KALA KEMBALI
Bagaimana Jika Masa Lalu Menuntunmu
Kembali
# Waktu Yang Berulang
Jum’at
Pagi, bunyi burung cicit di pekarangan salah satu rumah terdengar berkoar
merdu. Tapi sepi di rumahku. Kesunyian . seperti itu setiap hari. Petakan kamar
yang tak terlalu luas dan usang yang menemaniku. Setiap hari setiap pagi aku terbangun dengan
beban di kedua pundakku. Malu pada suatu kenyataan yang di takdirkan Tuhan
padaku. Setiap hari aku selalu bergelut pada Tuhan bertanya kenapa
menciptakanku dalam keadaan seperti ini. membenci seseorang yang seharusnya
bisa kubanggakan. Setiap pagi setiap hari, keadaan bahkan lebih buruk di
sekolah, aku selalu membencinya.
Apa hanya mereka yang terlahir dengan sendok perak dimulut mereka yang hanya mempunyai harga diri. Apa aku tak berarti. Aku benci kehidupanku itu. aku benci pria dungu yang tak bisa bicara atau bahkan mendengar keluhanku. Bahkan dihari kematiannya pun, ia tak meninggalkan apapun untukku. Selain rasa kebencian yang teramat besar.
Apa hanya mereka yang terlahir dengan sendok perak dimulut mereka yang hanya mempunyai harga diri. Apa aku tak berarti. Aku benci kehidupanku itu. aku benci pria dungu yang tak bisa bicara atau bahkan mendengar keluhanku. Bahkan dihari kematiannya pun, ia tak meninggalkan apapun untukku. Selain rasa kebencian yang teramat besar.
Hari
ini aku terbangun lagi, dihari yang sama. Sebuah mimipi buruk yang awalnya ku
kira. Matahari pagi yang terpanjar jernih menembus sela-sela jendela kamarku.
Membangunkanku dihari tak terduga. Kepalaku terasa pening. Aku bahkan bisa
merasakan sesuatu berwarna merah masih basah saat menyentuh perban disana.
Bingung. Langit-langit dan dinding kamarku tampak berbeda hari itu.
Aku
beranjak dari tempat tidur, berjalan menghampiri sorot jernih matahari yang
terpancar di jendela rumahku. Membukanya dan merasakan hembusan angin pagi
menerpa dingin wajahku. Aku kembali terperangga. Melihat halaman dan
rumah-rumah disekitaran. Ini bukan rumahku. Yakinku dalam hati. Kembali aku
bertanya-tanya apa yang terjadi. Coba memikirkan sesuatu yang sebelumnya
menimpaku.
Malam
itu, aku datang untuk melihat Indra dan Agita yang tengah berduaan
diapartemennya, mereka berpelukan dan berujar buruk tentangku. Aku menangis dan
berlari menjauhi pintu apartemen mereka. Dan berhenti di depan jalan. Disana
ada Umar. Dia diam berdiri memperhatikanku dari jauh. Aku menangis melihatnya
dari tempatku berdiri. Anehnya dia tak berusaha menghampiriku, wajahnya teduh sayu dari seberang jalan.
Entah kenapa saat itu aku ingin berjalan menghampirinya, melewati jalan raya
yang sepi. Ia masih berdiri.
Gelap
dan dingin malam kala itu. aku berjalan dengan kedua kaki yang terasa kaku.
Lesu tak mampu berjalan. Tiba-tiba ada cahaya besar menyoroti wajah Umar. Dia
tersenyum, dan meyodorkan tangannya. Aku semakin ingin berjalan mendekatinya.
Tapi ada suara besar. Nyaring disisiku. Cahaya itu semakin besar. Dari sebuah
mobil box berwarna putih yang datang
menghampiriku dengan cepat, membuatku terpelanting hingga jauh beberapa meter
ke sisi jalan. Aku mengerang. Cahaya itu
kini tepat menyoroti wajahku dan darah yang berpendar di sekitaranku.
Tak
ada Umar disana. Tak ada siapa-siapa disana. Apa itu mimpi atau bukan. Tapi
rasanya nyata. Aku bahkan ingat bagaimana tubuhku merasa kenjang karena
pendarahan yang terjadi. Karena sakit yang teramat sangat aku bahkan langsung
tak sadarkan diri.
Aku
tertabrak mobil malam itu. tapi yang anehnya kenapa aku malah terbangun pagi
ini di sebuah kamar, yang tak aku kenal jelas. Harusnya aku ada di rumah sakit.
ku perhatikan sekujur tubuhku yang masih utuh tak ada cacat kecuali satu perban
kecil di kepalaku. Keanehan itu terus berlanjut.
“Sani,
ayo kita berangkat sekolah!”
Panggil dua orang anak
kecil yang mengendarai sepeda mereka di depan halaman rumah. yang satu laki-laki dan yang satunya lagi
perempuan. Mereka tersenyum ramah menyapaku sambil memarkirkan sepeda mereka di
halaman rumah. aku masih diam terperangga. Tak mengerti dengan apa yang mereka maksud.
“kepala kamu masih sakit? Ini semua gara-gara kamu Mar!”
Ujar anak perempuan itu
sambil mengelus-ngelus kepalaku dan menyalahkan teman disebelahnya.
“Aku kan sudah minta maaf lagipula aku tidak sengaja
melakukannya..”
Ujar yang satunya lagi,
sambil tertunduk lesu.
Aku semakin tak mengerti
dengan perkataan keduanya. Tapi lama-kelamaan wajah mereka mengingatkanku pada
Umar dan Agita sewaktu kami masih muda.
“kalian ini bicara apa?anak aneh, pergi main saja sana!”
Ujarku sinis pada kedua
anak tadi, sembari menutup jendela kamar. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa
mereka melakukan hal itu. memanggilku dan mengajakku pergi sekolah. Apa wajahku terlihat seperti anak kecil buat
mereka. Kepalaku kembali terasa pening, dan akan semakin sakit bila aku
menyentuh perbannya. Aku berjalan menghampiri cermin. Untuk melihat seberapa
buruk luka di kepalaku. Tapi begitu aku berdiri di depan cermin. Aku hanya bisa
diam tak bergeming di tempatku. Apa yang terjadi, tanganku terasa dingin semua
ketika melihat bayangan diriku sendiri di cermin. Itu wajah yang sudah 15 tahun lalu pergi dari
diriku.
“kenapa aku seperti ini?”
Ujarku ketakutan sambil
tetap berdiri di depan cermin.
“apa ini mimpi?? Ini pasti mimpi..”
Ujarku lagi tak percaya
sembari menampar kedua pipiku begitu keras. Rasa sakitnya terasa nyata. Tubuhku
lesu seketika. Apa yang terjadi, kenapa bisa seperti ini, apa ini benar-benar
mimpi. Kepala ku terasa semakin pening karena memikirkannya.
“Sani, buka pintunya..kamu tidak apa-apa??”
Tiba-tiba ada suara
seseorang mengetuk-ngetuk pintu kamar. Mereka terus berteriak memanggil namaku.
Aku benar-benar takut dan tak mengerti dengan apa yang sudah terjadi, belum
lagi tubuhku yang kembali seperti anak kecil. Ini seperti sebuah mimpi buruk
yang menakutkan. Mereka tak berhenti mengetuk pintu kamarku. Membuat kepalaku
semakin sakit karenanya. Sambil menenangkan diriku dengan menarik nafas yang
sangat panjang. Aku berjalan mendekati pintu kamar kemudian membukanya
perlahan. Dua anak tadi berdiri disana sambil memperhatikanku dengan pandangan
aneh. Ketika Aku memalingkan wajah sambil tertunduk ketakutan.
“Agita?? Umar??”
Ujarku gemetar dari balik
pintu. mereka masih diam memperhatikanku.
“Sani aku benar-benar minta maaf..aku tidak bermaksud
melakukannya kemarin! Kalau kamu marah kamu
boleh pukul aku sesukamu..!”
rengek anak laki-laki di
depan pintu itu sembari memohon.
“iya, kamu boleh pukul Umar sesukamu..asal kamu mau
memaafkan kami..”
Tambah anak perempuan
disebelahnya ikut memelas.saat itu aku sadar itu benar-benar mereka. Aku
kembali menghela dan menarik nafas panjang. Karena tak mengerti dengan apa yang
sudah terjadi. Ini benar-benar kejadian aneh dan langka. Aku mungkin jadi orang
pertama yang mengalaminya di dunia ini, sebuah perjalanan waktu ke masa lalu,
Saat dimana hidupku benar-benar menyedihkan.
* * *
Hari
itu benar-benar terasa seperti mimpi, Dengan mengenakan seragam putih biru aku
berada di boncengan sepeda Umar. Sementara Agita berada di samping kami dengan
sepedanya. Bertiga kami melewati lapangan dan gang kecil dekat sungai yang
masih belum dijejali banyak sampah pergi ke sekolah. Semuanya tampak seperti
dulu. Belum banyak gedung-gedung tinggi menjulang. Bahkan Apartemen tempatku
tinggal masih berupa sebuah lapangan besar. Dan jalanan masih belum terlalu
macet seperti sekarang. Juga banyak mahasiswa pergi bergelombol menuju gedung
pemerintahan untuk berdemo, itu memang tidak aneh karena sampai sekarangpun
masih sering terjadi. Tapi mimpi ini terasa nyata. Tak lama, kami bertiga
sampai di sekolah. Sekolah itupun masih seperti dulu belum bertingkat, belum
dipenuhi fasilitas seperti terakhir kali aku melihatnya. Aku diam terpaku di
pintu gerbang, sampai Agita menarik tanganku. Sepanjang lorong sekolah kami
berdua berjalan bersama sementara Umar tepat berada di belakang kami. saat itu
aku masih belum menyadari apa yang sepenuhnya terjadi, aku masih terjebak
antara pemikiran bahwa apa yang aku alami ini adalah mimpi atau bukan. Sampai aku melihat lelaki itu di tengah
lorong, tunduk tersenyum mengepel lorong sekolah yang kembali kotor tiap di lewati
beberapa anak-anak yang memang sengaja melakukannya. Saat itu aku benar-benar
benci melihatnya lagi, si muka lugu yang selalu membuatku jadi bahan
olok-olokan teman-teman sekolahku dulu. Kami bertiga berpapasan dengannya di
tengah lorong, dia tersenyum menyapa kami tanpa mengeluarkan satu katapun
karena dia memang tak bisa bicara. Mungkin karena benci aku hanya tetap
mengacuhkannya seperti dulu. Ada raut kesedihan diwajahnya tiap aku
memperlakukannya seperti itu. tapi saat itu aku punya alasan untuk begitu
membencinya.
Aku ingat kejadian
dimana beberapa temanku sering mengolok-ngolok dan mengata-ngataiku sebagai
anak merbot gagu. Mereka mempermainkan dan menjahiliku setiap kali aku tengah
sendiri. Memandangku rendah hanya karena aku dari keluarga miskin dan
bersekolah dari bantuan beasiswa. Atau mempermalukanku dengan menjahili
laki-laki itu didepanku dan semua orang. Itu yang sangat membuatku membenci si
merbot gagu.yang juga ayah kandungku. Saat aku mengacuhkannya, Umarlah yang sering
menyenangkan hatinya, dia berusaha menghibur ayahku agar tak merasa sedih
dengan apa yang aku lakukan padanya. Ia yang dengan setia menjelaskan pada
ayahku jika aku sedang dalam masalah. Umar adalah orang yang baik, dulu ataupun
sekarang. Dan itu yang membuatku menyukainya dari dulu bahkan hingga hari ini. tapi
hubungan kami tak pernah berjalan baik, banyak kesalahpahaman yang terjadi
diantara kami. Hingga akhirnya aku menjauhinya. Dan membuat dinding pembatas yang
begitu tinggi. Yang mungkin akan aku sesali nanti.
“Sani, sampai kapan kamu mau bersikap seperti itu?biar
bagaimanapun pak Imran itu bapak kamu! Apa kamu
tidak kasihan sama dia??”
Ujar Umar ketus, begitu
kami sampai dikelas.
“urus saja urusanmu sendiri, anak kecil sepertimu tidak
usah ikut campur masalah orang dewasa..”
“anak kecil??”
Umar hanya merengut
mendengar kata-kataku. Dan Agita diam tak mau ikut campur. Mereka saling
berpandangan karena tak mengerti dengan
apa yang baru saja aku katakan.
“sampai kapan mimpi ini akan terus berlanjut, aku ingin
segera bangun!”
Eluhku sembari
mengatuk-ngatukan kepalaku keatas meja. Tapi
aku tak juga bangun, hampir seharian aku duduk mengulang semua pelajaran yang
sudah 15 tahun lalu aku pelajari. Itu benar-benar membosakan dan menyebalkan.
Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi dari sekolah begitu jam istirahat
dimulai. Seumur hidup, ini baru kali pertama aku melakukannya. Aku merasa aneh
pada diriku sendiri jika benar ini semua hanya mimpi kenapa aku harus bersusah
payah mengendap-ngendap keluar dari sekolah. Toh, aku bisa memikirnya dan
itupun akan terjadi, tapi semua seperti nyata. Sembari berjalan meninggalkan
sekolah aku terus mengatakan bahwa diriku pasti sudah gila.
Kuhabiskan sisa hariku untuk berkeliling menikmati suasana
Jakarta yang sekarang mungkin sudah sulit untuk dinikmati. Masih sibuk
memikirkan keadaan yang aku alami. Dan pulang ke rumah sore harinya tanpa
membawa hasil apapun.
* * *
Matahari sudah berhenti
berpendar, dan berganti malam. Karena lelah berjalan akhirnya aku putuskan
untuk kembali ke rumah. berharap bahwa esok aku akan terbangun di rumah sakit,
dan mendapati apa yang kualami hari ini memang hanyalah sebuah mimpi. Tapi begitu
aku sampai. Tampak Agita, Umar, bu Jubaidah ibu Umar, sedang berdiri di depan
pintu rumahku, raut wajah mereka terlihat penuh kekhawatiran. Aku tak mengerti
dengan apa yang sedang terjadi disana. Dan aku tidak peduli. Jadi tanpa banyak
bertanya aku langsung berniat masuk ke dalam rumah sembari mengacuhkan mereka
begitu saja.
“kamu dari mana saja??”
Tanya Umar yang masih tampak
seperti anak kecil itu, begitu aku sampai di depan pintu.
“bukan urusanmu, sudah jangan mengangguku, aku cape.. mau
tidur!”
Jawabku malas. Tapi Umar
langsung menarik tanganku dan berteriak memarahiku.
“kamu tahu kita semua ini khawatir, tiba-tiba saja kamu
pergi dari sekolah..pak Imran, Pak Bambang sama
bapakku dari tadi pergi nyariin kamu!!”
“terus
gw mesti bilang wow gitu, sudah pulang saja sana! kalian ini benar-benar
menganggu tahu!!”
Ujarku kesal sembari
menghempaskan tangan Umar. Agita, Umar, bahkan bu Jubaidah hanya terperangga
mendengar perkataanku pada mereka, seolah mendengar sesuatu yang tak pernah
mereka dengar sebelumnya.
“dari mana kamu belajar bahasa seperti itu??”
Tanya Agita tak mengerti. Saat dia bertanya seperti itu entah kenapa aku
langsung teringat kejadian di apartemen Indra, dia teman yang sudah menusukku
dari belakang. Berpura-pura baik di depanku tapi menjatuhkanku diakhir,
membocorkan semua desain sepatuku juga merebut kekasihku. Dia benar-benar,
serigala berbulu domba. Aku membencinya sampai ingin memakannya hidup-hidup.
“itu bukan urusan kamu..”
Jawabku tak berperasaan
sembari menunjuk-nunjuk ke kepalanya, Agita terlihat semakin terkejut. Dan
mulai seperti hendak menangis.mungkin ini salah karena aku membalaskan dendamku
pada Agita yang belum tahu apa-apa, tapi toh dimasa depan dia juga akan tetap
menyakitiku, dan ini juga mimpi jadi aku bisa berbuat apapun semauku. Tanpa mau
banyak bicara lagi dengan mereka, aku langsung masuk ke dalam rumah mengunci
pintu. dan segera merebahkan badanku di kamar dengan beralaskan tempat tidur
yang benar-benar tak nyaman karena sudah tua dan lapuk.
“ada apa dengan Sani? Kenapa dia jadi seperti itu?”
Tanya Jubaidah pada anak
laki-lakinya dan Agita, tapi mereka hanya menggelengkan kepala, dan sama tak
mengerti dengan sikap Sani yang mulai berubah hari itu.
No comments:
Post a Comment