“jadi kalian udah pacaran?”
“aku
juga nggak tahu, menurut kamu gimana?”
“loch
kok nanya aku sih? mana aku tahu! Kalian berdua ini memang aneh,
perasaan
sendiri aja nggak tahu?”
“jadi
aku mesti gimana? Kasih saran donk!”
Pinta Indri sambil merengek.
“kamu
itu ternyata lebih nyebelin kalau lagi jatuh cinta!”
Ujar Ririn ketus.
“mau
gimana lagi, ini kan baru kali pertama..”
“iya aku tahu! biar
lebih jelas kamu tanya aja sama orangnya langsung, kalian itu
memang pacaran
atau nggak?”
“masa aku yang tanya
duluan?”
“ya udah mau gimana
lagi? terserah kamu aja kalau gitu, aku kan cuma ngasih
saran!!”
Jawabnya Ringan sambil meninggalkan Indri yang masih bingung memikirkan
kejadian antara dirinya dan Arya beberapa hari lalu. Sudah seminggu sejak
kejadian itu, tapi tak ada yang terjadi. Tak ada kata cinta ataupun pernyataan
untuk memulai hubungan dari keduanya. seperti dedaunan yang jatuh dibawa arus
sungai, tak jelas arahnya akan kemana. Seperti itu juga hubungan mereka. Tapi
namanya jatuh cinta, biar seperti itu semuanya tetap terlihat indah meskipun
membutakan akal pikiran.
Sepulang dari rumah sakit, Arya memarkirkan mobil kesayangannya seperti
biasa. Tapi wajahnya terlihat muram, sesekali ia menghela nafas panjang.
Berusaha menenangkan pikirannya. Sambil merebahkan tubuhnya diatas sofa, ia
kembali teringat dengan kejadian yang baru saja dialaminya di rumah sakit. Hari
ini bukanlah hari yang sempurna untuknya.
“tok!! Tok!! Tok!!”
Dari luar terdengar suara seseorang mengetuk pintu rumahnya
berkali-kali, ia menengok keluar jendela. Hari itu Indri kembali datang
menemuinya. Tubuhnya basah kuyup di terpa hujan yang memang tengah turun deras
di daerah itu.
“apa aku menganggumu?”
Sapa gadis itu sambil mengigil kedinginan ketika Arya membukakan pintu
rumahnya.
“kenapa bisa basah
begini? Kamu tidak pakai payung?”
“aku tidak punya
payung!”
“harusnya tadi kamu
menghubungiku untuk menjemputmu saja?!”
“iya! Lain kali aku
akan menghubungimu, tapi sekarang apa boleh aku masuk?
disini dingin!!!”
Jawab Indri sembari menengok ke dalam rumah.
“masuklah..”
Diluar hujan turun dengan hebatnya, diiringi petir dan angin yang
bertiup cukup kencang. Karena besarnya sampai-sampai air yang berada di dalam selokan
selokan kecil sudah meluap membanjiri jalanan di sekitaran komplek perumahan
itu.
“pakai ini untuk
mengeringkan badanmu!”
Suguh Arya sembari memberikan sebuah handuk kering. dengan segera Indri
mengelap wajah, rambut, tangan, dan pakaiannya yang basah dengan handuk
pemberiannya itu.
“minumlah! Itu akan
membuatmu hangat!!”
Suguhnya lagi sambil meletakan segelas Kopi jahe diatas meja.
“Terima kasih..”
“hmm..huft..”
Arya kembali menghela nafas sambil bersandar dan duduk disamping gadis itu.
Arya kembali menghela nafas sambil bersandar dan duduk disamping gadis itu.
“ada apa?”
Tanya Indri yang tengah meminum kopi jahe buatannya perlahan.
“tidak..”
jawabnya nampak meragukan.
jawabnya nampak meragukan.
“ceritakan saja, aku
akan mendengarkanmu..”
Ujar gadis itu sambil tersenyum simpul kearahnya, sementara Arya kembali
menghela nafas sambil memandangi langit-langit rumahnya.
“kamu tahu Indri, apa
yang paling membuatku takut saat menjadi seorang dokter?”
Tanyanya sambil mulai memandangi wajah gadis itu.
“Melihat nyawa seorang pasien melayang di tanganmu
sendiri..”
Jawabnya sendiri sambil tetap memandangi wajah gadis itu.
“hmm..sudah hampir 3 tahun, aku jadi seorang dokter?
Tapi entah kenapa aku
masih belum
terbiasa dengan satu hal itu? hari ini, salah satu pasienku
meninggal di ruang
operasi, jantungnya berhenti beberapa saat setelah kami
hampir
selesai, jam 15.45 tepat waktu kematiannya, dia meninggal beberapa
menit sebelum
kami selesai mengobatinya..”
Ceritanya kemudian sembari
menautkan kedua alisnya.
“aku benar-benar tidak
mengerti kenapa, dia bisa meninggal ketika semua
proses
operasi berjalan lancar?”
“Kenapa kamu berkata seperti itu?hidup mati seseorang
itu kan ada di tangan
Tuhan, biar
seberapa keras usahamu, tapi jika Tuhan menginginkannya untuk
mati? Kamu
tidak bisa berbuat apa-apa lagi!”
“aku tahu! Tapi tetap saja, rasanya seperti aku
sendiri yang sudah membuat
orang itu
meninggal..”
Ujarnya lagi, sambil terus
menghela nafas dan tampak berat melanjutkan perkataanya.
“kamu tidak apa-apa?”
Tanya Indri yang melihat pria di sampingnya itu tampak terpuruk.
“hmm..kamu tahu? begitu aku keluar dari ruang
operasi..disana..ada seorang
wanita, Ia begitu
pulas tertidur sambil mengendong seorang anak kecil diatas
pangkuannya...”
lanjut Pria itu yang terlihat memaksakan dirinya untuk tetap bercerita.
Seorang wanita dan anak yang berada di pangkuannya adalah Istri dari
pasien Arya yang harus menjalani satu operasi hari itu. wajahnya yang terlihat
lelah menunggu di depan pintu ruang operasi. Ia menunggu suami terkasihnya yang
sedang berjuang melawan penyakitnya. Berusaha bertahan hidup. Mengantungkan
harapan, keluarga, dan titik nadihnya di tangan para dokter sepertinya.
“bagaimana aku harus
memberitahukan wanita itu, bahwa suami..yang ia
tunggu hingga lelah
tertidur, hanya berakhir di kamar jenazah..mana mungkin
aku bisa
memberitahukannya? Aku bahkan tak berani membangunkannya..”
Jelas Arya Lirih sambil teringat wajah tenang wanita yang masih pulas
tertidur itu, mungkin dimimpinya ia tengah bersama dengan suami terkasihnya, membayangkan
ia terbangun disambut senyum lega. Tapi, di kenyataanya. Yang akan ia lakukan
begitu terbangun, hanya membanjiri wajah lelahnya dengan sebuah tangisan yang
mungkin akan berakhir lama.
“itu satu hal yang
lebih menakutkan lagi, dari sekedar melihat pasienmu mati di
meja operasi..”
“semua itu bukan
salahmu! apa yang terjadi, semua sudah digariskan Tuhan..
kita tidak akan
pernah bisa memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki-
Nya..karena itu..jangan menyalahkan diri sendiri lagi..”
Nasehatnya sembari sedikit menepuk pundak pria itu.
“hmm...”
Jawab Arya sambil tersenyum
lirih.
Suara tetesan air hujan masih terdengar nyaring berjatuhan diatas
genting rumah Arya. hujan masih belum reda. Segelas kopi jahe yang ada diatas
meja kini hanya tinggal seperempatnya saja.
“oh iya,
ngomong-ngomong kenapa kamu kemari?”
Tanya Arya mengalihkan topik pembicaraan mereka.
“memangnya aku tidak
boleh kesini?”
“bukan begitu! Pasti
ada hal penting yang mau kamu bicarakan denganku
kan?Kalau tidak
mana mungkin kamu rela basah kuyup seperti ini hanya untuk
menemuiku
saja?”
“itu..”
“ada apa?”
“sebenarnya aku mau tanya sesuatu sama kamu..”
“tanya apa?”
“sebenarnya..kita itu..apa kita..kita...”
Bicaranya terputus-putus tak jelas.
“kita apa? Bicara yang jelas!!”
Bentak Arya padanya.
“apa kita ini udah
pacaran?”
“kenapa kamu bertanya
tentang hal itu?”
Arya malah balik bertanya.
“itu.. karena..aku
hanya tidak mau ada kesalahpahaman! Sebenarnya
hubungan kita
ini seperti apa? Aku tidak pernah mendengar
kata-kata kalau
kamu
menyukaiku..”
jelas Indri dengan rona wajah yang mulai memerah.
“nyali kamu besar juga
ya?”
Sindir Arya sambil tertawa. Ketika ia mendengar gadis itu mengusik
tentang status hubungan keduanya.
“kenapa kamu tertawa?
Ini bukan hal yang harus kamu tertawakan!”
Bentaknya kesal.
“baiklah..aku
mengerti!.. aku menyukaimu Indri..”
Jawab pria itu polos sambil tak berhenti tertawa kearahnya.
“Bohong!!”
Bentaknya lagi segera.
“jadi mau kamu itu apa?
Aku sudah katakan kalau aku menyukaimu kan?”
“kamu pikir aku akan
percaya dengan ucapanmu tadi?serius sedikit!!”
Pinta Indri sambil menajamkan kedua matanya.
“aku benar-benar tidak
tahu harus berkata seperti apa? Karena kalau aku
mengatakan apa
yang tengah aku pikirkan tentangmu, maka hasilnya akan
seperti tadi!
Kamu akan berkata bahwa semua ucapkanku itu, hanya bualan
saja, iyakan?”
jelasnya.
“kalau begitu, jangan
katakan apapun..biar aku saja yang cari tahu sendiri
semua pikiranmu
tentangku..”
“memang lebih baik seperti itu..”
jawab Arya sambil mengelus kepala gadis itu, kemudian berjalan menuju
pantry rumahnya.
“kamu mau makan apa?
Biar aku buatkan sesuatu..”
Suguhnya lagi sembari mengecek persediaan makanan di dalam kulkas.
“nggak usah, tiap aku
datang kesini selalu saja kamu tawari makan?”
“yang penting aku tidak
minta bayaran kan?kamu mau makan apa?”
“tidak usah, aku pulang
saja..lagipula hujannya sudah mulai berhenti..”
Pamit Indri sambil beranjak dari tempat duduknya.
“eits..kenapa
terburu-buru? Kalau kamu tidak mau makan tidak apa-apa..”
Cegat Arya segera sambil menarik lengannya.
“tinggallah disini
lebih lama..”
Pintanya lagi sedikit memelas.
“ini sudah jam 9, kamu
mau aku pulang jam berapa?!”
“kalau begitu tunggu
sebentar..biar aku antar kamu pulang..”
Kini hanya gerimis kecil yang mengiringi langkah keduanya. sambil
memegangi sebuah payung, Arya tak berhenti memperhatikan gadis yang berjalan di
sampingnya. ia tersenyum hanya karena memikirkan betapa pendeknya gadis itu
bila sedang berada didekatnya. rambut hitamnya yang terus saja ia ikat kuncir
kuda, pakaian kaosnya, celana jeans beulel, dan sepatu skeet usang yang penuh
lubang. Seperti itu ia tampil setiap hari, tapi.. biarpun begitu...saat
bersamanya.. entah kenapa jantungku selalu berdetak sangat kencang.
“Apa kau bisa mendengarnya???”
* * *
“Disini saja..”
Pinta Indri, begitu mereka sampai di depan gang rumahnya.
“kamu duluan..”
Ujar pria itu.
“kamu saja..aku ingin melihatmu
pergi lebih dulu..”
“kalau begitu, aku
pulang dulu..sampai nanti!!”
“hmm..”
Pamit Arya sembari kembali mengelus rambut gadis itu. hujan sudah
benar-benar reda. Indri masih tegak berdiri di tempatnya, dan hanya
memperhatikan Arya. pria itu melambai sambil tersenyum lembut kearahnya
kemudian berjalan semakin jauh meninggalkan tempat itu.
Sebelum melanjutkan perjalanannya, Indri tampak menghela nafas sambil
tak berhenti memandangi sosok pria itu. rasanya semua ini salah. Aku merasa
berdosa bila teringat dengan hal itu. jangan terlalu serius tentang ini. biar
aku saja, biar aku saja yang benar-benar menyukaimu seorang diri. Aku tidak
ingin membuatmu merasa menyesal karena sudah mengenalku. Lirihnya dalam hati.
Itu sudah sekitar pukul 10.00 malam, seperti biasa Indri melewati gang
kecil yang hanya di terangi sebuah tiang lampu menuju rumahnya.
Sementara di rumah Fira sudah tak sabar menunggu kedatangannya. Wajah
gadis itu tampak kesal, tangannya gemetar, ia terus saja menarik nafas dalam –
dalam sambil meremas secarik kertas yang berada di tangannya kuat-kuat.
“kreekkk..”
Tiba-tiba terdengar suara pintu rumah itu terbuka, akhirnya yang
ditunggu datang juga. Dengan segera ia menghampiri Indri yang masih sibuk
melepaskan sepatunya di depan pintu rumah.
“dari mana aja lu?!”
Sentak Fira dari belakang.
“lu tuh ya, sejak kenal sama dokter itu..jadi nggak
tahu waktu! Jam segini baru
balik?emangnya
kalian berdua itu abis ngapain aja?”
“bukan urusan kamu..”
Jawabnya malas seperti biasa.
“berhenti kurang ajar
sama gw, biar gimanapun gw ini masih kakak lu!abis di
apain aja lu?!
gw curiga jangan–jangan dia cuma mau main–main aja sama
lu? lu sendiri
kan yang bilang kalau cowok kayak dia nggak mungkin suka sama
orang kayak
kita?”
Ujarnya sembari mencegat langkah Indri.
“sudah ku bilang itu
bukan urusan kamu..”
Jawabnya santai sambil melangkah masuk kedalam kamarnya. Tapi, Fira
malah semakin kesal, dengan langkah yang berapi-api dan tangan yang masih
mengepal kertas itu kuat-kuat ia berusaha mengejar Indri ke kamarnya. Baru saja
ia hendak merebahkan tubuhnya di atas kasur tiba-tiba kakak perempuanya itu
masuk ke dalam kamarnya.
“gw belum selesai
ngomong!!”
Bentaknya sambil mengebrak pintu kamar Indri.
“ada apa lagi?”
Tanya Indri pelan.
“enak banget lu, pulang
pacaran langsung tidur? Gw laper, bikinin gw mie!!!”
Perintahnya.
“iya – iya..emang kamu
belum makan dari tadi?”
Jawabnya segera sambil beranjak dari atas kasur menuju dapur. Sementara
mendidihkan air ia mengambil sebungkus mie instan dari dalam lemari, Persediaan
makanan mereka sudah sangat sedikit yang tinggal disana hanya 10 bungkus mie
instan, sedikit beras, dan beberapa butir telur ayam padahal saat itu masih
tengah bulan.
“hmm..”
Gumamnya pelan, sambil memasukan mie tersebut kedalam panci. Bahkan
untuk makan saja Fira masih mengandalkan dirinya. Ia kemudian menghela nafas
kembali, sembari memikirkan nasib kakak perempuannya itu.
“nih..”
Ujarnya sambil menyuguhkan mie instan yang baru saja dibuatnya.
“cucian dah banyak tuh!
Lu cuci sekarang sana!!”
Perintahnya lagi yang malah semakin terlihat kesal.
“besok aja, aku cape..”
“gw mau lu cuci
sekarang! Gw kagak punya baju ganti buat besok?!!”
“iya – iya..”
Jawabnya yang langsung saja bergegas pergi ke kamar mandi, saat itu
sudah sekitar pukul 11.00 malam, dengan wajah yang kelelahan ia membawa seember
besar cucian kemudian merendamnya di dalam air deterjen, sepi. Yang terdengar
hanya suara binatang malam di sekitar rumahnya.
“Indri!!!”
Panggil Fira nyaring dari belakangnya.
“ada apa lagi?”
“cuciin piring kotor
bekas gw makan..”
Perintahnya lagi.
“kenapa nggak kamu
kerjain sendiri aja? Nggak lihat aku lagi nyuci semua baju
kamu?!”
balas Indri yang mulai kesal dengan sikap kakak perempuannya itu.
“kalau gw suruh cuci ya
cuci?!!!!!!”
Bentak Fira semakin keras kearahnya, sambil menendang ember cucian yang
tengah di kerjakan Indri, ia masih mengepal secarik kertas itu di tangannya,
nafasnya makin tak teratur, matanya mulai sedikit merah. Ia benar-benar marah.
“sebenarnya kamu itu
kenapa? Aku cape harus nurutin semua kemauan
kamu!!!”
Balas Indri yang ikut naik darah karena kelakukan Fira.
“lu tanya gw kenapa??
Harusnya gw yang tanya lu tuh kenapa?!!!”
Bentaknya semakin keras, sembari melemparkan secarik kertas yang tengah
di genggamnya ke wajah Indri.
“kenapa kamu seenaknya
membuka isi lemari orang!”
Sentak Indri begitu ia tahu bahwa kertas yang baru saja dilemparkan Fira
ke wajahnya adalah hasil tes kesehatannya.
“apa itu penting
sekarang?!! Kenapa lu nggak ngomong sama gw masalah
penyakit lu
itu..lu anggap gw ini apa,huh? Gw emang sering nyusahin lu! Tapi
gw juga masih
sodara lu!!”
bentaknya semakin keras.
“memang kenapa aku harus memberitahumu?toh kamu juga nggak
bisa bantu
apa – apa?”
“lu tuh ya?!!!
Beraninya lu ngomong kayak gitu sama gw?”
Ujar Fira sambil menjambak rambut adik perempuannya itu.
“akhh..sakit!!! lepas?!”
Teriak Indri sembari berusaha melepaskan jambakan Fira.
“gw benci sama lu!! Dasar bodoh!!!”
Sentaknya kemudian sambil mendorong Indri ke ubin kamar mandi, ia
terlihat kesal. Matanya semakin merah. ia mengerutu pelan sambil mengepal kedua
tangannya kuat-kuat kemudian pergi meninggalkan Indri yang masih duduk
tersungkur di kamar mandi. udara dingin makin menyeruak. Sambil bersandar di
dinding kamarnya Fira tak bisa berhenti menangis. sementara Indri melanjutkan
mencuci pakaian kakak perempuannya itu diiringi suara serangga malam dan
dinginnya angin yang menerpa tubuhnya.
Pukul 12.00 tengah malam, sembari
membawa ember cucian Indri kembali masuk ke dalam rumah. Sepi. Mata sayunya
tampak semakin lelah. Dipandanginya pintu kamar Fira beberapa saat. Kemudian
berjalan masuk ke dalam kamar. Rasa lelah semakin merasuki. Ia membaringkan
tubuh kurusnya diatas kasur usang yang tak tahu kapan terakhir kali ia beli. Di tengah temarang lampu kamar mata
sayu itu memandang ke sekeliling. Sudah berapa lama ia habisnya malam-malamnya
di ruangan itu. pasti sudah sangat lama. Ia bahkan tak ingat lagi seperti apa
kamar nyamannya dulu. Indri kembali memandang langit-langit kamarnya sambil
mengacungkan kedua lengannya lurus menghadap lampu temarang. Bercak lebam itu
semakin banyak memenuhi kedua lengannya tadi. Mata sayu itu mulai merenung
lama.
“apa aku akan segera
mati?”
Lirihnya dalam hati, kemudian mulai memejamkan kedua matanya perlahan.
No comments:
Post a Comment