yang masih mengepal kertas itu kuat-kuat ia berusaha mengejar Indri ke kamarnya. Baru saja ia hendak merebahkan tubuhnya di atas kasur tiba-tiba kakak perempuanya itu masuk ke dalam kamarnya.
            “gw belum selesai ngomong!!”
Bentaknya sambil mengebrak pintu kamar Indri.
            “ada apa lagi?”
Tanya Indri pelan.
            “enak banget lu, pulang pacaran langsung tidur? Gw laper, bikinin gw mie!!!”
Perintahnya.
            “iya – iya..emang kamu belum makan dari tadi?”
Jawabnya segera sambil beranjak dari atas kasur menuju dapur. Sementara mendidihkan air ia mengambil sebungkus mie instan dari dalam lemari, Persediaan makanan mereka sudah sangat sedikit yang tinggal disana hanya 10 bungkus mie instan, sedikit beras, dan beberapa butir telur ayam padahal saat itu masih tengah bulan.
            “hmm..”
Gumamnya pelan, sambil memasukan mie tersebut kedalam panci. Bahkan untuk makan saja Fira masih mengandalkan dirinya. Ia kemudian menghela nafas kembali, sembari memikirkan nasib kakak perempuannya itu.
            “nih..”
Ujarnya sambil menyuguhkan mie instan yang baru saja dibuatnya.
            “cucian dah banyak tuh! Lu cuci sekarang sana!!”
Perintahnya lagi yang malah semakin terlihat kesal.
            “besok aja, aku cape..”
            “gw mau lu cuci sekarang! Gw kagak punya baju ganti buat besok?!!”
            “iya – iya..”
Jawabnya yang langsung saja bergegas pergi ke kamar mandi, saat itu sudah sekitar pukul 11.00 malam, dengan wajah yang kelelahan ia membawa seember besar cucian kemudian merendamnya di dalam air deterjen, sepi. Yang terdengar hanya suara binatang malam di sekitar rumahnya.
            “Indri!!!”
Panggil Fira nyaring dari belakangnya.
            “ada apa lagi?”
            “cuciin piring kotor bekas gw makan..”
Perintahnya lagi.
            “kenapa nggak kamu kerjain sendiri aja? Nggak lihat aku lagi nyuci semua baju
  kamu?!”
balas Indri yang mulai kesal dengan sikap kakak perempuannya itu.
            “kalau gw suruh cuci ya cuci?!!!!!!”
Bentak Fira semakin keras kearahnya, sambil menendang ember cucian yang tengah di kerjakan Indri, ia masih mengepal secarik kertas itu di tangannya, nafasnya makin tak teratur, matanya mulai sedikit merah. Ia benar-benar marah.
            “sebenarnya kamu itu kenapa? Aku cape harus nurutin semua kemauan
              kamu!!!”
Balas Indri yang ikut naik darah karena kelakukan Fira.
            “lu tanya gw kenapa?? Harusnya gw yang tanya lu tuh kenapa?!!!”
Bentaknya semakin keras, sembari melemparkan secarik kertas yang tengah di genggamnya ke wajah Indri.
            “kenapa kamu seenaknya membuka isi lemari orang!”
Sentak Indri begitu ia tahu bahwa kertas yang baru saja dilemparkan Fira ke wajahnya adalah hasil tes kesehatannya.
            “apa itu penting sekarang?!! Kenapa lu nggak ngomong sama gw masalah
  penyakit lu itu..lu anggap gw ini apa,huh? Gw emang sering nyusahin lu! Tapi
  gw juga masih sodara lu!!”
bentaknya semakin keras.
“memang kenapa aku harus memberitahumu?toh kamu juga nggak  bisa bantu
  apa – apa?”
            “lu tuh ya?!!! Beraninya lu ngomong kayak gitu sama gw?”
Ujar Fira sambil menjambak rambut adik perempuannya itu.
            “akhh..sakit!!! lepas?!”
Teriak Indri sembari berusaha melepaskan jambakan Fira.
“gw benci sama lu!! Dasar bodoh!!!”

Sentaknya kemudian sambil mendorong Indri ke ubin kamar mandi, ia terlihat kesal. Matanya semakin merah. ia mengerutu pelan sambil mengepal kedua tangannya kuat-kuat kemudian pergi meninggalkan Indri yang masih duduk tersungkur di kamar mandi. udara dingin makin menyeruak. Sambil bersandar di dinding kamarnya Fira tak bisa berhenti menangis. sementara Indri melanjutkan mencuci pakaian kakak perempuannya itu diiringi suara serangga malam dan dinginnya angin yang menerpa tubuhnya.

 Pukul 12.00 tengah malam, sembari membawa ember cucian Indri kembali masuk ke dalam rumah. Sepi. Mata sayunya tampak semakin lelah. Dipandanginya pintu kamar Fira beberapa saat. Kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Rasa lelah semakin merasuki. Ia membaringkan tubuh kurusnya diatas kasur usang yang tak tahu kapan terakhir kali  ia beli. Di tengah temarang lampu kamar mata sayu itu memandang ke sekeliling. Sudah berapa lama ia habisnya malam-malamnya di ruangan itu. pasti sudah sangat lama. Ia bahkan tak ingat lagi seperti apa kamar nyamannya dulu. Indri kembali memandang langit-langit kamarnya sambil mengacungkan kedua lengannya lurus menghadap lampu temarang. Bercak lebam itu semakin banyak memenuhi kedua lengannya tadi. Mata sayu itu mulai merenung lama.
            “apa aku akan segera mati?”
Lirihnya dalam hati, kemudian mulai memejamkan kedua matanya perlahan.

No comments: