25 Desember 2011
Waktu berlalu. Kala terbit dan terbenamnya matahari sudah mulai tak
terasa. Ia lewati hari-harinya pada satu titik. Berkutat menjadi seorang
pesakitan. Tak banyak yang ia kerjakan. Tapi setiap hari terasa begitu
melelahkan. Yang ia lakukan hanya berputar antara rumah dan rumah sakit. Tak
ada yang lebih baik diantara keduanya. meskipun ia sudah cukup lama tinggal di
rumah itu, tapi hubungannya dengan orang – orang disana masih belum juga
terlalu baik. Hari itu tak ada jadwal terapi, ia kembali duduk melamun di sisi
tempat tidurnya sambil memandang ke arah luar jendela. Sepi. Matanya tampak
kosong.
“kak Indri, hari ini kita mau pergi ke TK..kakak mau ikut tidak?”
Tanya Dion sambil berlari menghampirinya. Ia tampak begitu cantik dengan
seragam yang ia kenakan. Rambutnya yang panjang sebahu terlihat begitu
bercahaya. Sambil menyungingkan senyuman polosnya. Ia duduk di pangkuan Indri.
Ya, gadis kecil itu kini sudah mulai mau bicara. Berbeda dengan Fira dan Indri,
gadis kecil itu tampak lebih bahagia ketika berada disana. Ia mulai bertingkah
laku seperti anak-anak normal seusianya. Bahkan ia terlihat begitu akrab dengan
Nino, keponakan yang usianya tak jauh berbeda dengannya.
“Dion, ayo cepat
kemari!! Jangan ganggu kak Indri!!”
Panggil Ine dari balik pintu kamar Indri. Dengan segera gadis kecil itu
langsung beranjak dari duduknya dan berlari menghampiri Ine.
“kita berangkat
sekarang!”
Tanyanya, sambil memeluk wanita itu.
“iya, sayang! hari ini
hari pertamanya masuk sekolah, dia jadi begitu
bersemangat..”
Ujar Ine tetap ramah padanya. Tapi Indri masih tak menghiraukannya.
“ayo!!!”
Ajak gadis kecil itu lagi sambil menarik-narik rok Ine yang lebih mirip
ibu ketimbang kakak iparnya.
“kalau begitu kami pergi dulu, aku akan segera pulang begitu selesai
mengantarkanya
ke sekolah..”
pamitnya sambil beranjak dari tempat itu. ia masih tak menjawab. sepi
kemudian. Tak ada siapapun di rumah itu selain dirinya. selain Farid yang
memang sudah sangat sibuk dengan jadwal prakteknya dan Ayahnya yang sibuk
memulai usaha mebel. Fira juga kini sudah mulai sibuk melanjutkan kuliahnya
yang dulu sempat terhenti. Semenjak Indri jatuh sakit, kakak perempuanya itu
memang sudah banyak berubah. Ia putuskan untuk berhenti bekerja di club malam,
dan mulai mencari pekerjaan yang lebih baik. Hidupnya kini jadi lebih teratur
seperti dulu. Bahkan lebih baik. Siang hari ia habiskan dengan bekerja di
perusahaan travel sedangkan malamnya ia sibuk menimba ilmu untuk mengejar gelar
S1nya. Semua itu ia lakukan semata-mata untuk Indri. jika ia bisa lulus. Dan mendapat pekerjaan
yang lebih baik lagi, keduanya tidak perlu lagi bergantung pada Farid dan tinggal di rumah itu.
disaat ketiganya sibuk maka hanya Ine saja yang selalu menemani
hari-hari Indri di rumah. biar sikapnya masih begitu dingin dan acuh terhadapnya,
tapi ia seolah tak bosan untuk terus mendekati gadis itu. berusaha untuk
menjadi akrab dengannya.
Ia yang selalu setia menemani Indri terapi setiap satu minggu sekali,
meskipun tak diminta. dia juga yang begitu sigap menyediakan segala kebutuhan
Indri yang semakin lama semakin sulit untuk beraktifitas.
“bubur dan obatnya aku
taruh disini, jangan lupa di minum ya?”
Ujar Ine sembari menyimpan baki makanan dan obat diatas meja. Kemudian
bergegas keluar.
“bagaimana keadaannya?”
Tanya Farid begitu melihat istrinya keluar dari kamar Indri.
“masih seperti biasa, Setiap hari yang dia lakukan
hanya melamun..”
Jawabnya sambil beranjak kearah ruang tamu.
“kenapa kalian tidak
beritahu saja Arya yang sebenarnya, kasihan Indri! dia jadi
seperti ini pasti karena kejadian
itu..”
saran Ine begitu saja.
“kalian ngomongin apa?”
Tanya Fira tiba-tiba begitu ia sampai di ruang tamu selepas pulang
kuliah.
“oh..kamu sudah
pulang?gimana kuliahnya?”
Sapa keduanya yang tampak terkejut begitu melihat gadis itu sudah berada
di belakang mereka.
“jangan coba ngalihin pembicaraan deh! kenapa gw denger nama orang itu
disebut?!”
“itu..”
“asal kalian tahu! gw udah nggak mau denger nama orang
itu lagi! Jadi gw
minta sama
kalian berhenti berpikir buat berurusan lagi sama dia!”
“tapi ra, apa kamu nggak kasihan sama Indri , tiap
hari yang dilakukannya cuma
duduk melamun
seperti itu..”
“udah deh!! Gw tahu apa yang terbaik buat dia, jadi
kalian nggak usah ikut
campur!!!”
Bentaknya yang langsung memotong perkataan Ine. Amarahnya kembali naik
tiap ia mendengar nama pria itu disebut. Sudah hampir dua bulan berlalu. sambil
menahan emosinya ia berjalan menuju kamar Indri. sepi. Yang tampak hanya gadis
itu yang masih duduk melamun di sisi tempat tidurnya. Makanan dan beberapa obat
yang sebelumnya di berikan Ine masih terlihat utuh,tak berkurang sedikitpun.
Gadis itu. Indri masih duduk sambil memandang kosong keluar jendela. Entah apa
yang ia cari, Tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa disana. Perlahan, Fira mulai
mendekatinya dan kemudian duduk disamping gadis itu.
“sampai kapan lu bakal
gini terus?”
Tanyanya sembari membelai rambut kepala Indri yang sekarang sudah
tertutupi kumpluk putih. Tapi yang ditanya malah tetap tak bergeming. dan terus
memandang kearah luar jendela kamarnya.
“kenapa lu jadi kayak
gini?”
Ujar Fira lirih sembari bersandar dipundaknya.
“gw mohon Ndri..gw
mohon, jangan seperti ini!”
lanjutnya lagi semakin lirih, kemudian langsung mendekap adiknya yang
masih tetap tak bergeming dan mulai kembali menangis. dua bulan berlalu . semua
tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Sejak hari itu. ia bahkan tak pernah
mendengar namanya. sejak hari itu. ia rasakan hidupnya sudah tak terlalu
berarti lagi.
Tak ada keinginan. Tak ada harapan. Tak ada masa depan. Ia habiskan hari-harinya
hanya dengan duduk melamun di sisi tempat tidur. tak bicara. kondisi fisiknya
yang semakin buruk, bahkan rambutnya yang sudah mulai menipis. Membuatnya
tampak lebih sekarat lagi.
Sepi kemudian. Angin berhembus di luaran jendela
kamarnya. Tak tampak ia disana di sudut sisi tempat tidurnya. bahkan ia tak ada
di sekitaran itu. hanya suara cucuran air yang terdengar nyaring dari arah
kamar mandi. kala itu masih sepertiga malam.
* * *
Malam itu aku bermimpi. kulihat diriku bertengkar dengan
Fira. Kuingat. Satu janji sebelumnya. Tempat yang ingin kau tunjukan padaku. ia
tak membiarkanku pergi bersamamu. Ia
tampak begitu marah. Tapi aku tak berhenti merengek padanya. Kuyakinkan
padanya. Bahwa aku akan baik-baik saja. kamu akan menjagaku. Tak akan membuatku
kesulitan, tak akan membuatku kesakitan. Ia masih tetap tak membiarkanku
pergi. aku bingung. Kulihat diriku
tampak murung. Sampai kau datang dan
berbicara padanya. Samar ku dengar pembicaraan kalian. Dan tiba-tiba seperti
keajaiban. Ia mengizinkanku pergi bersamamu.
Lama perjalanan berlalu. kamu membawaku pada tempat
yang tak asing. Seperti sebuah taman hiburan. Aku kembali teringat hari dimana
kita terakhir kali mengunjunginya. Itu adalah saat – saat mengembirakan. tak
jauh dari sana kita berjalan ke arah pantai. saat itu yang kulakukan hanya
memandangi langit yang tampak bersih.
Sambil tersipu malu karena kau tak berhenti mengenggam tanganku.
“kenapa kita kesini?”
Tanyaku tak mengerti begitu kita sampai disana. Sebuah
gedung untuk menaiki gondola. Salah satu permainan di taman hiburan itu. tapi
kau hanya tersenyum. Dan membawaku masuk ke dalam sana. gelap. semua lampu di
gedung itu sudah dimatikan.
“ini tempat yang aku janjikan!”
Ujarmu kemudian sambil tetap tersenyum ke arahku. Aku
masih tak mengerti. Dan hanya bisa semakin mengenggam kencang lenganmu. Sampai
tiba-tiba lampu di ruangan itu menyala satu persatu. Mengarahkan kita pada
sebuah jalan menuju gondola yang sedikit tampak berbeda. Perlahan. Kau
memapahku untuk masuk ke dalamnya. Beberapa lilin terpanjang rapih di
pinggiran. Gondola itu membawa kita
pergi. Sambil duduk aku bisa melihat
seluruh arena taman hiburan itu, termasuk laut.
“Indri..”
Panggilmu pelan ke telingaku.
“coba lihat ke bawah sana!”
Tunjukmu lagi sambil mengarahkan ku pada satu tempat.
Dibawah sana. Entah apa yang kulihat. Tapi jelas sekali itu membuatku
tak bisa berhenti menangis.
“terima kasih, ini indah sekali..”
Ujarku kemudian masih dengan kedua mata yang
berkaca-kaca. Kamu hanya tersenyum. Ketika ku arahkan kedua tanganku untuk
membelai wajahmu. Kemudian ku lihat diriku sendiri tanpa ragu mencium kening
wajahmu. Itu memalukan. Tapi sepertinya saat itu aku punya alasan untuk
melakukannya. Sebuah mimpi indah. Satu yang ku dapat.
Satu malam kemudian aku kembali bermimpi. Pagi setelah
kamu mengantarku pulang hari itu. aku yakinkan diriku bahwa kamu akan tetap
berada disini. Disisiku. Rasanya begitu nyata. Setiap hari. Aku teringat daun
yang berguguran dari jalanan rumah sakit. Kau tetap menemaniku.
Entah sudah mimpi keberapa. pagi itu seperti biasa.
Kamu datang ke rumahku, hanya untuk memeriksa keadaanku. Kali itu kulihat
diriku sudah tampak berubah. Aku ingat. Ketika aku menangis sendiri di depan
cermin kamar mandi. sambil mengenggam beberapa helai rambut yang rontok dari kepalaku.
Aku tak sehat saat itu. aku bahkan tak
menjawabmu ketika kamu menyapaku. Wajahmu tampak lelah. Sepintas kulihat raut
kesedihan disana. Kemudian kamu pergi.
Hari berlalu, aku tak melihatmu. Minggu berlalu. aku
tetap tak melihatmu. Kulihat betapa menyedihkannya diriku. Yang kulakukan hanya
duduk di sisi tempat tidur, sambil memandang keluar jendela. Entah apa yang aku tunggu.
Ku ingat daun yang berguguran dari jalanan rumah
sakit. Aku berjalan keluar dari ruang terapi. Ditemani seorang wanita yang
begitu setia memperhatikanku meskipun aku terus saja mengacuhkannya. Di lorong
sana. Dari jauh aku kembali melihatmu. Kau tampak lebih ceria. Bercengkrama
dengan seorang dokter lain diseberang lorong. Hingga tiba-tiba ku lihat kau
menyadari keberadaanku. Raut wajahmu kembali tampak lesu. Kita berpapasan
kemudian. Tapi hanya itu saja. sambil tertunduk kau lanjutkan lagi langkahmu.
Berusaha mengacuhkanku. Yang sedari awal tak mau memandangmu. Dan pergi.
Sakit. Aku pikir saat melihatnya. kenapa aku jadi seperti itu.
aku marah pada diriku sendiri.
Kini untuk bermimpi aku pun takut. Aku benci
kesendirian. Aku benci pada diriku sendiri. Aku lelah. aku ingin melihatmu. Dan
berkata aku mencintaimu. Meskipun itu hanya satu kali kesempatan saja.
* * *
Kala itu masih sepertiga malam, tapi tiba-tiba keadaan disana berubah
gaduh. Fira tampak histeris memanggil kakak laki-lakinya dari balik pintu kamar
mereka. Wajahnya pucat. Sesaat kemudian pintu terbuka. Kebetulan Farid juga
yang membukanya, dengan segera ia menarik lengan kakak laki-lakinya yang masih
tampak bingung itu ke arah kamar Indri. Fira tak berhenti menangis. tangannya
mulai gemetar. Di dalam kamar sepi. Hanya terdengar suara air mengalir dari
arah kamar mandi. sementara si pemilik kamar sudah tak sadarkan diri di dalam
sebuah bak mandi yang penuh dengan air yang menengelamkan dirinya. Basah dimana-mana. Segera mereka membawanya
pergi ke rumah sakit. tubuhnya sudah tampak membiru. Pertanda bahwa ia sudah
lama berada disana.
“jangan mati..aku mohon jangan mati!”
Panggil Fira lirih. Ia terus menangis. tangannya semakin gemetar. Ia
merangkul gadis itu dalam dekapannya. Badannya terasa dingin dan basah.
wajahnya biru. Entah ia sudah mati atau belum. Hingga mereka sampai di rumah
sakit. Sepi. Hanya ada 2 dokter yang berjaga disana. Di bantu Farid ketiganya
langsung melakukan pertolongan pertama. Sementara Fira yang masih tampak syok.
Hanya menangis sendu di balik pintu ruang UGD.
* * *
Ramai. Mungkin karena jam makan siang, semua pekerja restoran tampak
sibuk. Hari itu Arya datang bersama seorang teman. sudah lama, semenjak
terakhir kali ia datang kesana. seperti biasa keduanya duduk di salah satu meja
yang kosong. Sambil menunggu seorang pelayan menghampiri meja mereka. Keduanya
tampak sangat akrab dan asyik berbincang. Sampai tiba-tiba seorang pelayan
menyiramkan segelas air putih ke wajahnya.
Ia tertegun. Sambil melihat ke arahnya.
“apa yang kamu lakukan!”
Sentak seorang teman yang menemaninya pada pelayan itu. tapi ia tak menjawab.
Sambil masih terlihat kesal, sekali lagi ia mengambil gelas yang satunya
kemudian langsung menyiramkannya ke wajah pria itu. sontak semua orang yang
berada disana langsung memperhatikan mereka.
“pergi dari sini! Gw
nggak mau lihat muka lu disini!!”
Bentak pelayan itu yang tak lain adalah Ririn padanya. Begitu mendengar
kegaduhan, Danu yang juga manager di tempat itu langsung datang menghampiri
meja mereka.
“apa yang kamu
lakukan!”
Bentak Danu ikut memarahi gadis itu.
“kami minta maaf..”
Ujarnya lagi seraya berusaha membersihkan kedua wajah pelangannya yang
tampak sudah basah kuyup.
“sebaiknya kita pergi
saja..”
Ucap Arya yang tak mau memperpanjang masalah sambil mengajak rekan
kerjanya itu beranjak pergi. Ia kembali tampak murung. Sambil terus meminta
maaf pada rekan kerjanya itu, ia lajukan kembali kendaraannya. Kenapa semua
orang yang ia kenal tiba-tiba mulai memusuhinya begitu hubungannya dengan Indri
berakhir. Seolah menyalahkan dirinya
atas apa yang terjadi. Padahal itu juga bukan keinginannya. Mungkin. Kadang
kala ia sering mengeluh. menjadi pacar dari seorang penyakitan seperti Indri.
Pasti sangat melelahkan. Juga menyakitkan. Tapi dalam hati, ia tak pernah
bermaksud untuk mengakhiri semuanya. Semua terjadi begitu saja.
* * *
Bunyi peralatan medis terdengar mengalun dari ruang ICU. Indri masih
terbaring lengkap dengan kabel pendeteksi detak jantung, tekanan darah dan
beberapa selang alat bantu pernafasan yang menempel di hidung dan juga
tenggorokannya. Kedua matanya tampak tertutup rapat. Beberapa jam sekali
seorang dokter dan perawat datang untuk memantau keadaannya. Ia masih
terbaring. Dengan kedua mata tertutup. Sementara Fira memperhatikannya dari
balik jendela kaca di luar ruangan. Matanya masih tampak sebam. Ia masih terlihat
sangat terkejut.
“sebaiknya kita
pulang..”
Ajak Farid yang melihat gadis itu masih diam terpaku di luar ruangan.
Wajahnya tampak lusuh, Rambutnya berantakan, ia bahkan tak sadar bahwa ia masih
mengenakan pakaian tidurnya.
“gw mau disini..”
Jawabnya lesu.
“Kamu tidak mungkin diam disini terus, Lihat keadaanmu! Sudahlah tidak
perlu
khawatir! dia sudah tidak
apa-apa? Ada tim medis yang menjaganya 24 jam..”
ujar Farid lagi seraya membantunya beranjak.
“dia udah hampir mati!
Gimana gw bisa tenang??!!”
Bentak Fira yang tetap kukuh di tempatnya.
“lu nggak liat apa yang
gw liat! lu nggak liat apa yang gw liat! jadi lu nggak
mungkin ngerti!! Dia mau mati,
dia mau mati!!”
Ucapnya histeris sambil kembali berurai air mata.
“Fira..”
“dia coba buat bunuh
diri, Farid!..dia mau mati..”
Lirihnya kemudian.
* * *
pagi-pagi sekali Arya datang ke rumah seniornya Farid yang sekarang juga
jadi tempat tinggal Indri, sebelum ia berangkat praktek di rumah sakit. Itu
sudah jadi kebiasaannya. Sejak tahu bahwa Indri terkena leukimia. Ia datang
untuk menyapanya dan melihat kondisinya. setiap hari.
Setiap hari pula, ia selalu menyempatkan dirinya untuk menemani gadis
itu. semua waktu, tenaga, dan perasaannya ia curahkan untuknya. Segala yang
gadis itu inginkan, segala yang gadis itu butuhkan, dan segala yang bisa
membuat gadis itu merasa bahagia. Biar seberapa sulit, dan tidak
memungkinkannya itu ia selalu mengusahakan apa yang bisa ia lakukan untuknya.
Itu melelahkan. Tapi ia tak pernah mengeluh. Ia usahakan untuk tak
mengeluh. tak tahu seperti apa rasanya. Berada disamping orang yang kita
cintai. Dan ia beranjak sekarat. Melihatnya kesakitan. Dan seperti hendak mati.
Berpikir betapa kita mencintainya. Dan itu sangat besar. Sehingga ingin memilki.
Tak ingin kehilangan. Itu menyakitkan.
Tapi saat datang, dan melihatmu tersenyum menyapaku. Rasa sakit. Rasa
lelah itu jadi tak terlalu berarti. asal bisa melihatmu. Setiap hari. Itu sudah
cukup. meskipun bukan itu sepenuhnya
yang ku inginkan. Tapi ku biasakan diriku. Untuk mencintaimu seperti itu. meski
itupun masih terasa sulit.
Hingga pagi yang berbeda. Arya datang seperti biasa. Sebelum menyapanya.
Ia bercengkrama dengan beberapa orang lain disana. Dokter Farid dan istrinya,
ayahnya, Dion bahkan Fira. Semua masih seperti biasa. Sambil membawa beberapa
ikat bunga yang sudah mereka janjikan untuk ia bawa tiap kali datang kesana. Ia
duduk dan menyapanya mesra seperti biasa.
“bagaimana keadaanmu?”
Ujarnya sambil mencium kening Indri.
“hari ini kamu datang
terlambat!”
“kemarin ibu datang ke
rumah, karena aku harus mengantarnya pulang, jadi
tadi pagi aku berangkat dari
bekasi..”
jelasnya sambil mengelus kepala gadis itu. tapi seolah menghindar ia
hempaskan tangan itu dari kepalanya dengan wajah yang tampak malas.
“kenapa?kamu marah
karena aku datang terlambat?”
tanyanya sambil kembali berusaha mengelus kepala Indri. tapi di tepisnya
lagi lebih keras.
“aku cape, kamu pergi
saja..”
Usir Indri kemudian sambil berbaring membelakanginya.
“kenapa? Apa kamu tidak
enak badan?”
Tanyanya lagi, tapi gadis itu tetap tak bergeming.
“Apa terjadi sesuatu?”
Kembali Arya bertanya tapi tetap diacuhkannya. Dengan langkah gontai,
perlahan ia mulai beranjak dari duduknya, sembari meletakan buket bunga yang ia
bawa sebelumnya di samping tempat tidur gadis itu.
“aku pergi..”
Pamitnya saat ia mulai menutup pintu kamar gadis itu. tak seperti biasa.
Hari itu. dia bersikap begitu dingin. tapi Arya tak terlalu menganggapnya
serius. mungkin suasana hatinya memang sedang tak terlalu baik. itu sudah biasa
ia alami. Dalam masa - masa mereka bersama.
Pagi selanjutnya Arya datang lebih awal lagi. Masih tetap membawa bunga
yang biasa ia bawakan untuknya. Setelah menyapa beberapa orang disana ia
kembali beranjak masuk ke dalam kamar gadis itu.
“selamat pagi!
Bagaimana keadaanmu?”
Sapanya lagi sambil berusaha mencium kening gadis itu seperti biasa.
“hentikan itu!!”
Ucap gadis itu sambil berusaha menepis diri.
“sampai kapan kamu mau
seperti ini?”
Ucapnya lagi yang tak mau memandangnya sama sekali. Ia masih sama
seperti kemarin.
“apa kamu tidak bosan?
Setiap hari seperti ini?datang dan menemuiku seperti
ini, itu pasti mulai membosankan
untukmu, apa kamu tidak bosan? Aku saja
yang hanya duduk sudah mulai
merasa bosan..”
“aku tidak mengerti apa yang kamu katakan..”
“sampai kapan kita mau seperti ini?untuk apa kamu
terus datang menemuiku?
menemaniku?bersikap begitu baik padaku?apa yang kamu harap bisa aku
lakukan
untukmu..sampai kamu terus seperti ini?”
“aku tidak pernah punya
maksud apa-apa terhadapmu, aku hanya ingin
membuatmu merasa lebih baik..”
“apa aku terlihat begitu kasihan?sampai kamu merasa bertanggung jawab
untuk
membuatku merasa lebih baik?”
“kenapa kamu bicara seperti itu?!”
“siapa kamu sampai harus merasa begitu bertanggung
jawab terhadapku!!”
Bentak Indri keras. Sambil tetap memalingkan wajahnya.
“kenapa kamu seperti
ini?apa yang terjadi?”
Tanya Arya yang kembali berusaha menenangkan suasana pertengkaran mereka
seraya membelai rambutnya.
“pasti ada yang terjadi sampai kamu bersikap seperti
ini?Katakan padaku ada
apa?”
“jauhkan tanganmu!!”
Bentak gadis itu lebih kasar lagi sambil kembali menepis tangan Arya.
“sudah ku katakan
berhenti bersikap terlalu baik padaku!!!”
“aku tidak mengerti apa
yang harus aku lakukan terhadapmu, kenapa selalu
seperti ini?setiap hari selalu
berubah, selalu tak jelas!!”
Balas Arya yang mulai tersulut
emosinya.
“apa yang harus aku
lakukan terhadapmu? Seperti apa aku harus bersikap
terhadapmu? Apa yang harus aku
lakukan sampai bisa meyakinkanmu!!kamu
tahu, seberapa
berat beban yang aku rasakan ketika bersamamu?!betapa aku
tidak sanggup
melihatmu menderita dan kesakitan seperti ini?takut bahwa
besok aku
mungkin tidak bisa melihatmu lagi? apa kamu tahu itu?!”
keluhnya kemudian.
“kamu membuatmu lelah..”
Sepi. Keduanya tak melanjutkan lagi pertengkaran mereka. kala itu bahkan
mataharipun belum terlalu terik. Tapi, suasana disana malah terasa panas.
Sambil tetap memalingkan wajahnya dari pria itu. ia tampak melamun, memandang
keluar jendela kamarnya.
“kita akhiri saja..”
Usul Indri terdengar lirih.
“jika itu membuatmu
lelah, kita akhiri saja..”
Arya masih tertegun di tempatnya, begitu ia mendengar ucapan gadis itu.
hari dimana ia dicampakan begitu saja untuk yang kedua kalinya.
* * *
Kesendirian itu kembali menyelimutinya. Setiap hari
rasanya seperti ada yang kosong. Cinta melemahkanku. Tak ada yang berjalan baik
setelah kita berpisah. Aku bahkan tak tahu harus seperti apa untuk
menghilangkanmu dari ingatanku. Apapun yang aku lakukan. maka kamu ada disitu.
Kemanapun aku pergi. Aku terus mencarimu. Sulit untukku menerima keadaan ini.
Biarpun aku seorang laki-laki. Hatiku tak pernah menjadi lebih baik saat aku memikirkanmu.
Andai kamu mendengarnya. Mungkin seperti itu. apa yang ingin aku katakan. Mungkin seperti itu.
hidupku kini berjalan.
Sampai semuanya berubah. Satu hal yang sangat terlambat
aku ketahui. Hari dimana. Aku terus menyibukan diriku. Berusaha melupakanmu.
Arya masih tertegun tak percaya begitu ia melihat wanita itu berdiri di
depan pintu rumahnya.
“mau minum apa?”
“apa saja..”
“kalau begitu tunggu
sebentar..”
Ujarnya seraya beranjak menuju dapur. Hari itu bahkan bukan hari libur,
tapi ia tampak begitu lusuh. Sambil mengenakan pakaian santai. Ia kembali ke
ruang tamu dengan dua gelas air putih di tangannya.
“silahkan..”
Suguhnya.
“terima kasih, lama
tidak bertemu?”
Sapa Ine sambil tersenyum kearahnya.
“iya, bagaimana kabar disana?”
“kami baik, hanya saja..ada hal yang harus saya sampaikan padamu, ini
masalah
Indri..”
raut wajah pria itu tampak berubah ketika mendengar namanya disebut.
“sebenarnya saya juga
ragu, apa perlu memberitahumu atau tidak? Tapi kalau
saya diamkan terus seperti ini,
selamanya akan ada salahpaham diantara
kalian! Saya tahu itu bukan hak
saya untuk ikut campur, apalagi kalian sudah
berpisah, saya lakukan ini semata-mata
karena saya peduli pada Indri..”
Ujar Ine terdengar berbelit-belit.
“katakan saja apa yang
mau anda sampaikan..”
“saya tidak tahu harus
mulai darimana?”
“tidak apa-apa, mulai saja darimanapun yang anda mau..”
“entah ini ada hubungannya atau tidak? Tapi dua hari
sebelum kalian berpisah,
ada seorang
wanita yang datang menemui Indri..dan dari apa yang
dikatakannya
saya bisa menyimpulkan kalau wanita itu adalah Ibu kamu..”
“ibu
saya?”
“iya, mungkin terdengar
lancang! Tapi saya tidak sengaja mendengarkan
pembicaraan mereka waktu itu..”
pagi beberapa saat setelah Arya berpamitan dari rumah Farid, tiba-tiba
seseorang lain mengetuk kembali pintu kamarnya. ia berdiri di depan pintu
kamarnya sambil membawa sekeranjang buahan-buahan di tangannya.
“tante?”
“apa kabar? apa saya
menganggumu?”
Sapa wanita setengah baya itu sembari menghampirinya.
“tidak, tadi Arya baru
saja dari sini..apa tante berpapasan dengannya?”
“saya tahu, tapi kami
tidak berpapasan.. bagaimana keadaanmu? Sepertinya
tidak terlalu baik?”
“seperti yang tante
lihat, maaf karena saya menyambut tante dengan keadaan
seperti ini, dan yang waktu itu
karena saya pergi tanpa berpamitan terlebih
dahulu, saya benar-benar minta
maaf..”
Ujar Indri kembali kikuk tiap ia bertemu dengan Ibu pria itu.
“sudahlah, tidak
apa-apa! Oh iya! Saya bawa beberapa buah-buahan untukmu
terimalah!”
“terima kasih!”
“sama-sama..”
Keduanya hanya tersenyum. Sepi kemudian. Sampai wanita setengah baya itu
mulai berbicara lagi.
“kamu tahu Indri? anak
saya sangat menyukaimu, belum pernah saya
melihatnya seperti ini menyukai
seseorang, dia bahkan rela mengorbankan
kepentingan pribadinya hanya untuk membuatmu merasa
senang..”
“dia memang orang yang
sangat baik! itu juga yang membuat saya
begitu
menyukainya..”
Jawab Indri yang terlihat tersipu mendengar kata-kata dari wanita yang
paling dihormati Arya itu.
“iya, dia memang
seperti itu! selalu ingin menolong orang lain sampai-sampai ia
lupa dengan dirinya sendiri..dia
sangat mirip ayahnya! Tapi, sebagai orang tua
saya merasa khawatir!”
Ujar wanita itu sedikit berbeda.
“kamu tahu Indri?anak
saya terlalu mencintaimu, sampai-sampai dia lupa
dengan dirinya sendiri, dia
lemah soal yang satu ini! dia bahkan rela
menghancurkan kehidupannya hanya
untuk bersama denganmu..”
“maksud tante apa?”
Tanyanya tak mengerti.
“apa kamu tidak tahu?
Hanya untuk menemanimu setiap hari ia bahkan tak
masuk kerja, surat peringatan dari kepala rumah
sakit bahkan tak lebih penting
dari jadwal minum obatmu! dulu
saya pikir kamu adalah orang yang tepat
untuk anak saya, tapi Indri,
sekarang kita harus hadapi kenyataannya!
kebahagian seperti apa yang bisa
kamu janjikan untuknya dengan
keadaanmu yang seperti ini?
berhentilah membohongi diri sendiri, Mungkin ini
terdengar kejam tapi kalian
tidak punya masa depan!”
jelasnya panjang lebar, seraya membelai rambut gadis itu.
“tidak seperti itu tante,
tidak seperti itu! Kami masih punya masa depan! Asal
saya dapat donor sumsum tulang
belakang yang cocok, dan operasinya
berhasil? Kami masih punya
harapan..”
Jawab Indri sambil terisak.
“sampai kapan dia harus
menunggu?kita tahu bahwa donor sumsum tulang itu
sulit! Kalaupun ada kalian tetap
tidak bisa hidup normal? Donor itu hanya
membantu perawatanmu, sampai
kapanpun tidak ada yang namanya
kesembuhan untuk penderita
leukimia! jangan seperti ini Indri, apa kamu tidak
kasihan padanya? Selamanya kamu
hanya akan menjadi beban di hidupnya?
Apa kamu mau seperti itu?”
“tolong beri saya
kesempatan!”
Pintanya makin memelas.
“saya harus pergi, jaga
diri kamu baik-baik..”
Pamit wanita itu begitu saja tanpa memperdulikan permintaan Indri. air
mukanya datar. Seolah tak merasa bersalah atas apa yang baru ia katakan. Yang
ia yakini dalam hati. Hanya itu yang terbaik untuk putranya.
Sepi kemudian, setelah selesai
menyampaikan perkara Indri padanya. Ine langsung bergegas pulang ke rumah.
Ketika ia pergi. Dan memberitahuku tentang keadaan
terakhirmu. Saat itu aku marah pada diriku sendiri dan juga padamu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak tahu,
harus seperti apa aku memulai atau mungkin mengakhirinya. Aku ragu. Ku takut
apa yang ku dengar darinya adalah suatu kenyataan. bahwa kamu meninggalkanku
karena satu hal itu. Bagaimana aku
berani menemuimu. Aku tak punya muka. Bahkan saat aku ingin sekali
melihatmu. rasa takutku lebih besar dari itu. mungkin aku terlalu pengecut.
* * *
Mimpi itu kembali membangunkanku
Saat dimana aku bersamamu
Semua tempat yang kita lalui
Persimpangan jalan
Daun cemara di pagar rumahku
tak ada yang membuatku lupa
apa yang kamu lakukan sekarang
lebih bahagiakah ketika tidak bersamaku
perih bila kupikirkan itu
airmataku jatuh
bahkan hanya dengan mendengar namamu
apa yang kamu lakukan sekarang
aku mengingatmu
bersama hembusan nafasku
aku mengingatmu
bersama setiap kedipan mataku
aku mengingatmu
sampai rasanya melihatmu saja itu mulai tak cukup
mimpi itu kembali membangunkanku
saat dimana aku pergi menjauh
karena kebodohanku
perih bila kupikirkan itu
airmataku kembali jatuh
bahkan hanya dengan mengingatnya
* * *
Senja di pesisiran, dengan langkah gontai ia berjalan menikmati angin
semilir kala itu. suasana pendamaian, untuk jiwanya yang semakin terasa
resah. Ia habiskan waktunya dengan
selimutan penyesalan. Terus berpikir tentang apa yang terjadi, seperti apa, batinnya
berkecamuk hebat.
ia teringat kala itu tengah malam. Ia berlari menuju rumah sakit karena
Ine diam-diam menghubunginya lagi. Dia
berkata bahwa gadis itu, tak bisa sadarkan diri. ia koma, setelah mengalami
kejang hebat. sambil terengah-engah dilihatnya dari balik pintu ruang ICU,
gadis itu makin terbaring lemas, kedua matanya tertutup rapat. Arya hanya bisa menunggu di luaran lorong.
Karena Fira yang terus melarangnya bertemu dengan gadis itu. entah apa yang
membuatnya begitu benci. Hingga bahkan untuk mendekatinya saja ia tak
diijinkan. Arya menghela nafas dalam.
Sambil berjalan menikmati angin semilir di pesisiran, ia kembali menuju
sebuah villa dekat tebing laut. Sepi, hanya dirinya seorang yang tengah sibuk
menyiapkan sebuah obat pada jarum suntik. Ia berjalan menaiki anak tangga villa
itu dan masuk pada satu kamar tidur. disana terbaring si gadis, dengan kedua
mata yang masih tertutup rapat, wajah sayunya pucat pasi. Ia terbaring seperti
putri tidur di dogeng - dogeng. Diam, tak terusik. Wajahnya tenang. Dengan
hati-hati Arya masukan obat yang sudah ia persiapkan sebelumnya pada satu
selang infus. Wajahnya masih tetap tenang. Tak tampak kesakitan disana.
Angin semilir makin berhembus kencang, hingga bunyi jendela kaca yang
ditiupnya kedengaran. Ia duduk disamping tubuh gadis itu. sembari membelai
kepalanya perlahan. Ia baringkan juga tubuhnya disamping si gadis.
“apa yang kamu mimpikan
sampai kamu tidak ingin bangun, Indri?”
Tanyanya pada gadis itu yang jelas tak bisa lagi menjawabnya. Kedua
matanya kembali tampak basah. Senja itu. Arya pergi dengan membawa Indri
bersamanya. Ke sebuah villa kecil di pinggiran tebing laut. Atas keinginannya
sendiri, diam-diam ia bawa gadis itu yang masih terbaring koma di rumah sakit.
Satu tindakan yang begitu nekad yang pernah ia lakukan atas nama cinta. Entah
ini benar atau tidak, ia tak peduli. Saat itu, andai keduanya bisa seperti itu
selamanya. Bukan masalah. Tak peduli seperti apa perasaan orang yang
ditinggalkan, ini hanya untuk mereka. Untuk gadis itu dan juga untuknya.
Gaduh disekitaran, Fira yang akhirnya menyadari ketidakberadaan adiknya
di bangsal rumah sakit itu langsung berteriak panik. Ia terus saja berujar
keras memaki seorang perawat dan petugas keamanan di rumah sakit itu.
“bagaimana rumah sakit
sebesar ini bisa tidak tahu, kalau ada pasien yang di
bawa lari keluar? rumah sakit
macam apa ini! ngurusin satu pasien aja nggak
becus!!”
Bentaknya sembari menunjuk salah satu muka petugas keamanan disana.
Farid yang baru datang setelah dihubungi Ine langsung berusaha melerai amarah
Fira yang membludak tak terkendali. adiknya itu terlihat begitu gusar saat
mengetahui bahwa Indri sudah di bawa lari seseorang.
“sebaiknya kamu tenang,
marah tidak menyelesaikan apapun!”
“gimana gw bisa tenang?
Indri itu hilang, dia koma! jadi nggak mungkin dia
pergi sendiri, kalau bukan ada yang bawa dia?!!”
“aku tahu!! Memangnya kamu saja yang khawatir? Aku juga kakaknya! Tapi
bukan seperti ini? sebaiknya
kita cari dia dulu mungkin saja mereka belum
terlalu jauh?”
ujarnya yang ikut terlihat panik.
keduanya kemudian pergi mencari di sekitaran rumah sakit bersama
beberapa petugas yang berada disana. Tapi tak ada hasil. Sementara Ine begitu
terlihat gugup sembari terus berusaha menghubungi seseorang. Ia kelimpungan.
Karena yang coba dihubungi tak jua menjawab panggilannya. hingga rasa lelah
mendera. Dan senja berlalu. Fira yang sudah tampak putus asa hanya bisa
mengeluh di dalam bangsal rumah sakit yang kini tampak kosong.
“kita mesti cari kemana
lagi?”
Eluhnya sembari mulai menangis.
“aku juga tidak tahu,
kira-kira siapa yang membawa Indri pergi?”
Tanya Farid kala itu yang juga masih terlihat lelah. sementara Ine yang
dari awal tampak sibuk menghubungi seseorang makin terlihat gugup.
“kamu telepon siapa
dek?”
Tanya Farid kemudian yang melihat istrinya itu bersikap aneh. Tapi Ine hanya mengelak. Sambil berjalan
keluar ruangan. Ia kembali coba menghubungi nomor Arya. tetap saja. yang ia
dengar hanya suara operator telepon. Ia
makin terlihat gusar. Juga bingung. Ia yakin dalam hati bahwa Arya lah yang
sudah pasti membawa Indri pergi dari rumah sakit, tapi bagaimana ia memberitahu
mereka tentang hal itu. ia terlalu takut, terutama pada Fira, gadis itu pasti
akan sangat marah jika ia mengetahui
kebenarannya.
* * *
Tiga hari berlalu, Arya masih tetap saja seperti itu. Setiap hari, yang
ia lakukan hanya diam di villa sewaan pinggir tebing laut . Sendiri. berusaha
merawat gadis itu yang tak juga mau
bangun. Ia tidak biarakan siapapun
menganggunya, tidak juga memberi kabar. cinta melemahkannya juga membutakannya. Setiap hari batinnya terus
berkecamuk hebat. salah atau tidak. Ia tak tahu. Ia paksakan dirinya untuk tak
peduli, dan menjadi seorang yang egois. Tapi itu juga terus menganggunya.
Hingga hari tak terduga itu tiba, saat seperti biasa, ia sibuk
menyiapkan satu obat pada sebuah jarum suntik. Dan berjalan menaiki anak tangga
menuju satu kamar tidur yang sama. satu yang berbeda, hingga ia tampak tertegun
di depan pintu kamar, hingga jarum suntik yang sedari tadi digenggamnya
tiba-tiba terlepas begitu saja. entah bahagia atau apa. Ia berlari menghampiri
si gadis yang kini sudah membuka kedua matanya.
“Indri..”
Panggilnya sembari mendekati tempat tidur. mata gadis itu sudah terbuka
tapi ia masih tampak bingung dengan keadaan sekitarnya. Arya yang kini mulai
sibuk memeriksa kondisinya pasca koma, hanya bisa menghela nafas sambil tak
berhenti mengucap syukur. Ia bahkan tak bisa mengontrol airmatanya yang tak
sengaja keluar begitu saja.
Sungguh bagaikan sebuah mukjizat, Indri sadar dengan kondisi yang jauh
lebih stabil dari sebelumnya, bahkan tak butuh waktu lama. Ia sudah bisa minum,
atau sekedar duduk bersandar diatas tempat tidurnya.
“ aku pikir, aku tidak
akan pernah bisa melihatmu membuka mata seperti ini
lagi?”
Ujar Arya padanya, sembari sibuk menyuntikan satu obat pada selang
infus. Sementara Indri hanya duduk sambil memperhatikannya, ia tak bicara. dan
hanya duduk sembari memperhatikan pria itu dengan kedua mata sayunya.
“aku minta maaf..
seharusnya aku tak pergi begitu saja, harusnya aku..tak
langsung mengiyakan semua
keinginanmu saat itu! saat itu aku terlalu lelah?
aku tak bisa
menangkap semua maksudmu!”
Ujar pria itu lagi seraya duduk di samping tempat tidurnya.
“tolong maafkan ibuku, maafkan semua perkataannya yang mungkin sudah
menyakitimu, ia pasti punya
alasan untuk melakukannya, aku mohon
kebesaran hatimu untuk memaklumi
dan memaafkannya..”
Ujarnya lagi seraya membelai kepala Indri yang masih diam tak bergeming
sambil tak berhenti memandang kearahnya.
“aku berjanji,
selamanya aku akan berada disisimu..”
Ujarnya semakin lekat sembari terus membelai kepala gadis itu.
“Arya..”
“hmmm??”
“aku mau pulang..”
Ucap gadis itu tak terduga, bahkan setelah ia sadar dari koma kata yang
ia ucapkan pertama kali adalah keinginannya untuk pulang.
“aku harus pulang?
Tolong antarkan aku..”
Pintanya begitu sangat, dengan suara sayu.
“tentu, aku akan membawamu pulang..”
Jawabnya berat. tapi apa yang
bisa ia lakukan lagi. Selain menuruti
keinginan gadis itu. tak lama, setelah Arya mengembalikan kunci villa pada
pemiliknya merekapun langsung bergegas pergi meninggalkan tempat itu. di
sepanjang perjalanan Indri tampak diam, yang ia lakukan hanya memandang keluar
jendela mobil, mata lelahnya tampak sibuk memikirkan sesuatu.
Dan ketika keduanya tiba di rumah Farid, alangkah terkejutnya keluarga
itu. Tak tahu harus senang atau marah awalnya. Mereka terlalu sibuk melihat
kondisi Indri yang datang dengan keadaan berbeda. Ine dan juga Ayahnya,
langsung membawa putri bungsu di keluarganya itu masuk kedalam kamar. Sementara
Farid tampak sibuk berbincang dengan Arya di teras depan rumah mereka.
“Buggg!!!”
Tanpa basa-basi tiba-tiba sebuah kepalan tangan mendarat keras di wajah
sebelah kiri Arya, Farid yang juga seniornya itu tampak begitu kesal atas
keputusan sepihak yang dibuatnya. Sehingga tanpa pikir panjang ia langsung saja
melampiaskan emosinya saat itu.
“maaf karena saya harus
melakukan itu! tapi tindakanmu ini benar-benar sudah
keterlaluan!!”
Maafnya kemudian sambil masih terlihat kesal.
“kamu tahu betapa kami
sangat mengkhawatirkannya? Kenapa kamu
melakukan tindakan sepihak ini
tanpa memandang kami keluarganya?apa
kami tidak punya wewenang atas
Indri? apa menurutmu hanya kamu saja
yang bisa menjaganya begitu
baik? sehingga kamu membawanya pergi
seperti ini, huh?”
bentaknya lagi kemudian.
“saya tahu, bahwa kamu
benar - benar ingin menjaganya! tapi bukan dengan
tindakan pengecut seperti ini!”
“saya minta maaf..”
“untung kami belum
melaporkanmu ke kantor polisi..”
“saya minta maaf..”
“sudahlah! Percuma
memberitahumu! yang penting Indri sudah kembali,
sebaiknya kamu
pulang sekarang sebelum Fira datang dan melihatmu..”
“saya akan datang lagi
besok!”
Pamit Arya sambil beranjak. Mungkin karena masih merasa kesal atau apa,
Farid hanya langsung menutup pintu rumahnya tanpa memperdulikan ucapan
juniornya itu. ia lalu bergegas menghampiri Indri yang sudah tampak duduk
bersandar di tempat tidurnya di temani Ine juga ayah mereka.
“bagaimana keadaanmu?
Tidak terjadi sesuatu saat disana kan?”
Tanya Farid cemas sembari menghampiri ketiganya. Gadis itu hanya
menggelengkan kepalanya kemudian kembali tampak diam.
“ada apa?”
Tanyanya lagi pada istri juga ayahnya yang tak mengerti dengan suasana
disana. Tapi tiba-tiba Istrinya itu langsung menarik tangannya sambil berjalan
keluar kamar, meninggalkan Indri dan ayahnya disana.
“ada apa?”
Tanya Farid lagi, begitu keduanya sudah berada diluar kamar gadis itu.
“kita tunggu saja
giliran kita..”
Ujar Ine kemudian.
Indri tampak diam saat Ine dan juga ayahnya memapahnya masuk ke dalam
kamar. Dia katakan pada kedua orang itu, bahwa ia ingin bicara satu persatu
dengan mereka. Seperti wasiat atau apa. Itu sulit dimengerti. Ia hanya diam dan
meminta satu diantara mereka untuk keluar dan menunggu giliran sampai yang
satunya lagi keluar dari ruangan itu.
Hening beberapa waktu, Indri dan ayahnya hanya diam tanpa membicarakan
apapun.
“kamu tahu, betapa
menderitanya ibuku saat kamu meninggalkan kami begitu
saja? aku masih ingat malam
dimana aku mengejarmu dan memintamu untuk
tidak pergi?tapi bahkan wajahmu
saja tidak aku lihat saat itu..”
Ucap gadis itu memulai pembicaraan mereka.
“aku tak tahu seperti
apa rasanya? Tapi aku yakin itu pasti sangat menyakitkan
untuknya karena harus mengurus
kami dan juga anak harammu dengan jerih
payah yang tak pernah ia lakukan
sebelumnya?dimana kamu saat itu?”
“Indri..”
Panggil pria tua itu seraya berusaha memberi penjelasan.
“diam, dan dengarkan
saja! aku tak mau mendengar apapun darimu,
dengarkan saja apa yang ingin
aku katakan padamu..”
potongnya lagi.
“saat ibuku mati bunuh diri, melihatnya sendiri tergantung tak bernyawa
di
dalam kamarnya,kamu tahu seperti
apa rasanya? aku baru 19 tahun saat ibuku
mati, saat itu aku harus
bersekolah sambil mencari uang, mengurus adik dan
juga kakakku yang selalu membuat
masalah?tiap hari selalu ada rentenir yang
menagih hutang pada kami, jika
aku punya uang mereka akan pergi sambil
meninggalkan barang-barang kami
yang berserakan di luar rumah.. Jika aku
punya uang
saja mereka berlaku seperti itu?menurutmu apa yang bisa mereka
lakukan jika
aku tidak punya uang? mereka memukuliku sampai mereka
merasa puas!!
Dimana kamu saat itu?”
Ujarnya lirih.
“aku selalu berharap
ada hari dimana kamu datang dan mengetuk pintu rumah
kami?berkata bahwa semuanya akan
baik-baik saja, karena kamu sudah ada
disini! tak akan meninggalkan
kami, Tak akan membuat kami kesusahan, tak
akan membuat kami menderita
lagi..tapi itu cuma harapanku saja, karena
kenyataannya kamu tak pernah
datang! apa kamu tahu seperti apa rasanya?!
Kamu tidak akanpernah tahu, karena kamu tidak merasakannya..”
“maafkan
aku..aku memang berdosa, aku bukan ayah yang baik untuk kalian..”
Jawab Pria tua itu sambil menangis sendu, ia tundukan kepalanya begitu
dalam, merasa malu pada dirinya sendiri.
“aku
ingin memaafkanmu, tapi..itu sulit ayah..”
Ujarnya makin lirih.
“harus seperti apa aku
memaafkanmu, aku tidak tahu..”
Dengan kedua mata yang masih berlinang, pria tua itu keluar dari kamar
Indri, ia tampak tertunduk sambil tak berhenti menghapus basah di kedua pelupuk
matanya. Sambil bersandar di kursi ia rebahkan dirinya disana.
“ada apa?”
Tanya Farid yang melihat orang tuanya keluar sambil menangis sendu.
“masuklah, dia ingin
bicara denganmu juga..”
Ujar pria itu sambil menepuk pundak Farid seraya menyuruhnya masuk
kedalam kamar gadis itu. saat masuk, tak
banyak yang dikatakan Indri pada Farid, selain menyangkut ibunya, ia hanya
menyampaikan rasa terima kasihnya karena ia sudah begitu baik mau membiayai semua biaya pengobatannya selama ini.
hingga tiba giliran Ine, wanita itu tampak sedikit sungkan untuk masuk
kesana, ia benar-benar tak tahu apa yang hendak dikatakan gadis itu padanya.
Sambil sedikit gemetar ia buka pintu kamar itu, kemudian berjalan
mendekatinya. Hening. Indri masih tampak
diam, sambil memandang keluar jendela kamarnya.
sampai tiba-tiba entah kenapa gadis itu mulai menangis lirih.
“selama ini aku selalu
marah pada Tuhan, kenapa membuat hidupku
jadi begitu
menderita, apa salahku sampai
hidupku jadi sebegitu sulitnya?aku tak percaya
pada-Nya, semakin Ia terus
mempersulit hidupku semakin aku membenci-Nya..
aku sangat membenci-Nya! Mungkin
karena itu Tuhan marah padaku..karena
aku begitu membenci-Nya..jadi
Tuhan marah padaku..dan menghukumku
seperti ini..”
“tidak seperti itu,
Indri! Tuhan tidak pernah membenci umat-Nya.. Ia
menyayangimu karena
itu Ia memberimu sakit, agar karena sakit itu kamu bisa
lebih dekat
dengan-Nya..”
Jelas Ine segera pada gadis itu.
“benarkah seperti itu?
tapi aku adalah orang yang begitu membenci-Nya?
bagaimana Ia bisa
menyayangiku?mana mungkin Ia mau menerimaku? Aku
takut! aku takut mati, aku takut
bertemu dengan-Nya? Aku takut Ia tak mau
menerimaku, apa yang harus aku
katakan saat aku menemui-Nya nanti? Aku
tidak tahu?”
Ucapnya sendu sambil terus menangis.
“Tuhan tidak seperti
itu Indri, jangan berprasangka buruk terhadap-Nya? Ia
meyayangimu, Ia menyayangi tiap
umat-Nya, Tuhan itu maha pengasih..kalau
Iamembencimu? Mana mungkin Ia
menghidupkanmu? Mana mungkin Ia
menjagamu? rizki yang kamu
terima, setiap udara yang kamu hirup, setiap tetes
air yang kamu minum? Itu bukti
kasih sayang-Nya! Jangan berprasangka buruk
terhadap-Nya Indri, Tuhan tidak
suka..”
“Ine..”
Panggil gadis itu seraya menatapnya dalam.
“apa kamu mau
membantuku? Aku ingin sembahyang..”
Pintanya kemudian penuh pengharapan.
Meskipun Ine berkata bahwa ia bisa bersuci dengan tayamum, tapi ia tetap paksakan dirinya untuk berwudhu
dengan air di kamar mandi walaupun dengan sedikit tertatih - tatih. Sambil mengenakan mukena milik kakak iparnya
itu ia mulai melaksanakan shalat Isya. 4 raka’at. Ia jalani dengan posisi
duduk. airmatanya mengalir deras. tiba-tiba ia merasa begitu tenang. Ketenangan
yang entah datang dari mana. Ketenangan yang membuat semua beban itu lepas
begitu saja. Penyesalan teramat dalam
langsung menyeruak di kalbunya. Kenapa tak sedari dulu, ia seperti ini.
* * *
Hari terus berlalu, entah sudah berapa lama. semua berjalan lebih baik,
meskipun kondisi kesehatannya tak terlalu berkembang banyak. Indri tampak lebih
bercahaya dengan hijab yang ia kenakan. Setiap hari selama 5 waktu ia minta Ine
untuk membantu dan menemaninya melaksanakan sembahyang. Ia bahkan tampak lebih
tenang dari sebelumnya.
Meskipun sulit, tapi sedikit demi sedikit ia juga mulai membangun
hubungan yang lebih baik dengan ayahnya. Kadang
mereka berdua pergi ke rumah sakit untuk menemaninya menjalani terapi.
Tak ada yang terlambat, meskipun hal itu dimulai dengan sangat lambat.
Perlahan. Keluarga yang di dambakan kakak sulungnya itu mulai terbangun.
Meskipun selalu ada saat sulit. Terutama saat kondisi Indri mulai naik turun,
bolak-balik rumah sakit rumah sudah jadi hal yang biasa. Biaya pengobatan yang
terus membesar hingga Farid harus menjual mobil keluarga miliknya. Itu tak
membuat hubungan keluarga mereka jadi kembali memburuk, entah kenapa justru
hal-hal seperti itu yang membuat mereka jauh lebih dekat lagi. Lebih mengerti
satu sama lain. Lebih menghormati dan menyayangi satu sama lain.
Pagi di rumah sakit. Sudah hampir satu minggu Indri di rawat disana,
karena sel-sel kanker leukimia yang sudah menjalar ke hati juga limpanya, sakit. Kadang perutnya
membesar bahkan seperti wanita hamil. Kondisinya tak selalu stabil. Ada saat
dimana ia merasa bahwa Tuhan sudah menginginkannya untuk pergi, dan kematian
seperti satu hal yang jadi kemungkinan pertama.
Tapi Tuhan begitu punya banyak rencana, lakon manusia harus tetap
berjalan selama Ia masih menghendakinya. Semua belum berakhir sampai disitu.
Hingga fase paling kritis pun, saat ia sudah harus masuk ruang ICU untuk
yang kesekian kali. bahkan kali ini dokter yang menanganinya sudah berkata
bahwa mungkin itu adalah jam – jam paling riskan untuk kelangsungan hidupnya.
Satu hal yang tak terduga bisa ia alami di hidupnya yang sudah sedemikian
berliku. sebuah kebahagian kecil yang sedikitnya melengkapi kisah di hidupnya. Hari dimana Arya datang dan
melamarnya. Sebuah lamaran sederhana. Atau mungkin bukan.
Pria itu datang sambil mengenakan pakaian yang sering digunakan banyak
orang untuk masuk ke dalam ruang ICU, ia berjalan sendiri. Menghampiri Indri
yang memang kala itu tengah dirawat disana. Sambil duduk di samping tempatnya
terbaring. Ia ucapkan beberapa kata yang samar terdengar karena suara peralatan
medis disana.
“ aku ingin
mengatakannya hari ini, sebelum itu menjadi terlambat.. kamu tahu
indri?aku pernah menyelamatkan
seorang wanita yang hampir mati karena
kehabisan darah,
aku..menyelamatkan seorang pria dari 27 luka tusukan di
sekujur badannya, tapi
sekarang...hari ini...aku ingin menyelamatkan seorang
pria yang tengah jatuh cinta,
aku tahu ini mungkin terlambat..tapi aku mohon
tolong terima ini..”
Ujar Pria itu, sambil menunjukan sebuah cincin.
“ijinkan aku, aku tahu
itu akan sangat sulit untuk kita, terutama untukku.. tapi itu
lebih baik, dari pada aku harus
merasa menyesal karena tak melakukannya..
aku mohon Indri, menikahlah
denganku..”
Sebuah lamaran sederhana. Sangat sederhana. seperti
itu ia melamarku. tak ada yang bisa aku lakukan selain menerimanya. Sebagai
seorang wanita. Hari itu. tak ada yang lebih membahagiakan lagi. Apa yang bisa
aku minta lebih pada Tuhan. Aku sudah merasa cukup. bahkan jika kebahagian itu
hanya berlangsung satu waktu itu saja. aku sudah merasa cukup.
Tak lama dari proses lamaran yang begitu sederhana. Beberapa jam
kemudian. Acara pernikahanpun di gelar. Masih di tempat yang sama. Ruang ICU
tempatnya di rawat. Karena kondisinya
yang masih kritis. Mereka tak punya banyak waktu untuk mengulur satu hal itu
terlalu lama. sebelumnya Arya memang
sudah memberitahu keluarganya maupun keluarga Indri tentang niatannya itu. tak
ada masalah, dengan ketulusan hati restu
mereka mengalir begitu saja.
Ijab kabul di laksanakan di dalam tempatnya terbaring, tak banyak orang
disana hanya ada Arya, ayahnya, dua orang saksi yang tak lain adalah petugas
ruang ICU tempatnya dirawat dan seorang penghulu. Sementara beberapa yang lain
seperti Fira, Farid juga ibu dan keluarga Arya menyaksikan proses itu diluar
ruangan lewat jendela kaca.
Sebuah pernikahan. Yang terkesan dipaksakan. Karena keadaan yang memang
tak memungkinkan. Tak ada satu orang perempuanpun yang memimpikan menikah dalam
keadaan seperti ini. tanpa riasan, tanpa baju pengantin, ataupun acara suka
ria. Semua berjalan begitu sederhana. Tapi bagi Indri itu sudah cukup
membahagiakannya. Meskipun ia tak bisa mengatakannya. Itu sudah terpancar jelas
di sudut matanya, yang kembali berlinang saat pria itu mencium keningnya sesaat
setelah ijab kabul selesai. Sebuah mimpi
yang awalnya tak pernah ia pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebahagian kecil
di tengah kisah hidupnya yang penuh liku.
* * *
Senja
itu, untuk pertama kali setelah hari-hari penuh kebimbangan di rumah sakit.
Keduanya berjalan berdampingan menuju satu tempat yang pernah mendekatkan mereka. Tak asing. Sambil
tak berhenti tersenyum. Ia papah Istrinya masuk ke dalam sana.
“selamat datang
di rumah..”
Ujar
pria itu sembari tetap mengenggam lengan Indri erat.
“sudah lama rasanya, aku pikir aku
tidak akan pernah bisa datang lagi kemari?”
“siapa bilang? Buktinya hari ini,
kita berdua ada disini!”
Jawabnya
sambil sedikit memasang wajah jenaka.
Keduanya kemudian berjalan menuju halaman belakang rumah mereka. Sambil
tetap berpegangan tangan satu sama lain. Arya memapah Indri untuk duduk di sebuah dipan kayu,
menghadap nihontein belakang rumah itu, sepi hanya ada bunyi gemericik air yang
turun dari sekitaran taman. Kebetulan hari itu hujan masih turun meskipun tak
terlalu lebat.
Keduanya
duduk disana sambil menikmati udara malam kala itu, teringat masa – masa saat
belum seperti ini. gadis itu duduk bersandar di bahu Arya yang terus sibuk
menahan jatuhan rinai air yang jatuh ke tangannya.
“Arya..”
Panggil
Indri pelan pada pria itu.
“hmmm??”
Jawabnya,
tapi gadis itu tak melanjutkan kata-katanya. Hening kemudian. Sampai ia
memanggil namanya lagi.
“Arya..”
“iya?”
saat
pria itu menjawab panggilannya, Ia kembali diam,.
“Arya..”
Panggilnya
lagi lebih sayu, sambil sedikit tersenyum.
“ada apa?”
Jawab pria itu seraya melirik kearahnya.
“saat aku memanggilmu apa kamu akan
selalu menjawabku seperti ini?”
Tanyanya
lirih.
“kamu itu bicara apa? Tentu saja..
tentu saja aku akan menjawabmu..”
Ia
menghela nafas sembari semakin erat menggenggam lengan pria disampingnya.
Sambil memejamkan kedua matanya dan tetap bersandar di bahu pria itu. ia mulai
berkata ringan.
“Arya..”
“hmm?”
“saat aku sudah tidak ada,
menangislah..”
Ujarnya
Lirih sembari kembali menghela nafas.
“aku ingin kamu menangis saat aku sudah tidak
ada..menangislah, dan
keluarkan
semua kesedihanmu saat itu, menangislah.. sampai hatimu merasa
puas untuk
melepasku pergi, menangislah.. meskipun itu akan sangat
meyakitkanmu
dan membuatmu merasa lelah..”
ucapnya
lagi masih dengan memejamkan kedua matanya. sementara pria itu hanya diam,
mendengarkannya sembari tetap menahan butiran air hujan yang jatuh ke telapak
tanganya.
“tapi, hanya saat itu saja.. kamu
hanya boleh menangis hari itu saja..berjanji
padaku! Setelah hari itu, aku tidak mau ada satu
airmatapun yang keluar dari
matamu hanya karena mengingatku..
berjanjilah..bahwa kamu akan lebih
bahagia setelah
aku tidak ada..apa kamu mau berjanji??”
“hmm..”
Jawab
pria itu hanya dengan sebuah anggukan pelan.
“sampai saat itu tiba, hanya sampai
saat itu tiba..tetaplah seperti ini..tetaplah
duduk di
sampingku seperti ini, mengenggam tanganku seperti ini, selalu
bersamaku,
selalu mencintaiku seperti ini.. hanya sampai saat itu tiba..bisakah
kamu
melakukannya?”
tanyanya
lagi semakin lrih.
“hmm..aku akan melakukannya..”
Jawab
Arya yang kini bahkan tak bisa menahan butiran air di tangannya. hening
kemudian. Keduanya hanya diam.
“Arya..”
“ya?”
“terima kasih...”
Ujar
Indri singkat sambil memandang wajah pria itu lekat-lekat, senyumnya simpul
terukir di bibir kecilnya.
“aku mencintaimu Indri, aku
mencintaimu..kamu tahu aku mencintaimu..
aku berharap
hari itu tak akan pernah datang..aku tak mau kehilanganmu..aku
belum siap
untuk kehilanganmu..aku mencintaimu..”
Jawab
pria itu seraya memeluknya begitu erat. airmatanya jatuh, bahkan ketika ia
sudah sangat begitu dekat dengannya. keduanya hanya tetap seperti itu. sepi,
ditemani rinai rintikan hujan. berusaha menikmati waktu yang entah kapan bisa
terus mereka jalani bersama. Tak tahu akhirnya seperti apa. Hanya berjalan
disitu. Berusaha menghentikan waktu yang tiap lalu makin beranjak cepat. Hanya untuk mencintai satu sama lain. Dan
menyiapkan diri, sampai saat yang ditentukan itu tiba.
Tak ada
yang sempurna di dunia ini, bahkan jika
itu bermula dari sebuah cinta yang begitu murni. Cinta. Satu kata yang begitu
sulit di pahami, begitu sulit di mengerti. Satu kata yang entah seperti apa
arti sebenarnya. Banyak pujangga mengeluarkan nyanyian syair-syair indah mereka
mengenai cinta. Tapi entah, apa merekapun jujur tentang itu. Cinta. Sebuah
jalan menuju kebahagian, kesengsaraan, ketenangan, keresahan. Cinta. Ada dalam
hati tiap-tiap yang mengerti. Cinta. Hanya satu kata yang bisa memberi begitu
banyak cerita. Hanya satu kata. yang bisa mengubah dunia.
* * *
Sekali
lagi Tuhan punya banyak rencana, tak ada manusia yang dilahirkan biasa dan
tanpa guna. semua punya kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, punya keistimewaan, dan kisah hidupnya
masing-masing, Tak ada yang berjalan mudah, tak ada pula yang susah. suka,
duka, pahit, manis, getir, semua pasti pernah mengalaminya, hanya bagaimana
kita menyikapi itu semua. Itu tergantung masing-masing pribadi. Seperti apa hidupmu berjalan. Maka
syukurilah, sebelum kamu bahkan tidak punya kesempatan lagi untuk
mensyukurinya.
* * *
Kamu tidak tahu apa yang mungkin
akan kamu hadapi di masa depan. Hadapi saja. dan percaya. Bahwa itu adalah yang
terbaik yang Tuhan pilihkan untukmu..
The End.
No comments:
Post a Comment