Tuesday, January 29, 2013

Cerbung : Kala Kembali #1



KALA KEMBALI
Bagaimana Jika Masa Lalu Menuntunmu Kembali

# Waktu Yang Berulang

Jum’at Pagi, bunyi burung cicit di pekarangan salah satu rumah terdengar berkoar merdu. Tapi sepi di rumahku. Kesunyian . seperti itu setiap hari. Petakan kamar yang tak terlalu luas dan usang yang menemaniku.  Setiap hari setiap pagi aku terbangun dengan beban di kedua pundakku. Malu pada suatu kenyataan yang di takdirkan Tuhan padaku. Setiap hari aku selalu bergelut pada Tuhan bertanya kenapa menciptakanku dalam keadaan seperti ini. membenci seseorang yang seharusnya bisa kubanggakan. Setiap pagi setiap hari, keadaan bahkan lebih buruk di sekolah, aku selalu membencinya.
Apa hanya mereka yang terlahir dengan sendok perak dimulut mereka yang hanya mempunyai harga diri. Apa aku tak berarti. Aku benci kehidupanku itu. aku benci pria dungu yang tak bisa bicara atau bahkan mendengar keluhanku.  Bahkan dihari kematiannya pun, ia tak meninggalkan apapun untukku. Selain rasa kebencian yang teramat besar.
Hari ini aku terbangun lagi, dihari yang sama. Sebuah mimipi buruk yang awalnya ku kira. Matahari pagi yang terpanjar jernih menembus sela-sela jendela kamarku. Membangunkanku dihari tak terduga. Kepalaku terasa pening. Aku bahkan bisa merasakan sesuatu berwarna merah masih basah saat menyentuh perban disana. Bingung. Langit-langit dan dinding kamarku tampak berbeda hari itu.
Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menghampiri sorot jernih matahari yang terpancar di jendela rumahku. Membukanya dan merasakan hembusan angin pagi menerpa dingin wajahku. Aku kembali terperangga. Melihat halaman dan rumah-rumah disekitaran. Ini bukan rumahku. Yakinku dalam hati. Kembali aku bertanya-tanya apa yang terjadi. Coba memikirkan sesuatu yang sebelumnya menimpaku.
Malam itu, aku datang untuk melihat Indra dan Agita yang tengah berduaan diapartemennya, mereka berpelukan dan berujar buruk tentangku. Aku menangis dan berlari menjauhi pintu apartemen mereka. Dan berhenti di depan jalan. Disana ada Umar. Dia diam berdiri memperhatikanku dari jauh. Aku menangis melihatnya dari tempatku berdiri. Anehnya dia tak berusaha menghampiriku, wajahnya teduh sayu dari seberang jalan. Entah kenapa saat itu aku ingin berjalan menghampirinya, melewati jalan raya yang sepi. Ia masih berdiri.
Gelap dan dingin malam kala itu. aku berjalan dengan kedua kaki yang terasa kaku. Lesu tak mampu berjalan. Tiba-tiba ada cahaya besar menyoroti wajah Umar. Dia tersenyum, dan meyodorkan tangannya. Aku semakin ingin berjalan mendekatinya. Tapi ada suara besar. Nyaring disisiku. Cahaya itu semakin besar. Dari sebuah mobil box berwarna putih yang  datang menghampiriku dengan cepat, membuatku terpelanting hingga jauh beberapa meter ke sisi jalan.  Aku mengerang. Cahaya itu kini tepat menyoroti wajahku dan darah yang berpendar di sekitaranku.
Tak ada Umar disana. Tak ada siapa-siapa disana. Apa itu mimpi atau bukan. Tapi rasanya nyata. Aku bahkan ingat bagaimana tubuhku merasa kenjang karena pendarahan yang terjadi. Karena sakit yang teramat sangat aku bahkan langsung tak sadarkan diri.
Aku tertabrak mobil malam itu. tapi yang anehnya kenapa aku malah terbangun pagi ini di sebuah kamar, yang tak aku kenal jelas. Harusnya aku ada di rumah sakit. ku perhatikan sekujur tubuhku yang masih utuh tak ada cacat kecuali satu perban kecil di kepalaku. Keanehan itu terus berlanjut.
“Sani, ayo kita berangkat sekolah!”
Panggil dua orang anak kecil yang mengendarai sepeda mereka di depan halaman rumah.  yang satu laki-laki dan yang satunya lagi perempuan. Mereka tersenyum ramah menyapaku sambil memarkirkan sepeda mereka di halaman rumah. aku masih diam terperangga.  Tak mengerti dengan apa yang mereka maksud.
          “kepala kamu masih sakit? Ini semua gara-gara kamu Mar!”
Ujar anak perempuan itu sambil mengelus-ngelus kepalaku dan menyalahkan teman disebelahnya.
          “Aku kan sudah minta maaf lagipula aku tidak sengaja melakukannya..”
Ujar yang satunya lagi, sambil tertunduk lesu.

Aku semakin tak mengerti dengan perkataan keduanya. Tapi lama-kelamaan wajah mereka mengingatkanku pada Umar dan Agita sewaktu kami masih muda.
          “kalian ini bicara apa?anak aneh, pergi main saja sana!”
Ujarku sinis pada kedua anak tadi, sembari menutup jendela kamar. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa mereka melakukan hal itu. memanggilku dan mengajakku pergi sekolah.  Apa wajahku terlihat seperti anak kecil buat mereka. Kepalaku kembali terasa pening, dan akan semakin sakit bila aku menyentuh perbannya. Aku berjalan menghampiri cermin. Untuk melihat seberapa buruk luka di kepalaku. Tapi begitu aku berdiri di depan cermin. Aku hanya bisa diam tak bergeming di tempatku. Apa yang terjadi, tanganku terasa dingin semua ketika melihat bayangan diriku sendiri di cermin.  Itu wajah yang sudah 15 tahun lalu pergi dari diriku.
          “kenapa aku seperti ini?”
Ujarku ketakutan sambil tetap berdiri di depan cermin.
          “apa ini mimpi?? Ini pasti mimpi..”
Ujarku lagi tak percaya sembari menampar kedua pipiku begitu keras. Rasa sakitnya terasa nyata. Tubuhku lesu seketika. Apa yang terjadi, kenapa bisa seperti ini, apa ini benar-benar mimpi. Kepala ku terasa semakin pening karena memikirkannya.
     “Sani, buka pintunya..kamu tidak apa-apa??”
Tiba-tiba ada suara seseorang mengetuk-ngetuk pintu kamar. Mereka terus berteriak memanggil namaku. Aku benar-benar takut dan tak mengerti dengan apa yang sudah terjadi, belum lagi tubuhku yang kembali seperti anak kecil. Ini seperti sebuah mimpi buruk yang menakutkan. Mereka tak berhenti mengetuk pintu kamarku. Membuat kepalaku semakin sakit karenanya. Sambil menenangkan diriku dengan menarik nafas yang sangat panjang. Aku berjalan mendekati pintu kamar kemudian membukanya perlahan. Dua anak tadi berdiri disana sambil memperhatikanku dengan pandangan aneh. Ketika Aku memalingkan wajah sambil tertunduk ketakutan.
          “Agita?? Umar??”
Ujarku gemetar dari balik pintu. mereka masih diam memperhatikanku.
          “Sani aku benar-benar minta maaf..aku tidak bermaksud melakukannya kemarin! Kalau kamu marah kamu
 boleh pukul aku sesukamu..!”
rengek anak laki-laki di depan pintu itu sembari memohon.
          “iya, kamu boleh pukul Umar sesukamu..asal kamu mau memaafkan kami..”
Tambah anak perempuan disebelahnya ikut memelas.saat itu aku sadar itu benar-benar mereka. Aku kembali menghela dan menarik nafas panjang. Karena tak mengerti dengan apa yang sudah terjadi. Ini benar-benar kejadian aneh dan langka. Aku mungkin jadi orang pertama yang mengalaminya di dunia ini, sebuah perjalanan waktu ke masa lalu, Saat dimana hidupku benar-benar menyedihkan.       

*                     *                       *

Hari itu benar-benar terasa seperti mimpi, Dengan mengenakan seragam putih biru aku berada di boncengan sepeda Umar. Sementara Agita berada di samping kami dengan sepedanya. Bertiga kami melewati lapangan dan gang kecil dekat sungai yang masih belum dijejali banyak sampah pergi ke sekolah. Semuanya tampak seperti dulu. Belum banyak gedung-gedung tinggi menjulang. Bahkan Apartemen tempatku tinggal masih berupa sebuah lapangan besar. Dan jalanan masih belum terlalu macet seperti sekarang. Juga banyak mahasiswa pergi bergelombol menuju gedung pemerintahan untuk berdemo, itu memang tidak aneh karena sampai sekarangpun masih sering terjadi. Tapi mimpi ini terasa nyata. Tak lama, kami bertiga sampai di sekolah. Sekolah itupun masih seperti dulu belum bertingkat, belum dipenuhi fasilitas seperti terakhir kali aku melihatnya. Aku diam terpaku di pintu gerbang, sampai Agita menarik tanganku. Sepanjang lorong sekolah kami berdua berjalan bersama sementara Umar tepat berada di belakang kami. saat itu aku masih belum menyadari apa yang sepenuhnya terjadi, aku masih terjebak antara pemikiran bahwa apa yang aku alami ini adalah mimpi atau bukan.  Sampai aku melihat lelaki itu di tengah lorong, tunduk tersenyum mengepel lorong sekolah yang kembali kotor tiap di lewati beberapa anak-anak yang memang sengaja melakukannya. Saat itu aku benar-benar benci melihatnya lagi, si muka lugu yang selalu membuatku jadi bahan olok-olokan teman-teman sekolahku dulu. Kami bertiga berpapasan dengannya di tengah lorong, dia tersenyum menyapa kami tanpa mengeluarkan satu katapun karena dia memang tak bisa bicara. Mungkin karena benci aku hanya tetap mengacuhkannya seperti dulu. Ada raut kesedihan diwajahnya tiap aku memperlakukannya seperti itu. tapi saat itu aku punya alasan untuk begitu membencinya.
           Aku ingat kejadian dimana beberapa temanku sering mengolok-ngolok dan mengata-ngataiku sebagai anak merbot gagu. Mereka mempermainkan dan menjahiliku setiap kali aku tengah sendiri. Memandangku rendah hanya karena aku dari keluarga miskin dan bersekolah dari bantuan beasiswa. Atau mempermalukanku dengan menjahili laki-laki itu didepanku dan semua orang. Itu yang sangat membuatku membenci si merbot gagu.yang juga ayah kandungku.  Saat aku mengacuhkannya, Umarlah yang sering menyenangkan hatinya, dia berusaha menghibur ayahku agar tak merasa sedih dengan apa yang aku lakukan padanya. Ia yang dengan setia menjelaskan pada ayahku jika aku sedang dalam masalah. Umar adalah orang yang baik, dulu ataupun sekarang. Dan itu yang membuatku menyukainya dari dulu bahkan hingga hari ini. tapi hubungan kami tak pernah berjalan baik, banyak kesalahpahaman yang terjadi diantara kami. Hingga akhirnya aku menjauhinya. Dan membuat dinding pembatas yang begitu tinggi. Yang mungkin akan aku sesali nanti.
          “Sani, sampai kapan kamu mau bersikap seperti itu?biar bagaimanapun pak Imran itu bapak kamu! Apa kamu
  tidak kasihan sama dia??”
Ujar Umar ketus, begitu kami sampai dikelas.
          “urus saja urusanmu sendiri, anak kecil sepertimu tidak usah ikut campur masalah orang dewasa..”
          “anak kecil??”
Umar hanya merengut mendengar kata-kataku. Dan Agita diam tak mau ikut campur. Mereka saling berpandangan karena  tak mengerti dengan apa yang baru saja aku katakan. 
          “sampai kapan mimpi ini akan terus berlanjut, aku ingin segera bangun!”
Eluhku sembari mengatuk-ngatukan kepalaku keatas meja.  Tapi aku tak juga bangun, hampir seharian aku duduk mengulang semua pelajaran yang sudah 15 tahun lalu aku pelajari. Itu benar-benar membosakan dan menyebalkan. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi dari sekolah begitu jam istirahat dimulai. Seumur hidup, ini baru kali pertama aku melakukannya. Aku merasa aneh pada diriku sendiri jika benar ini semua hanya mimpi kenapa aku harus bersusah payah mengendap-ngendap keluar dari sekolah. Toh, aku bisa memikirnya dan itupun akan terjadi, tapi semua seperti nyata. Sembari berjalan meninggalkan sekolah aku terus mengatakan bahwa diriku pasti sudah gila.
          Kuhabiskan sisa hariku untuk berkeliling menikmati suasana Jakarta yang sekarang mungkin sudah sulit untuk dinikmati. Masih sibuk memikirkan keadaan yang aku alami. Dan pulang ke rumah sore harinya tanpa membawa hasil apapun.

*                     *                       *
Matahari sudah berhenti berpendar, dan berganti malam. Karena lelah berjalan akhirnya aku putuskan untuk kembali ke rumah. berharap bahwa esok aku akan terbangun di rumah sakit, dan mendapati apa yang kualami hari ini memang hanyalah sebuah mimpi. Tapi begitu aku sampai. Tampak Agita, Umar, bu Jubaidah ibu Umar, sedang berdiri di depan pintu rumahku, raut wajah mereka terlihat penuh kekhawatiran. Aku tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi disana. Dan aku tidak peduli. Jadi tanpa banyak bertanya aku langsung berniat masuk ke dalam rumah sembari mengacuhkan mereka begitu saja.
          “kamu dari mana saja??”
Tanya Umar yang masih tampak seperti anak kecil itu, begitu aku sampai di depan pintu.
          “bukan urusanmu, sudah jangan mengangguku, aku cape.. mau tidur!”
Jawabku malas. Tapi Umar langsung menarik tanganku dan berteriak memarahiku.
          “kamu tahu kita semua ini khawatir, tiba-tiba saja kamu pergi dari sekolah..pak Imran, Pak Bambang sama
           bapakku dari tadi pergi  nyariin kamu!!”
“terus gw mesti bilang wow gitu, sudah pulang saja sana! kalian ini benar-benar menganggu tahu!!”
Ujarku kesal sembari menghempaskan tangan Umar. Agita, Umar, bahkan bu Jubaidah hanya terperangga mendengar perkataanku pada mereka, seolah mendengar sesuatu yang tak pernah mereka dengar sebelumnya.
          “dari mana kamu belajar bahasa seperti itu??”
Tanya Agita tak mengerti.  Saat dia bertanya seperti itu entah kenapa aku langsung teringat kejadian di apartemen Indra, dia teman yang sudah menusukku dari belakang. Berpura-pura baik di depanku tapi menjatuhkanku diakhir, membocorkan semua desain sepatuku juga merebut kekasihku. Dia benar-benar, serigala berbulu domba. Aku membencinya sampai ingin memakannya hidup-hidup.
          “itu bukan urusan kamu..”
Jawabku tak berperasaan sembari menunjuk-nunjuk ke kepalanya, Agita terlihat semakin terkejut. Dan mulai seperti hendak menangis.mungkin ini salah karena aku membalaskan dendamku pada Agita yang belum tahu apa-apa, tapi toh dimasa depan dia juga akan tetap menyakitiku, dan ini juga mimpi jadi aku bisa berbuat apapun semauku. Tanpa mau banyak bicara lagi dengan mereka, aku langsung masuk ke dalam rumah mengunci pintu. dan segera merebahkan badanku di kamar dengan beralaskan tempat tidur yang benar-benar tak nyaman karena sudah tua dan lapuk.
          “ada apa dengan Sani? Kenapa dia jadi seperti itu?”
Tanya Jubaidah pada anak laki-lakinya dan Agita, tapi mereka hanya menggelengkan kepala, dan sama tak mengerti dengan sikap Sani yang mulai berubah hari itu.

*                     *                       *

PART II

No comments: