Friday, January 25, 2013

Cerbung : Hanya Satu #17



25 Desember 2011
Waktu berlalu. Kala terbit dan terbenamnya matahari sudah mulai tak terasa. Ia lewati hari-harinya pada satu titik. Berkutat menjadi seorang pesakitan. Tak banyak yang ia kerjakan. Tapi setiap hari terasa begitu melelahkan. Yang ia lakukan hanya berputar antara rumah dan rumah sakit. Tak ada yang lebih baik diantara keduanya. meskipun ia sudah cukup lama tinggal di rumah itu, tapi hubungannya dengan orang – orang disana masih belum juga terlalu baik. Hari itu tak ada jadwal terapi, ia kembali duduk melamun di sisi tempat tidurnya sambil memandang ke arah luar jendela. Sepi. Matanya tampak kosong.
           
“kak Indri, hari ini kita mau pergi ke TK..kakak mau ikut tidak?”

Tanya Dion sambil berlari menghampirinya. Ia tampak begitu cantik dengan seragam yang ia kenakan. Rambutnya yang panjang sebahu terlihat begitu bercahaya. Sambil menyungingkan senyuman polosnya. Ia duduk di pangkuan Indri. Ya, gadis kecil itu kini sudah mulai mau bicara. Berbeda dengan Fira dan Indri, gadis kecil itu tampak lebih bahagia ketika berada disana. Ia mulai bertingkah laku seperti anak-anak normal seusianya. Bahkan ia terlihat begitu akrab dengan Nino, keponakan yang usianya tak jauh berbeda dengannya.
            “Dion, ayo cepat kemari!! Jangan ganggu kak Indri!!”
Panggil Ine dari balik pintu kamar Indri. Dengan segera gadis kecil itu langsung beranjak dari duduknya dan berlari menghampiri Ine.
            “kita berangkat sekarang!”
Tanyanya, sambil memeluk wanita itu.
            “iya, sayang! hari ini hari pertamanya masuk sekolah, dia jadi begitu
  bersemangat..”
Ujar Ine tetap ramah padanya. Tapi Indri masih tak menghiraukannya.
            “ayo!!!”
Ajak gadis kecil itu lagi sambil menarik-narik rok Ine yang lebih mirip ibu ketimbang kakak iparnya.
“kalau begitu kami pergi dulu, aku akan segera pulang begitu selesai
  mengantarkanya ke sekolah..” 
pamitnya sambil beranjak dari tempat itu. ia masih tak menjawab. sepi kemudian. Tak ada siapapun di rumah itu selain dirinya. selain Farid yang memang sudah sangat sibuk dengan jadwal prakteknya dan Ayahnya yang sibuk memulai usaha mebel. Fira juga kini sudah mulai sibuk melanjutkan kuliahnya yang dulu sempat terhenti. Semenjak Indri jatuh sakit, kakak perempuanya itu memang sudah banyak berubah. Ia putuskan untuk berhenti bekerja di club malam, dan mulai mencari pekerjaan yang lebih baik. Hidupnya kini jadi lebih teratur seperti dulu. Bahkan lebih baik. Siang hari ia habiskan dengan bekerja di perusahaan travel sedangkan malamnya ia sibuk menimba ilmu untuk mengejar gelar S1nya. Semua itu ia lakukan semata-mata untuk Indri.  jika ia bisa lulus. Dan mendapat pekerjaan yang lebih baik lagi, keduanya tidak perlu lagi bergantung pada Farid dan  tinggal di rumah itu.
disaat ketiganya sibuk maka hanya Ine saja yang selalu menemani hari-hari Indri di rumah. biar sikapnya masih begitu dingin dan acuh terhadapnya, tapi ia seolah tak bosan untuk terus mendekati gadis itu. berusaha untuk menjadi akrab dengannya.
Ia yang selalu setia menemani Indri terapi setiap satu minggu sekali, meskipun tak diminta. dia juga yang begitu sigap menyediakan segala kebutuhan Indri yang semakin lama semakin sulit untuk beraktifitas.
            “bubur dan obatnya aku taruh disini, jangan lupa di minum ya?”
Ujar Ine sembari menyimpan baki makanan dan obat diatas meja. Kemudian bergegas keluar.
“bagaimana keadaannya?”
Tanya Farid begitu melihat istrinya keluar dari kamar Indri.
“masih seperti biasa, Setiap hari yang dia lakukan hanya melamun..”
Jawabnya sambil beranjak kearah ruang tamu.
            “kenapa kalian tidak beritahu saja Arya yang sebenarnya, kasihan Indri! dia jadi
  seperti ini pasti karena kejadian itu..”
saran Ine begitu saja.
            “kalian ngomongin apa?”
Tanya Fira tiba-tiba begitu ia sampai di ruang tamu selepas pulang kuliah.
            “oh..kamu sudah pulang?gimana kuliahnya?”
Sapa keduanya yang tampak terkejut begitu melihat gadis itu sudah berada di belakang mereka.
“jangan coba ngalihin pembicaraan deh! kenapa gw denger nama orang itu
 disebut?!”
“itu..”
“asal kalian tahu! gw udah nggak mau denger nama orang itu lagi! Jadi gw
  minta sama kalian berhenti berpikir buat berurusan lagi sama dia!”
“tapi ra, apa kamu nggak kasihan sama Indri , tiap hari yang dilakukannya cuma
  duduk melamun seperti itu..”
“udah deh!! Gw tahu apa yang terbaik buat dia, jadi kalian nggak usah ikut
  campur!!!”
Bentaknya yang langsung memotong perkataan Ine. Amarahnya kembali naik tiap ia mendengar nama pria itu disebut. Sudah hampir dua bulan berlalu. sambil menahan emosinya ia berjalan menuju kamar Indri. sepi. Yang tampak hanya gadis itu yang masih duduk melamun di sisi tempat tidurnya. Makanan dan beberapa obat yang sebelumnya di berikan Ine masih terlihat utuh,tak berkurang sedikitpun. Gadis itu. Indri masih duduk sambil memandang kosong keluar jendela. Entah apa yang ia cari, Tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa disana. Perlahan, Fira mulai mendekatinya dan kemudian duduk disamping gadis itu.
            “sampai kapan lu bakal gini terus?”
Tanyanya sembari membelai rambut kepala Indri yang sekarang sudah tertutupi kumpluk putih. Tapi yang ditanya malah tetap tak bergeming. dan terus memandang kearah luar jendela kamarnya.
            “kenapa lu jadi kayak gini?”
Ujar Fira lirih sembari bersandar dipundaknya.
            “gw mohon Ndri..gw mohon, jangan seperti ini!”
lanjutnya lagi semakin lirih, kemudian langsung mendekap adiknya yang masih tetap tak bergeming dan mulai kembali menangis. dua bulan berlalu . semua tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Sejak hari itu. ia bahkan tak pernah mendengar namanya. sejak hari itu. ia rasakan hidupnya sudah tak terlalu berarti lagi.

Tak ada keinginan. Tak ada harapan. Tak ada masa depan. Ia habiskan hari-harinya hanya dengan duduk melamun di sisi tempat tidur. tak bicara. kondisi fisiknya yang semakin buruk, bahkan rambutnya yang sudah mulai menipis. Membuatnya tampak lebih sekarat lagi.

Sepi kemudian. Angin berhembus di luaran jendela kamarnya. Tak tampak ia disana di sudut sisi tempat tidurnya. bahkan ia tak ada di sekitaran itu. hanya suara cucuran air yang terdengar nyaring dari arah kamar mandi. kala itu masih sepertiga malam.
           
            *                                                           *                                                           *

Malam itu aku bermimpi. kulihat diriku bertengkar dengan Fira. Kuingat. Satu janji sebelumnya. Tempat yang ingin kau tunjukan padaku. ia tak membiarkanku pergi bersamamu.  Ia tampak begitu marah. Tapi aku tak berhenti merengek padanya. Kuyakinkan padanya. Bahwa aku akan baik-baik saja. kamu akan menjagaku. Tak akan membuatku kesulitan, tak akan membuatku kesakitan. Ia masih tetap tak membiarkanku pergi.  aku bingung. Kulihat diriku tampak murung. Sampai kau datang  dan berbicara padanya. Samar ku dengar pembicaraan kalian. Dan tiba-tiba seperti keajaiban. Ia mengizinkanku pergi bersamamu.

Lama perjalanan berlalu. kamu membawaku pada tempat yang tak asing. Seperti sebuah taman hiburan. Aku kembali teringat hari dimana kita terakhir kali mengunjunginya. Itu adalah saat – saat mengembirakan. tak jauh dari sana kita berjalan ke arah pantai. saat itu yang kulakukan hanya memandangi langit yang tampak bersih.  Sambil tersipu malu karena kau tak berhenti mengenggam tanganku.
 
            “kenapa kita kesini?”

Tanyaku tak mengerti begitu kita sampai disana. Sebuah gedung untuk menaiki gondola. Salah satu permainan di taman hiburan itu. tapi kau hanya tersenyum. Dan membawaku masuk ke dalam sana. gelap. semua lampu di gedung itu sudah dimatikan.

            ini tempat yang  aku janjikan!” 

Ujarmu kemudian sambil tetap tersenyum ke arahku. Aku masih tak mengerti. Dan hanya bisa semakin mengenggam kencang lenganmu. Sampai tiba-tiba lampu di ruangan itu menyala satu persatu. Mengarahkan kita pada sebuah jalan menuju gondola yang sedikit tampak berbeda. Perlahan. Kau memapahku untuk masuk ke dalamnya. Beberapa lilin terpanjang rapih di pinggiran.  Gondola itu membawa kita pergi. Sambil duduk  aku bisa melihat seluruh arena taman hiburan itu, termasuk laut.

“Indri..”

Panggilmu pelan ke telingaku.

“coba lihat ke bawah sana!”

Tunjukmu lagi sambil mengarahkan ku pada satu tempat.  Dibawah sana. Entah apa yang kulihat. Tapi jelas sekali itu membuatku tak bisa berhenti menangis.

“terima kasih, ini indah sekali..”

Ujarku kemudian masih dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Kamu hanya tersenyum. Ketika ku arahkan kedua tanganku untuk membelai wajahmu. Kemudian ku lihat diriku sendiri tanpa ragu mencium kening wajahmu. Itu memalukan. Tapi sepertinya saat itu aku punya alasan untuk melakukannya. Sebuah mimpi indah. Satu yang ku dapat.

Satu malam kemudian aku kembali bermimpi. Pagi setelah kamu mengantarku pulang hari itu. aku yakinkan diriku bahwa kamu akan tetap berada disini. Disisiku. Rasanya begitu nyata. Setiap hari. Aku teringat daun yang berguguran dari jalanan rumah sakit. Kau tetap menemaniku.

Entah sudah mimpi keberapa. pagi itu seperti biasa. Kamu datang ke rumahku, hanya untuk memeriksa keadaanku. Kali itu kulihat diriku sudah tampak berubah. Aku ingat. Ketika aku menangis sendiri di depan cermin kamar mandi. sambil mengenggam beberapa helai rambut yang rontok dari kepalaku. Aku tak sehat saat itu.  aku bahkan tak menjawabmu ketika kamu menyapaku. Wajahmu tampak lelah. Sepintas kulihat raut kesedihan disana. Kemudian kamu pergi. 

Hari berlalu, aku tak melihatmu. Minggu berlalu. aku tetap tak melihatmu. Kulihat betapa menyedihkannya diriku. Yang kulakukan hanya duduk di sisi tempat tidur, sambil memandang keluar  jendela. Entah apa yang aku tunggu.

Ku ingat daun yang berguguran dari jalanan rumah sakit. Aku berjalan keluar dari ruang terapi. Ditemani seorang wanita yang begitu setia memperhatikanku meskipun aku terus saja mengacuhkannya. Di lorong sana. Dari jauh aku kembali melihatmu. Kau tampak lebih ceria. Bercengkrama dengan seorang dokter lain diseberang lorong. Hingga tiba-tiba ku lihat kau menyadari keberadaanku. Raut wajahmu kembali tampak lesu. Kita berpapasan kemudian. Tapi hanya itu saja. sambil tertunduk kau lanjutkan lagi langkahmu. Berusaha mengacuhkanku. Yang sedari awal tak mau memandangmu. Dan pergi. Sakit.  Aku pikir  saat melihatnya. kenapa aku jadi seperti itu. aku marah pada diriku sendiri.    

Kini untuk bermimpi aku pun takut. Aku benci kesendirian. Aku benci pada diriku sendiri. Aku lelah. aku ingin melihatmu. Dan berkata aku mencintaimu. Meskipun itu hanya satu  kali kesempatan saja.

            *                                                           *                                                           *


Kala itu masih sepertiga malam, tapi tiba-tiba keadaan disana berubah gaduh. Fira tampak histeris memanggil kakak laki-lakinya dari balik pintu kamar mereka. Wajahnya pucat. Sesaat kemudian pintu terbuka. Kebetulan Farid juga yang membukanya, dengan segera ia menarik lengan kakak laki-lakinya yang masih tampak bingung itu ke arah kamar Indri. Fira tak berhenti menangis. tangannya mulai gemetar. Di dalam kamar sepi. Hanya terdengar suara air mengalir dari arah kamar mandi. sementara si pemilik kamar sudah tak sadarkan diri di dalam sebuah bak mandi yang penuh dengan air yang menengelamkan dirinya.  Basah dimana-mana. Segera mereka membawanya pergi ke rumah sakit. tubuhnya sudah tampak membiru. Pertanda bahwa ia sudah lama berada disana.
           
“jangan mati..aku mohon jangan mati!”

Panggil Fira lirih. Ia terus menangis. tangannya semakin gemetar. Ia merangkul gadis itu dalam dekapannya. Badannya terasa dingin dan basah. wajahnya biru. Entah ia sudah mati atau belum. Hingga mereka sampai di rumah sakit. Sepi. Hanya ada 2 dokter yang berjaga disana. Di bantu Farid ketiganya langsung melakukan pertolongan pertama. Sementara Fira yang masih tampak syok. Hanya menangis sendu di balik pintu ruang UGD.

            *                                                           *                                                           *

Ramai. Mungkin karena jam makan siang, semua pekerja restoran tampak sibuk. Hari itu Arya datang bersama seorang teman. sudah lama, semenjak terakhir kali ia datang kesana. seperti biasa keduanya duduk di salah satu meja yang kosong. Sambil menunggu seorang pelayan menghampiri meja mereka. Keduanya tampak sangat akrab dan asyik berbincang. Sampai tiba-tiba seorang pelayan menyiramkan segelas air putih ke wajahnya.  Ia tertegun. Sambil melihat ke arahnya.
“apa yang kamu lakukan!”
Sentak seorang teman yang menemaninya pada pelayan itu. tapi ia tak menjawab. Sambil masih terlihat kesal, sekali lagi ia mengambil gelas yang satunya kemudian langsung menyiramkannya ke wajah pria itu. sontak semua orang yang berada disana langsung memperhatikan mereka.
            “pergi dari sini! Gw nggak mau lihat muka lu disini!!”
Bentak pelayan itu yang tak lain adalah Ririn padanya. Begitu mendengar kegaduhan, Danu yang juga manager di tempat itu langsung datang menghampiri meja mereka.
            “apa yang kamu lakukan!”
Bentak Danu ikut memarahi gadis itu.
            “kami minta maaf..”
Ujarnya lagi seraya berusaha membersihkan kedua wajah pelangannya yang tampak sudah basah kuyup.
            “sebaiknya kita pergi saja..”
Ucap Arya yang tak mau memperpanjang masalah sambil mengajak rekan kerjanya itu beranjak pergi. Ia kembali tampak murung. Sambil terus meminta maaf pada rekan kerjanya itu, ia lajukan kembali kendaraannya. Kenapa semua orang yang ia kenal tiba-tiba mulai memusuhinya begitu hubungannya dengan Indri berakhir.  Seolah menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Padahal itu juga bukan keinginannya. Mungkin. Kadang kala ia sering mengeluh. menjadi pacar dari seorang penyakitan seperti Indri. Pasti sangat melelahkan. Juga menyakitkan. Tapi dalam hati, ia tak pernah bermaksud untuk mengakhiri semuanya. Semua terjadi begitu saja.

            *                                                           *                                                           *

Bunyi peralatan medis terdengar mengalun dari ruang ICU. Indri masih terbaring lengkap dengan kabel pendeteksi detak jantung, tekanan darah dan beberapa selang alat bantu pernafasan yang menempel di hidung dan juga tenggorokannya. Kedua matanya tampak tertutup rapat. Beberapa jam sekali seorang dokter dan perawat datang untuk memantau keadaannya. Ia masih terbaring. Dengan kedua mata tertutup. Sementara Fira memperhatikannya dari balik jendela kaca di luar ruangan. Matanya masih tampak sebam. Ia masih terlihat sangat terkejut.
            “sebaiknya kita pulang..”
Ajak Farid yang melihat gadis itu masih diam terpaku di luar ruangan. Wajahnya tampak lusuh, Rambutnya berantakan, ia bahkan tak sadar bahwa ia masih mengenakan pakaian tidurnya. 
            “gw mau disini..”
Jawabnya lesu.
“Kamu tidak mungkin diam disini terus, Lihat keadaanmu! Sudahlah tidak perlu
  khawatir! dia sudah tidak apa-apa? Ada tim medis yang menjaganya 24 jam..”
ujar Farid lagi seraya membantunya beranjak.
            “dia udah hampir mati! Gimana gw bisa tenang??!!”
Bentak Fira yang tetap kukuh di tempatnya.
            “lu nggak liat apa yang gw liat! lu nggak liat apa yang gw liat! jadi lu nggak
  mungkin ngerti!! Dia mau mati, dia mau mati!!”
Ucapnya histeris sambil kembali berurai air mata.
            “Fira..”
            “dia coba buat bunuh diri, Farid!..dia mau mati..”
Lirihnya kemudian.

*                                                           *                                                           *


pagi-pagi sekali Arya datang ke rumah seniornya Farid yang sekarang juga jadi tempat tinggal Indri, sebelum ia berangkat praktek di rumah sakit. Itu sudah jadi kebiasaannya. Sejak tahu bahwa Indri terkena leukimia. Ia datang untuk menyapanya dan melihat kondisinya. setiap hari.

Setiap hari pula, ia selalu menyempatkan dirinya untuk menemani gadis itu. semua waktu, tenaga, dan perasaannya ia curahkan untuknya. Segala yang gadis itu inginkan, segala yang gadis itu butuhkan, dan segala yang bisa membuat gadis itu merasa bahagia. Biar seberapa sulit, dan tidak memungkinkannya itu ia selalu mengusahakan apa yang bisa ia lakukan untuknya.

Itu melelahkan. Tapi ia tak pernah mengeluh. Ia usahakan untuk tak mengeluh. tak tahu seperti apa rasanya. Berada disamping orang yang kita cintai. Dan ia beranjak sekarat. Melihatnya kesakitan. Dan seperti hendak mati. Berpikir betapa kita mencintainya. Dan itu sangat besar. Sehingga ingin memilki. Tak ingin kehilangan. Itu menyakitkan.

Tapi saat datang, dan melihatmu tersenyum menyapaku. Rasa sakit. Rasa lelah itu jadi tak terlalu berarti. asal bisa melihatmu. Setiap hari. Itu sudah cukup.  meskipun bukan itu sepenuhnya yang ku inginkan. Tapi ku biasakan diriku. Untuk mencintaimu seperti itu. meski itupun masih terasa sulit.

Hingga pagi yang berbeda. Arya datang seperti biasa. Sebelum menyapanya. Ia bercengkrama dengan beberapa orang lain disana. Dokter Farid dan istrinya, ayahnya, Dion bahkan Fira. Semua masih seperti biasa. Sambil membawa beberapa ikat bunga yang sudah mereka janjikan untuk ia bawa tiap kali datang kesana. Ia duduk dan menyapanya mesra seperti biasa.
            “bagaimana keadaanmu?”
Ujarnya sambil mencium kening Indri.
            “hari ini kamu datang terlambat!”
            “kemarin ibu datang ke rumah, karena aku harus mengantarnya pulang, jadi
  tadi pagi aku berangkat dari bekasi..”
jelasnya sambil mengelus kepala gadis itu. tapi seolah menghindar ia hempaskan tangan itu dari kepalanya dengan wajah yang tampak malas.
            “kenapa?kamu marah karena aku datang terlambat?”
tanyanya sambil kembali berusaha mengelus kepala Indri. tapi di tepisnya lagi lebih keras.
            “aku cape, kamu pergi saja..”
Usir Indri kemudian sambil berbaring membelakanginya.
            “kenapa? Apa kamu tidak enak badan?”
Tanyanya lagi, tapi gadis itu tetap tak bergeming.
            “Apa terjadi sesuatu?”
Kembali Arya bertanya tapi tetap diacuhkannya. Dengan langkah gontai, perlahan ia mulai beranjak dari duduknya, sembari meletakan buket bunga yang ia bawa sebelumnya di samping tempat tidur gadis itu.
            “aku pergi..”
Pamitnya saat ia mulai menutup pintu kamar gadis itu. tak seperti biasa. Hari itu. dia bersikap begitu dingin. tapi Arya tak terlalu menganggapnya serius. mungkin suasana hatinya memang sedang tak terlalu baik. itu sudah biasa ia alami. Dalam masa - masa mereka bersama.

Pagi selanjutnya Arya datang lebih awal lagi. Masih tetap membawa bunga yang biasa ia bawakan untuknya. Setelah menyapa beberapa orang disana ia kembali beranjak masuk ke dalam kamar gadis itu.
            “selamat pagi! Bagaimana keadaanmu?”
Sapanya lagi sambil berusaha mencium kening gadis itu seperti biasa.
            “hentikan itu!!”
Ucap gadis itu sambil berusaha menepis diri.
            “sampai kapan kamu mau seperti ini?”
Ucapnya lagi yang tak mau memandangnya sama sekali. Ia masih sama seperti kemarin.
            “apa kamu tidak bosan? Setiap hari seperti ini?datang dan menemuiku seperti
  ini, itu pasti mulai membosankan untukmu, apa kamu tidak bosan? Aku saja
  yang hanya duduk sudah mulai merasa bosan..”
“aku tidak mengerti apa yang kamu katakan..”
“sampai kapan kita mau seperti ini?untuk apa kamu terus datang menemuiku?    
  menemaniku?bersikap begitu baik padaku?apa yang kamu harap bisa aku
  lakukan untukmu..sampai kamu terus seperti ini?”    
            “aku tidak pernah punya maksud apa-apa terhadapmu, aku hanya ingin
  membuatmu merasa lebih baik..”
“apa aku terlihat begitu kasihan?sampai  kamu merasa bertanggung jawab
  untuk membuatku merasa lebih baik?”
“kenapa kamu bicara seperti itu?!”
“siapa kamu sampai harus merasa begitu bertanggung jawab terhadapku!!”
Bentak Indri keras. Sambil tetap memalingkan wajahnya.
            “kenapa kamu seperti ini?apa yang terjadi?”
Tanya Arya yang kembali berusaha menenangkan suasana pertengkaran mereka seraya membelai rambutnya.
“pasti ada yang terjadi sampai kamu bersikap seperti ini?Katakan padaku ada
  apa?”
            “jauhkan tanganmu!!”
Bentak gadis itu lebih kasar lagi sambil kembali menepis tangan Arya.
            “sudah ku katakan berhenti bersikap terlalu baik padaku!!!”
            “aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan terhadapmu, kenapa selalu
  seperti ini?setiap hari selalu berubah, selalu tak jelas!!”
Balas Arya yang  mulai tersulut emosinya.
            “apa yang harus aku lakukan terhadapmu? Seperti apa aku harus bersikap
  terhadapmu? Apa yang harus aku lakukan sampai bisa meyakinkanmu!!kamu
  tahu, seberapa berat beban yang aku rasakan ketika bersamamu?!betapa aku
  tidak sanggup melihatmu menderita dan kesakitan seperti ini?takut bahwa
  besok aku mungkin tidak bisa melihatmu lagi? apa kamu tahu itu?!”
keluhnya kemudian.
“kamu membuatmu lelah..”
Sepi. Keduanya tak melanjutkan lagi pertengkaran mereka. kala itu bahkan mataharipun belum terlalu terik. Tapi, suasana disana malah terasa panas. Sambil tetap memalingkan wajahnya dari pria itu. ia tampak melamun, memandang keluar jendela kamarnya.
            “kita akhiri saja..”
Usul Indri terdengar lirih.
            “jika itu membuatmu lelah, kita akhiri saja..”
Arya masih tertegun di tempatnya, begitu ia mendengar ucapan gadis itu. hari dimana ia dicampakan begitu saja untuk yang kedua kalinya.

*                                               *                                               *

Kesendirian itu kembali menyelimutinya. Setiap hari rasanya seperti ada yang kosong. Cinta melemahkanku. Tak ada yang berjalan baik setelah kita berpisah. Aku bahkan tak tahu harus seperti apa untuk menghilangkanmu dari ingatanku. Apapun yang aku lakukan. maka kamu ada disitu. Kemanapun aku pergi. Aku terus mencarimu. Sulit untukku menerima keadaan ini. Biarpun aku seorang laki-laki. Hatiku tak pernah menjadi lebih baik saat aku memikirkanmu. Andai kamu mendengarnya. Mungkin seperti itu. apa yang  ingin aku katakan. Mungkin seperti itu. hidupku kini berjalan.

Sampai semuanya berubah. Satu hal yang sangat terlambat aku ketahui. Hari dimana. Aku terus menyibukan diriku. Berusaha melupakanmu.

Arya masih tertegun tak percaya begitu ia melihat wanita itu berdiri di depan pintu rumahnya.
            “mau minum apa?”
            “apa saja..”
            “kalau begitu tunggu sebentar..”
Ujarnya seraya beranjak menuju dapur. Hari itu bahkan bukan hari libur, tapi ia tampak begitu lusuh. Sambil mengenakan pakaian santai. Ia kembali ke ruang tamu dengan dua gelas air putih di tangannya.
            “silahkan..”
Suguhnya.
            “terima kasih, lama tidak bertemu?”
Sapa Ine sambil tersenyum kearahnya.
“iya, bagaimana kabar disana?”
“kami baik, hanya saja..ada hal yang harus saya sampaikan padamu, ini
  masalah Indri..”
raut wajah pria itu tampak berubah ketika mendengar namanya disebut.
            “sebenarnya saya juga ragu, apa perlu memberitahumu atau tidak? Tapi kalau
  saya diamkan terus seperti ini, selamanya akan ada salahpaham diantara
  kalian! Saya tahu itu bukan hak saya untuk ikut campur, apalagi kalian sudah
  berpisah, saya lakukan ini semata-mata karena saya peduli pada Indri..”
Ujar Ine terdengar berbelit-belit.
            “katakan saja apa yang mau anda sampaikan..”
            “saya tidak tahu harus mulai darimana?”
“tidak apa-apa, mulai saja darimanapun yang anda mau..”
“entah ini ada hubungannya atau tidak? Tapi dua hari sebelum kalian berpisah,
  ada seorang wanita yang datang menemui Indri..dan dari apa yang
  dikatakannya saya bisa menyimpulkan kalau wanita itu adalah Ibu kamu..”
            “ibu saya?”
            “iya, mungkin terdengar lancang! Tapi saya tidak sengaja mendengarkan
  pembicaraan mereka waktu itu..”

pagi beberapa saat setelah Arya berpamitan dari rumah Farid, tiba-tiba seseorang lain mengetuk kembali pintu kamarnya. ia berdiri di depan pintu kamarnya sambil membawa sekeranjang buahan-buahan di tangannya.
            “tante?”
            “apa kabar? apa saya menganggumu?”
Sapa wanita setengah baya itu sembari menghampirinya.
            “tidak, tadi Arya baru saja dari sini..apa tante berpapasan dengannya?”
            “saya tahu, tapi kami tidak berpapasan.. bagaimana keadaanmu? Sepertinya
  tidak terlalu baik?”
            “seperti yang tante lihat, maaf karena saya menyambut tante dengan keadaan
  seperti ini, dan yang waktu itu karena saya pergi tanpa berpamitan terlebih
  dahulu, saya benar-benar minta maaf..”
Ujar Indri kembali kikuk tiap ia bertemu dengan Ibu pria itu.
            “sudahlah, tidak apa-apa! Oh iya! Saya bawa beberapa buah-buahan untukmu
  terimalah!”
“terima kasih!”
“sama-sama..”
Keduanya hanya tersenyum. Sepi kemudian. Sampai wanita setengah baya itu mulai berbicara lagi.
            “kamu tahu Indri? anak saya sangat menyukaimu, belum pernah saya
  melihatnya seperti ini menyukai seseorang, dia bahkan rela mengorbankan
  kepentingan  pribadinya hanya untuk membuatmu merasa senang..”
            “dia memang orang yang sangat baik! itu  juga yang membuat saya begitu
              menyukainya..”
Jawab Indri yang terlihat tersipu mendengar kata-kata dari wanita yang paling dihormati Arya itu.
            “iya, dia memang seperti itu! selalu ingin menolong orang lain sampai-sampai ia
  lupa dengan dirinya sendiri..dia sangat mirip ayahnya! Tapi, sebagai orang tua
  saya merasa khawatir!”
Ujar wanita itu sedikit berbeda.
            “kamu tahu Indri?anak saya terlalu mencintaimu, sampai-sampai dia lupa
  dengan dirinya sendiri, dia lemah soal yang satu ini! dia bahkan rela
  menghancurkan kehidupannya hanya untuk bersama denganmu..”
            “maksud tante apa?”
Tanyanya tak mengerti.
            “apa kamu tidak tahu? Hanya untuk menemanimu setiap hari ia bahkan tak
  masuk  kerja, surat peringatan dari kepala rumah sakit bahkan tak lebih penting
  dari jadwal minum obatmu! dulu saya pikir kamu adalah orang yang tepat
  untuk anak saya, tapi Indri, sekarang kita harus hadapi kenyataannya!
  kebahagian seperti apa yang bisa kamu janjikan untuknya dengan
  keadaanmu yang seperti ini? berhentilah membohongi diri sendiri, Mungkin ini
  terdengar kejam tapi kalian tidak punya masa depan!”
jelasnya panjang lebar, seraya membelai rambut gadis itu.
            “tidak seperti itu tante, tidak seperti itu! Kami masih punya masa depan! Asal
  saya dapat donor sumsum tulang belakang yang cocok, dan operasinya
  berhasil? Kami masih punya harapan..”
Jawab Indri sambil terisak.
            “sampai kapan dia harus menunggu?kita tahu bahwa donor sumsum tulang itu
  sulit! Kalaupun ada kalian tetap tidak bisa hidup normal? Donor itu hanya
  membantu perawatanmu, sampai kapanpun tidak ada yang namanya
  kesembuhan untuk penderita leukimia! jangan seperti ini Indri, apa kamu tidak
  kasihan padanya? Selamanya kamu hanya akan menjadi beban di hidupnya?
  Apa kamu mau seperti itu?”
            “tolong beri saya kesempatan!”
Pintanya makin memelas.
            “saya harus pergi, jaga diri kamu baik-baik..”
Pamit wanita itu begitu saja tanpa memperdulikan permintaan Indri. air mukanya datar. Seolah tak merasa bersalah atas apa yang baru ia katakan. Yang ia yakini dalam hati. Hanya itu yang terbaik untuk putranya.

Sepi kemudian,  setelah selesai menyampaikan perkara Indri padanya. Ine langsung bergegas pulang ke rumah.

Ketika ia pergi. Dan memberitahuku tentang keadaan terakhirmu. Saat itu aku marah pada diriku sendiri dan juga padamu.  Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak tahu, harus seperti apa aku memulai atau mungkin mengakhirinya. Aku ragu. Ku takut apa yang ku dengar darinya adalah suatu kenyataan. bahwa kamu meninggalkanku karena satu hal itu.  Bagaimana  aku  berani menemuimu. Aku tak punya muka. Bahkan saat aku ingin sekali melihatmu. rasa takutku lebih besar dari itu. mungkin aku terlalu pengecut.

           *                                                     *                                                *


Mimpi itu kembali membangunkanku
Saat dimana aku bersamamu
Semua tempat yang kita lalui
Persimpangan jalan
Daun cemara di pagar rumahku
tak ada yang membuatku lupa

apa yang kamu lakukan sekarang
lebih bahagiakah ketika tidak bersamaku

perih bila kupikirkan itu
airmataku jatuh
bahkan hanya dengan mendengar namamu

apa yang kamu lakukan sekarang
aku mengingatmu
bersama hembusan nafasku
aku mengingatmu
bersama setiap kedipan mataku
aku mengingatmu
sampai rasanya melihatmu saja itu mulai tak cukup

mimpi itu kembali membangunkanku
saat dimana aku pergi menjauh
karena kebodohanku

perih bila kupikirkan itu
airmataku kembali jatuh
bahkan hanya dengan mengingatnya


*                                                          *                                                          *


Senja di pesisiran, dengan langkah gontai ia berjalan menikmati angin semilir kala itu. suasana pendamaian, untuk jiwanya yang semakin terasa resah.  Ia habiskan waktunya dengan selimutan penyesalan. Terus berpikir tentang apa yang terjadi, seperti apa, batinnya berkecamuk hebat.

ia teringat kala itu tengah malam. Ia berlari menuju rumah sakit karena Ine diam-diam  menghubunginya lagi. Dia berkata bahwa gadis itu, tak bisa sadarkan diri. ia koma, setelah mengalami kejang hebat. sambil terengah-engah dilihatnya dari balik pintu ruang ICU, gadis itu makin terbaring lemas, kedua matanya tertutup rapat.  Arya hanya bisa menunggu di luaran lorong. Karena Fira yang terus melarangnya bertemu dengan gadis itu. entah apa yang membuatnya begitu benci. Hingga bahkan untuk mendekatinya saja ia tak diijinkan. Arya menghela nafas dalam.

Sambil berjalan menikmati angin semilir di pesisiran, ia kembali menuju sebuah villa dekat tebing laut. Sepi, hanya dirinya seorang yang tengah sibuk menyiapkan sebuah obat pada jarum suntik. Ia berjalan menaiki anak tangga villa itu dan masuk pada satu kamar tidur. disana terbaring si gadis, dengan kedua mata yang masih tertutup rapat, wajah sayunya pucat pasi. Ia terbaring seperti putri tidur di dogeng - dogeng. Diam, tak terusik. Wajahnya tenang. Dengan hati-hati Arya masukan obat yang sudah ia persiapkan sebelumnya pada satu selang infus. Wajahnya masih tetap tenang. Tak tampak kesakitan disana.

Angin semilir makin berhembus kencang, hingga bunyi jendela kaca yang ditiupnya kedengaran. Ia duduk disamping tubuh gadis itu. sembari membelai kepalanya perlahan. Ia baringkan juga tubuhnya disamping si gadis.

            “apa yang kamu mimpikan sampai kamu tidak ingin bangun, Indri?”

Tanyanya pada gadis itu yang jelas tak bisa lagi menjawabnya. Kedua matanya kembali tampak basah. Senja itu. Arya pergi dengan membawa Indri bersamanya. Ke sebuah villa kecil di pinggiran tebing laut. Atas keinginannya sendiri, diam-diam ia bawa gadis itu yang masih terbaring koma di rumah sakit. Satu tindakan yang begitu nekad yang pernah ia lakukan atas nama cinta. Entah ini benar atau tidak, ia tak peduli. Saat itu, andai keduanya bisa seperti itu selamanya. Bukan masalah. Tak peduli seperti apa perasaan orang yang ditinggalkan, ini hanya untuk mereka. Untuk gadis itu dan juga untuknya.

Gaduh disekitaran, Fira yang akhirnya menyadari ketidakberadaan adiknya di bangsal rumah sakit itu langsung berteriak panik. Ia terus saja berujar keras memaki seorang perawat dan petugas keamanan di rumah sakit itu.
            “bagaimana rumah sakit sebesar ini bisa tidak tahu, kalau ada pasien yang di
  bawa lari keluar? rumah sakit macam apa ini! ngurusin satu pasien aja nggak
  becus!!”
Bentaknya sembari menunjuk salah satu muka petugas keamanan disana. Farid yang baru datang setelah dihubungi Ine langsung berusaha melerai amarah Fira yang membludak tak terkendali. adiknya itu terlihat begitu gusar saat mengetahui bahwa Indri sudah di bawa lari seseorang.
            “sebaiknya kamu tenang, marah tidak menyelesaikan apapun!”
            “gimana gw bisa tenang? Indri itu hilang, dia koma! jadi nggak mungkin dia
  pergi sendiri, kalau bukan  ada yang bawa dia?!!”
“aku tahu!! Memangnya kamu saja yang khawatir? Aku juga kakaknya! Tapi
  bukan seperti ini? sebaiknya kita cari dia dulu mungkin saja mereka belum
  terlalu jauh?”
ujarnya yang ikut terlihat panik.  keduanya kemudian pergi mencari di sekitaran rumah sakit bersama beberapa petugas yang berada disana. Tapi tak ada hasil. Sementara Ine begitu terlihat gugup sembari terus berusaha menghubungi seseorang. Ia kelimpungan. Karena yang coba dihubungi tak jua menjawab panggilannya. hingga rasa lelah mendera. Dan senja berlalu. Fira yang sudah tampak putus asa hanya bisa mengeluh di dalam bangsal rumah sakit yang kini tampak kosong.
            “kita mesti cari kemana lagi?”
Eluhnya sembari mulai menangis.   
            “aku juga tidak tahu, kira-kira siapa yang membawa Indri pergi?”
Tanya Farid kala itu yang juga masih terlihat lelah. sementara Ine yang dari awal tampak sibuk menghubungi seseorang makin terlihat gugup.
            “kamu telepon siapa dek?”
Tanya Farid kemudian yang melihat istrinya itu bersikap aneh.  Tapi Ine hanya mengelak. Sambil berjalan keluar ruangan. Ia kembali coba menghubungi nomor Arya. tetap saja. yang ia dengar hanya suara operator telepon.  Ia makin terlihat gusar. Juga bingung. Ia yakin dalam hati bahwa Arya lah yang sudah pasti membawa Indri pergi dari rumah sakit, tapi bagaimana ia memberitahu mereka tentang hal itu. ia terlalu takut, terutama pada Fira, gadis itu pasti akan sangat marah  jika ia mengetahui kebenarannya.

            *                                                                 *                                                                 * 

Tiga hari berlalu, Arya masih tetap saja seperti itu. Setiap hari, yang ia lakukan hanya diam di villa sewaan pinggir tebing laut . Sendiri. berusaha merawat gadis itu yang tak  juga mau bangun.  Ia tidak biarakan siapapun menganggunya, tidak juga memberi kabar. cinta melemahkannya juga membutakannya.            Setiap hari batinnya terus berkecamuk hebat. salah atau tidak. Ia tak tahu. Ia paksakan dirinya untuk tak peduli, dan menjadi seorang yang egois. Tapi itu juga terus menganggunya.

Hingga hari tak terduga itu tiba, saat seperti biasa, ia sibuk menyiapkan satu obat pada sebuah jarum suntik. Dan berjalan menaiki anak tangga menuju satu kamar tidur yang sama. satu yang berbeda, hingga ia tampak tertegun di depan pintu kamar, hingga jarum suntik yang sedari tadi digenggamnya tiba-tiba terlepas begitu saja. entah bahagia atau apa. Ia berlari menghampiri si gadis yang kini sudah membuka kedua matanya.
            “Indri..”
Panggilnya sembari mendekati tempat tidur. mata gadis itu sudah terbuka tapi ia masih tampak bingung dengan keadaan sekitarnya. Arya yang kini mulai sibuk memeriksa kondisinya pasca koma, hanya bisa menghela nafas sambil tak berhenti mengucap syukur. Ia bahkan tak bisa mengontrol airmatanya yang tak sengaja keluar begitu saja.

Sungguh bagaikan sebuah mukjizat, Indri sadar dengan kondisi yang jauh lebih stabil dari sebelumnya, bahkan tak butuh waktu lama. Ia sudah bisa minum, atau sekedar duduk bersandar diatas tempat tidurnya.

            “ aku pikir, aku tidak akan pernah bisa melihatmu membuka mata seperti ini
   lagi?”
Ujar Arya padanya, sembari sibuk menyuntikan satu obat pada selang infus. Sementara Indri hanya duduk sambil memperhatikannya, ia tak bicara. dan hanya duduk sembari memperhatikan pria itu dengan kedua mata sayunya.
            “aku minta maaf.. seharusnya aku tak pergi begitu saja, harusnya aku..tak
  langsung mengiyakan semua keinginanmu saat itu! saat itu aku terlalu lelah?
  aku tak bisa menangkap semua maksudmu!”
Ujar pria itu lagi seraya duduk di samping tempat tidurnya.
“tolong maafkan ibuku, maafkan semua perkataannya yang mungkin sudah
  menyakitimu, ia pasti punya alasan untuk melakukannya, aku mohon
  kebesaran hatimu untuk memaklumi dan memaafkannya..”
Ujarnya lagi seraya membelai kepala Indri yang masih diam tak bergeming sambil tak berhenti memandang kearahnya.
            “aku berjanji, selamanya aku akan berada disisimu..”
Ujarnya semakin lekat sembari terus membelai kepala gadis itu.
            “Arya..”
            “hmmm??”
            “aku mau pulang..”
Ucap gadis itu tak terduga, bahkan setelah ia sadar dari koma kata yang ia ucapkan pertama kali adalah keinginannya untuk pulang.
            “aku harus pulang? Tolong antarkan aku..”
Pintanya begitu sangat, dengan suara sayu.
            “tentu,  aku akan membawamu pulang..”
Jawabnya berat.  tapi apa yang bisa ia lakukan lagi.  Selain menuruti keinginan gadis itu. tak lama, setelah Arya mengembalikan kunci villa pada pemiliknya merekapun langsung bergegas pergi meninggalkan tempat itu. di sepanjang perjalanan Indri tampak diam, yang ia lakukan hanya memandang keluar jendela mobil, mata lelahnya tampak sibuk memikirkan sesuatu.
             
Dan ketika keduanya tiba di rumah Farid, alangkah terkejutnya keluarga itu. Tak tahu harus senang atau marah awalnya. Mereka terlalu sibuk melihat kondisi Indri yang datang dengan keadaan berbeda. Ine dan juga Ayahnya, langsung membawa putri bungsu di keluarganya itu masuk kedalam kamar. Sementara Farid tampak sibuk berbincang dengan Arya di teras depan rumah mereka.
           
“Buggg!!!”
Tanpa basa-basi tiba-tiba sebuah kepalan tangan mendarat keras di wajah sebelah kiri Arya, Farid yang juga seniornya itu tampak begitu kesal atas keputusan sepihak yang dibuatnya. Sehingga tanpa pikir panjang ia langsung saja melampiaskan emosinya saat itu.
            “maaf karena saya harus melakukan itu! tapi tindakanmu ini benar-benar sudah
  keterlaluan!!”
Maafnya kemudian sambil masih terlihat kesal.
            “kamu tahu betapa kami sangat mengkhawatirkannya? Kenapa kamu
  melakukan tindakan sepihak ini tanpa memandang kami keluarganya?apa
  kami tidak punya wewenang atas Indri? apa menurutmu hanya kamu saja
  yang bisa menjaganya begitu baik? sehingga kamu membawanya pergi
  seperti ini, huh?”
  bentaknya lagi kemudian.
            “saya tahu, bahwa kamu benar - benar ingin menjaganya! tapi bukan dengan
  tindakan pengecut seperti ini!”
“saya minta maaf..”
            “untung kami belum melaporkanmu ke kantor polisi..”
            “saya minta maaf..”
            “sudahlah! Percuma memberitahumu! yang penting Indri sudah kembali,
  sebaiknya  kamu  pulang sekarang sebelum Fira datang dan melihatmu..”
            “saya akan datang lagi besok!”

Pamit Arya sambil beranjak. Mungkin karena masih merasa kesal atau apa, Farid hanya langsung menutup pintu rumahnya tanpa memperdulikan ucapan juniornya itu. ia lalu bergegas menghampiri Indri yang sudah tampak duduk bersandar di tempat tidurnya di temani Ine juga ayah mereka.
            “bagaimana keadaanmu? Tidak terjadi sesuatu saat disana kan?”
Tanya Farid cemas sembari menghampiri ketiganya. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya kemudian kembali tampak diam.
            “ada apa?”
Tanyanya lagi pada istri juga ayahnya yang tak mengerti dengan suasana disana. Tapi tiba-tiba Istrinya itu langsung menarik tangannya sambil berjalan keluar kamar, meninggalkan Indri dan ayahnya disana.
            “ada apa?”
Tanya Farid lagi, begitu keduanya sudah berada diluar kamar gadis itu.
            “kita tunggu saja giliran kita..”
Ujar Ine kemudian.

Indri tampak diam saat Ine dan juga ayahnya memapahnya masuk ke dalam kamar. Dia katakan pada kedua orang itu, bahwa ia ingin bicara satu persatu dengan mereka. Seperti wasiat atau apa. Itu sulit dimengerti. Ia hanya diam dan meminta satu diantara mereka untuk keluar dan menunggu giliran sampai yang satunya lagi keluar dari ruangan itu.
           
Hening beberapa waktu, Indri dan ayahnya hanya diam tanpa membicarakan apapun.
            “kamu tahu, betapa menderitanya ibuku saat kamu meninggalkan kami begitu
  saja? aku masih ingat malam dimana aku mengejarmu dan memintamu untuk
  tidak pergi?tapi bahkan wajahmu saja tidak aku lihat saat itu..”
Ucap gadis itu memulai pembicaraan mereka.
            “aku tak tahu seperti apa rasanya? Tapi aku yakin itu pasti sangat menyakitkan
  untuknya karena harus mengurus kami dan juga anak harammu dengan jerih
  payah yang tak pernah ia lakukan sebelumnya?dimana kamu saat itu?”
            “Indri..”
Panggil pria tua itu seraya berusaha memberi penjelasan.
            “diam, dan dengarkan saja! aku tak mau mendengar apapun darimu,
  dengarkan saja apa yang ingin aku katakan padamu..”
potongnya lagi.
“saat ibuku mati bunuh diri, melihatnya sendiri tergantung tak bernyawa di
  dalam kamarnya,kamu tahu seperti apa rasanya? aku baru 19 tahun saat ibuku
  mati, saat itu aku harus bersekolah sambil mencari uang, mengurus adik dan
  juga kakakku yang selalu membuat masalah?tiap hari selalu ada rentenir yang
  menagih hutang pada kami, jika aku punya uang mereka akan pergi sambil
  meninggalkan barang-barang kami yang berserakan di luar rumah.. Jika aku
  punya uang saja mereka berlaku seperti itu?menurutmu apa yang bisa mereka
  lakukan jika aku tidak punya uang? mereka memukuliku sampai mereka
  merasa puas!! Dimana kamu saat itu?”  
Ujarnya lirih.
            “aku selalu berharap ada hari dimana kamu datang dan mengetuk pintu rumah
  kami?berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, karena kamu sudah ada
  disini! tak akan meninggalkan kami, Tak akan membuat kami kesusahan, tak
  akan membuat kami menderita lagi..tapi itu cuma harapanku saja, karena
  kenyataannya kamu tak pernah datang! apa kamu tahu seperti apa rasanya?!
  Kamu tidak akanpernah tahu,  karena kamu tidak merasakannya..” 
            “maafkan aku..aku memang berdosa, aku bukan ayah yang baik untuk kalian..”
Jawab Pria tua itu sambil menangis sendu, ia tundukan kepalanya begitu dalam, merasa malu pada dirinya sendiri.
            “aku ingin memaafkanmu, tapi..itu sulit ayah..”
Ujarnya makin lirih.
            “harus seperti apa aku memaafkanmu, aku tidak tahu..”

Dengan kedua mata yang masih berlinang, pria tua itu keluar dari kamar Indri, ia tampak tertunduk sambil tak berhenti menghapus basah di kedua pelupuk matanya. Sambil bersandar di kursi ia rebahkan dirinya disana.
            “ada apa?”
Tanya Farid yang melihat orang tuanya keluar sambil menangis sendu.
            “masuklah, dia ingin bicara denganmu juga..”
Ujar pria itu sambil menepuk pundak Farid seraya menyuruhnya masuk kedalam kamar gadis itu.  saat masuk, tak banyak yang dikatakan Indri pada Farid, selain menyangkut ibunya, ia hanya menyampaikan rasa terima kasihnya karena ia sudah begitu baik mau membiayai  semua biaya pengobatannya selama ini.

hingga tiba giliran Ine, wanita itu tampak sedikit sungkan untuk masuk kesana, ia benar-benar tak tahu apa yang hendak dikatakan gadis itu padanya. Sambil sedikit gemetar ia buka pintu kamar itu, kemudian berjalan mendekatinya.  Hening. Indri masih tampak diam, sambil memandang keluar jendela kamarnya.  sampai tiba-tiba entah kenapa gadis itu mulai menangis lirih.
            “selama ini aku selalu marah pada Tuhan, kenapa  membuat hidupku jadi begitu
  menderita, apa salahku sampai hidupku jadi sebegitu sulitnya?aku tak percaya
  pada-Nya, semakin Ia terus mempersulit hidupku semakin aku membenci-Nya..
  aku sangat membenci-Nya! Mungkin karena itu Tuhan marah padaku..karena
  aku begitu membenci-Nya..jadi Tuhan marah padaku..dan menghukumku
  seperti ini..”
            “tidak seperti itu, Indri! Tuhan tidak pernah membenci umat-Nya.. Ia
              menyayangimu karena itu Ia memberimu sakit, agar karena sakit itu kamu bisa
              lebih dekat dengan-Nya..”
Jelas Ine segera pada gadis itu.
            “benarkah seperti itu? tapi aku adalah orang yang begitu membenci-Nya?
  bagaimana Ia bisa menyayangiku?mana mungkin Ia mau menerimaku? Aku
  takut! aku takut mati, aku takut bertemu dengan-Nya? Aku takut Ia tak mau
  menerimaku, apa yang harus aku katakan saat aku menemui-Nya nanti? Aku
  tidak tahu?”
Ucapnya sendu sambil terus menangis.
            “Tuhan tidak seperti itu Indri, jangan berprasangka buruk terhadap-Nya? Ia
  meyayangimu, Ia menyayangi tiap umat-Nya, Tuhan itu maha pengasih..kalau
  Iamembencimu? Mana mungkin Ia menghidupkanmu? Mana mungkin Ia
  menjagamu? rizki yang kamu terima, setiap udara yang kamu hirup, setiap tetes
  air yang kamu minum? Itu bukti kasih sayang-Nya! Jangan berprasangka buruk
  terhadap-Nya Indri, Tuhan tidak suka..”
“Ine..”
Panggil gadis itu seraya menatapnya dalam.
            “apa kamu mau membantuku? Aku ingin sembahyang..”
Pintanya kemudian penuh pengharapan.
Meskipun Ine berkata bahwa ia bisa bersuci dengan tayamum,  tapi ia tetap paksakan dirinya untuk berwudhu dengan air di kamar mandi walaupun dengan sedikit tertatih - tatih.  Sambil mengenakan mukena milik kakak iparnya itu ia mulai melaksanakan shalat Isya. 4 raka’at. Ia jalani dengan posisi duduk. airmatanya mengalir deras. tiba-tiba ia merasa begitu tenang. Ketenangan yang entah datang dari mana. Ketenangan yang membuat semua beban itu lepas begitu saja. Penyesalan teramat dalam  langsung menyeruak di kalbunya. Kenapa tak sedari dulu, ia seperti ini.

     *                                                      *                                                           *            

Hari terus berlalu, entah sudah berapa lama. semua berjalan lebih baik, meskipun kondisi kesehatannya tak terlalu berkembang banyak. Indri tampak lebih bercahaya dengan hijab yang ia kenakan. Setiap hari selama 5 waktu ia minta Ine untuk membantu dan menemaninya melaksanakan sembahyang. Ia bahkan tampak lebih tenang dari sebelumnya.

Meskipun sulit, tapi sedikit demi sedikit ia juga mulai membangun hubungan yang lebih baik dengan ayahnya. Kadang  mereka berdua pergi ke rumah sakit untuk menemaninya menjalani terapi. Tak ada yang terlambat, meskipun hal itu dimulai dengan sangat lambat.

Perlahan. Keluarga yang di dambakan kakak sulungnya itu mulai terbangun. Meskipun selalu ada saat sulit. Terutama saat kondisi Indri mulai naik turun, bolak-balik rumah sakit rumah sudah jadi hal yang biasa. Biaya pengobatan yang terus membesar hingga Farid harus menjual mobil keluarga miliknya. Itu tak membuat hubungan keluarga mereka jadi kembali memburuk, entah kenapa justru hal-hal seperti itu yang membuat mereka jauh lebih dekat lagi. Lebih mengerti satu sama lain. Lebih menghormati dan menyayangi satu sama lain.

Pagi di rumah sakit. Sudah hampir satu minggu Indri di rawat disana, karena sel-sel kanker leukimia yang sudah menjalar ke hati  juga limpanya, sakit. Kadang perutnya membesar bahkan seperti wanita hamil. Kondisinya tak selalu stabil. Ada saat dimana ia merasa bahwa Tuhan sudah menginginkannya untuk pergi, dan kematian seperti satu hal yang jadi kemungkinan pertama. 

Tapi Tuhan begitu punya banyak rencana, lakon manusia harus tetap berjalan selama Ia masih menghendakinya. Semua belum berakhir sampai disitu.

Hingga fase paling kritis pun, saat ia sudah harus masuk ruang ICU untuk yang kesekian kali. bahkan kali ini dokter yang menanganinya sudah berkata bahwa mungkin itu adalah jam – jam paling riskan untuk kelangsungan hidupnya. Satu hal yang tak terduga bisa ia alami di hidupnya yang sudah sedemikian berliku. sebuah kebahagian kecil yang sedikitnya melengkapi kisah di  hidupnya. Hari dimana Arya datang dan melamarnya. Sebuah lamaran sederhana. Atau mungkin bukan.

Pria itu datang sambil mengenakan pakaian yang sering digunakan banyak orang untuk masuk ke dalam ruang ICU, ia berjalan sendiri. Menghampiri Indri yang memang kala itu tengah dirawat disana. Sambil duduk di samping tempatnya terbaring. Ia ucapkan beberapa kata yang samar terdengar karena suara peralatan medis disana.
            “ aku ingin mengatakannya hari ini, sebelum itu menjadi terlambat.. kamu tahu
   indri?aku pernah menyelamatkan seorang wanita yang hampir mati karena
   kehabisan darah, aku..menyelamatkan seorang pria dari 27 luka tusukan di
   sekujur badannya, tapi sekarang...hari ini...aku ingin menyelamatkan seorang
   pria yang tengah jatuh cinta, aku tahu ini mungkin terlambat..tapi aku mohon
   tolong terima ini..”
Ujar Pria itu, sambil menunjukan sebuah cincin.
            “ijinkan aku, aku tahu itu akan sangat sulit untuk kita, terutama untukku.. tapi itu
  lebih baik, dari pada aku harus merasa menyesal karena tak melakukannya..
  aku mohon Indri, menikahlah denganku..”

Sebuah lamaran sederhana. Sangat sederhana. seperti itu ia melamarku. tak ada yang bisa aku lakukan selain menerimanya. Sebagai seorang wanita. Hari itu. tak ada yang lebih membahagiakan lagi. Apa yang bisa aku minta lebih pada Tuhan. Aku sudah merasa cukup. bahkan jika kebahagian itu hanya berlangsung satu waktu itu saja. aku sudah merasa cukup.

Tak lama dari proses lamaran yang begitu sederhana. Beberapa jam kemudian. Acara pernikahanpun di gelar. Masih di tempat yang sama. Ruang ICU tempatnya di rawat.  Karena kondisinya yang masih kritis. Mereka tak punya banyak waktu untuk mengulur satu hal itu terlalu lama.  sebelumnya Arya memang sudah memberitahu keluarganya maupun keluarga Indri tentang niatannya itu. tak ada masalah, dengan ketulusan hati  restu mereka mengalir begitu saja.

Ijab kabul di laksanakan di dalam tempatnya terbaring, tak banyak orang disana hanya ada Arya, ayahnya, dua orang saksi yang tak lain adalah petugas ruang ICU tempatnya dirawat dan seorang penghulu. Sementara beberapa yang lain seperti Fira, Farid juga ibu dan keluarga Arya menyaksikan proses itu diluar ruangan lewat jendela kaca.

Sebuah pernikahan. Yang terkesan dipaksakan. Karena keadaan yang memang tak memungkinkan. Tak ada satu orang perempuanpun yang memimpikan menikah dalam keadaan seperti ini. tanpa riasan, tanpa baju pengantin, ataupun acara suka ria. Semua berjalan begitu sederhana. Tapi bagi Indri itu sudah cukup membahagiakannya. Meskipun ia tak bisa mengatakannya. Itu sudah terpancar jelas di sudut matanya, yang kembali berlinang saat pria itu mencium keningnya sesaat setelah ijab kabul selesai.  Sebuah mimpi yang awalnya tak pernah ia pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebahagian kecil di tengah kisah hidupnya yang penuh liku. 

            *                                                           *                                                           *          

Senja itu, untuk pertama kali setelah hari-hari penuh kebimbangan di rumah sakit. Keduanya berjalan berdampingan menuju satu tempat yang  pernah mendekatkan mereka. Tak asing. Sambil tak berhenti tersenyum. Ia papah Istrinya masuk ke dalam sana.
 “selamat datang di rumah..”
Ujar pria itu sembari tetap mengenggam lengan Indri erat. 
            “sudah lama rasanya, aku pikir aku tidak akan pernah bisa datang lagi kemari?”
            “siapa bilang? Buktinya hari ini, kita berdua ada disini!”
Jawabnya sambil sedikit memasang wajah jenaka.  Keduanya kemudian berjalan menuju halaman belakang rumah mereka. Sambil tetap berpegangan tangan satu sama lain. Arya memapah  Indri untuk duduk di sebuah dipan kayu, menghadap nihontein belakang rumah itu, sepi hanya ada bunyi gemericik air yang turun dari sekitaran taman. Kebetulan hari itu hujan masih turun meskipun tak terlalu lebat.

Keduanya duduk disana sambil menikmati udara malam kala itu, teringat masa – masa saat belum seperti ini. gadis itu duduk bersandar di bahu Arya yang terus sibuk menahan jatuhan rinai air yang jatuh ke tangannya.
            “Arya..”
Panggil Indri pelan pada pria itu.
            “hmmm??”
Jawabnya, tapi gadis itu tak melanjutkan kata-katanya. Hening kemudian. Sampai ia memanggil namanya lagi.
            “Arya..”
            “iya?”
saat pria itu menjawab panggilannya, Ia kembali diam,.
            “Arya..”
Panggilnya lagi lebih sayu, sambil sedikit tersenyum.
            “ada apa?”
Jawab  pria itu seraya melirik kearahnya.
            “saat aku memanggilmu apa kamu akan selalu menjawabku seperti  ini?”
Tanyanya lirih.
            “kamu itu bicara apa? Tentu saja.. tentu saja aku akan menjawabmu..”
Ia menghela nafas sembari semakin erat menggenggam lengan pria disampingnya. Sambil memejamkan kedua matanya dan tetap bersandar di bahu pria itu. ia mulai berkata ringan.
            “Arya..”
            “hmm?”
            “saat aku sudah tidak ada, menangislah..”
Ujarnya Lirih sembari kembali menghela nafas.
“aku ingin kamu menangis saat aku sudah tidak ada..menangislah, dan
   keluarkan semua kesedihanmu saat itu, menangislah.. sampai hatimu merasa
   puas untuk melepasku pergi, menangislah.. meskipun itu akan sangat
   meyakitkanmu dan membuatmu merasa lelah..”
ucapnya lagi masih dengan memejamkan kedua matanya. sementara pria itu hanya diam, mendengarkannya sembari tetap menahan butiran air hujan yang jatuh ke telapak tanganya.
            “tapi, hanya saat itu saja.. kamu hanya boleh menangis hari itu saja..berjanji
              padaku!  Setelah hari itu, aku tidak mau ada satu airmatapun yang keluar dari
              matamu hanya karena mengingatku.. berjanjilah..bahwa kamu akan lebih
 bahagia setelah aku tidak  ada..apa kamu mau berjanji??”
            “hmm..”
Jawab pria itu hanya dengan sebuah anggukan pelan.
            “sampai saat itu tiba, hanya sampai saat itu tiba..tetaplah seperti ini..tetaplah
  duduk di sampingku seperti ini, mengenggam tanganku seperti ini,  selalu
  bersamaku, selalu mencintaiku seperti ini.. hanya sampai saat itu tiba..bisakah
  kamu melakukannya?”
tanyanya lagi semakin lrih.
            “hmm..aku akan melakukannya..”
Jawab Arya yang kini bahkan tak bisa menahan butiran air di tangannya. hening kemudian. Keduanya hanya diam.
            “Arya..”
            “ya?”
            “terima kasih...”
Ujar Indri singkat sambil memandang wajah pria itu lekat-lekat, senyumnya simpul terukir di bibir kecilnya.
            “aku mencintaimu Indri, aku mencintaimu..kamu tahu aku mencintaimu..
  aku berharap hari itu tak akan pernah datang..aku tak mau kehilanganmu..aku
  belum siap untuk kehilanganmu..aku mencintaimu..”
Jawab pria itu seraya memeluknya begitu erat. airmatanya jatuh, bahkan ketika ia sudah sangat begitu dekat dengannya. keduanya hanya tetap seperti itu. sepi, ditemani rinai rintikan hujan. berusaha menikmati waktu yang entah kapan bisa terus mereka jalani bersama. Tak tahu akhirnya seperti apa. Hanya berjalan disitu. Berusaha menghentikan waktu yang tiap lalu makin beranjak cepat.  Hanya untuk mencintai satu sama lain. Dan menyiapkan diri, sampai saat yang ditentukan itu tiba.

Tak ada yang sempurna di dunia ini, bahkan  jika itu bermula dari sebuah cinta yang begitu murni. Cinta. Satu kata yang begitu sulit di pahami, begitu sulit di mengerti. Satu kata yang entah seperti apa arti sebenarnya. Banyak pujangga mengeluarkan nyanyian syair-syair indah mereka mengenai cinta. Tapi entah, apa merekapun jujur tentang itu. Cinta. Sebuah jalan menuju kebahagian, kesengsaraan, ketenangan, keresahan. Cinta. Ada dalam hati tiap-tiap yang mengerti. Cinta. Hanya satu kata yang bisa memberi begitu banyak cerita. Hanya satu kata. yang bisa mengubah dunia.

            *                                                                       *                                               *

Sekali lagi Tuhan punya banyak rencana, tak ada manusia yang dilahirkan biasa dan tanpa guna.  semua punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing, punya keistimewaan, dan kisah hidupnya masing-masing, Tak ada yang berjalan mudah, tak ada pula yang susah. suka, duka, pahit, manis, getir, semua pasti pernah mengalaminya, hanya bagaimana kita menyikapi itu semua. Itu tergantung masing-masing pribadi.  Seperti apa hidupmu berjalan. Maka syukurilah, sebelum kamu bahkan tidak punya kesempatan lagi untuk mensyukurinya.

            *                                                                       *                                               *


Kamu tidak tahu apa yang mungkin akan kamu hadapi di masa depan. Hadapi saja. dan percaya. Bahwa itu adalah yang terbaik yang Tuhan pilihkan untukmu..

The End.

No comments: