Friday, January 25, 2013

OneShot Story : Who's The Dead One?



Who the Dead one??

 Seminggu berjalan selepas masa orientasi siswa berakhir, untuk pertama kalinya aku pergi ke sekolah ini dengan mengenakan seragam SMA. Mendung datang setiap hari di bulan november. Menyambutku dengan derasnya air hujan dan lantuntan suara petir. Pakaianku yang sudah di setrika rapih ibuku kemarin malam sudah payah tak karuan. Tak ada payung, aku putuskan untuk berteduh di sebuah halteu bis. Disana ada beberapa anak SMA berseragam sama sepertiku. Aku menepi berdiri disamping seorang siswa perempuan yang diam tak berbaur.
Wajahnya lugu, dan sangat manis dengan bando dikepalanya.
 Hujan belum tampak akan segera berakhir, samar ku dengar beberapa orang yang lain sibuk membicarakan sesuatu yang kedengarannya menarik. Mereka bercerita tentang urban legends di sekolah baruku. Tentang sebuah kelas di lantai dua lorong ke tiga.
“eh, tahu nggak sih? Katanya ya..dikelas itu ada hantunya loch!!”
Ujar salah seorang diantara mereka.
      “hantu?? Hantu apa??”
Tanya seorangnya lagi merasa penasaran.
      “masa kamu nggak tahu? Cerita ini udah melegenda di seantero 
       sekolah, aku juga pernah denger dari kakak kelasku waktu acara 
       Mos kemarin..”
“alah itu mah Cuma cerita Hoax aja, buat nakut-nakutin murid baru 
 kayak kita!”
Sengor seorang lagi yang tak menyukai pembicaraan itu.
“emang ceritanya kayak gimana?”
Tanya seorang yang memang terlihat sangat penasaran dengan cerita itu sama sepertiku. Bukan karena aku penyuka cerita hoax macam itu, tapi kebetulan kelas yang mereka ceritakan adalah kelasku.
Ditemani derasnya air hujan dan dinginnya angin, cerita pun dimulai. Ini adalah cerita yang sudah sangat melegenda di sekolah baruku, hampir semua orang di sekolah termasuk guru bahkan petugas satpam ataupun pedagang di kantin tahu tentang itu. sebenarnya dari luar kelas IPA A-1 tampak seperti kelas – kelas pada umumnya. Tapi ada satu yang berbeda disana. ada satu bangku kosong yang tak pernah diduduki siapapun. Katanya itu adalah bangku salah seorang siswa yang mati bunuh diri 35 tahun yang lalu. Setiap ada yang memindahkan bangku itu, maka bangku itupun akan kembali ke tempatnya yang semula. Disana juga ada sebuah bingkai foto kelas, sudah sangat buram dan tampak tua, siswa yang bunuh diri itu termasuk salah seorang di dalamnya. Tak berbeda jauh dengan cerita bangku kosong, bingkai fotopun sama, jika ada seseorang yang memindahkannya maka bingkai foto itupun akan kembali ke tempatnya. Jangankan memindahkan bingkai foto, bahkan melihatnya saja tak ada yang berani. Kabarnya kalau kita melihat bingkai foto itu, maka kita akan melihat wajah siswa yang bunuh diri itu mengikuti kemana mata kita pergi, dan besok atau lusanya orang yang melihat foto itu pasti celaka.
      “katanya dulu pernah ada alumni di kelas itu yang mati ketabrak 
       mobil setelah dia ngelihat wajah siswa yang bunuh diri di foto 
  itu..ihh pokoknya serem banget!! Untung aku nggak masuk 
  kelas itu..”
ujarnya mengakhiri cerita sembari mengusap-ngusap kedua tangannya yang kedinginan.
Percaya, atau tidak tapi cerita itu cukup membuat semua bulu kudukku berdiri ketika mendengarnya. Hujan sudah mulai reda, kami bubar dari halteu bis dan berjalan menuju sekolah. Siswa perempuan yang tadi berada disampingkupun ikut berjalan bersama kami. Wajahnya tampak pucat pasi, mungkin ia sama takutnya sepertiku setelah mendengar cerita itu, tapi dia benar-benar sangat manis. Aku tak bisa berhenti memperhatikannya, sampai ku sadari ia juga ternyata teman sekelasku. Dia duduk di bangku depan tepat di sampingku.
      “hai, namaku Randi..”
Sapaku berusaha mendekatinya. Ia tersenyum dan balas menjabat tanganku.
      “aku Riani..”
Jawabnya manis.
      “perasaan waktu acara MOS aku nggak lihat kamu deh??”
Tanyaku padanya.
      “udah seminggu aku sakit, jadi baru bisa masuk sekolah hari ini!”
      "ohh..pantes aku lihat wajah kamu agak pucet! Kirain kamu juga 
       takut denger cerita tadi..”
“itu juga sih..geje banget ya anak-anak yang tadi..pake cerita 
 hantu segala di kelas ini lagi!”
ujarnya kesal, tapi tetap terlihat manis.
      “hehe..udahlah nggak usah dipikirin, paling Cuma cerita hoax 
       aja..”
Jawabku santai dihadapannya. Tapi padangannya tampak kosong tertuju pada bangku paling belakang di kelas kami. Bangku kosong yang diceritakan tadi. Akupun teringat dan mulai mencari bingkai fotonya juga, disana, tepat disamping papan tulis, sebuah bingkai foto usang dan buram. Bulu kuduk kami berdua kembali berdiri, apalagi suasana kelas saat itu masih tampak sepi. Baru ada kami berdua disana. entah kenapa aku mendekati bingkai foto itu, dan seperti ada rasa penasaran yang besar untuk melihatnya, tapi untungnya Riani segera mencegahku.
      “ mending kita ngobrol diluar aja yuk!”
Ajaknya padaku. Aku hanya manggut dan mengikutinya. Kami berjalan keluar kelas bersama. Di tengah jalan kami berpapasan dengan seorang guru. Ia menatap kearah kami dengan tatapan tajam tak mengenakan. Mata bolornya dengan kaca mata tebal terus memperhatikan kearah Riani.
“Dasar guru cabul, nggak bisa lihat yang bening dikit!”       pikirku saat itu.
      “soal cerita yang tadi pagi, aku masih kepikiran nih? Itu beneran 
       atau Cuma hoax Aja ya??”
Gumam Riani gelisah.
      “aku juga nggak tahu pasti..”
Jawabku.
      “hmm..kenapa dia bunuh diri ya??”
     “kalau itu katanya sih, gara-gara dia ketahuan mencuri barang milik
 temannya, Mungkin karena malu..dia jadi mutusin buat bunuh diri!”
“kasihan ya??”
Ujar Riani lirih sembari berhenti dan menatap ke bawah dari lantai dua tempat kami berada.
      “kenapa kasihan?”
Tanyaku tak mengerti.
      “rasanya pasti sakit jatuh dari sini..”
Ujarnya lagi semakin lirih.
      “darimana kamu tahu kalau dia mati bunuh diri karena loncat dari 
       sini?”
      “Cuma nebak aja..”
Riani menatapku sembari tersenyum, kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Kami berdua berjalan menuju kantin sekolah.

      “Randi, kalau boleh aku tahu kamu lulusan SMP mana?”
Tanyanya manja, sembari menyuruput sekotak susu stawberry di tangannya.
      “aku lulusan SMP Mutiara Bangsa, kamu?”
Jawabku.
      “Mutiara Bangsa??”
Kulihat Riani tampak mengerutkan dahinya.
      “kenapa?”
Tanyaku tak mengerti.
      “enggak, tapi kalau nggak salah bukannya SMP Mutiara bangsa itu 
       udah ditutup tiga tahun yang lalu ya? Gara-gara kebakaran??”
jawabnya bingung.
      “ahk..masa sih! Mungkin kamu salah denger! SMP Mutiara bangsa 
      yang lain kali! Kamu belum jawab pertanyaanku? Kalau kamu lulusan 
       SMP mana?”
      “iya, kali ya? Aku Lulusan SMPN 1..”
     “widih, berarti kamu pinter donk ya? Itukan SMP favourit! Aku juga 
      dulu pengen masuk kesana..”
ia hanya tersipu malu mendengar jawabanku.
   “terus kenapa kamu nggak masuk kesana? Apa karena kamu kurang 
    pinter??”
Tanyanya sarkatis.
   “orang tuaku Cuma pegawai biasa, biaya disana kan mahal? Aku nggak 
    mau merepotkan mereka..”
jawabku lesu.
   “umm..so sweet!! Anak yang baik!!”
Ujarnya sembari mengelus-ngelus kepalaku. Senyumnya saat itu benar-benar manis.
kami banyak mengobrol berdua dikantin. Mengasyikan. Kulihat beberapa orang yang ada disana terus memperhatikan kearah kami, terutama pada Riani. Mungkin karena dia sangat manis.
   “kamu bilang kamu nggak ikutan MOS gara-gara sakit? Emang kamu sakit 
    apa?”
Ia hanya menjawab pertanyaanku dengan senyuman kemudian beranjak dari duduknya.
Bel masuk berbunyi kami kembali berjalan menuju kelas. Beberapa yang lain mulai berlari karena takut guru yang mengajar sudah masuk lebih dulu dari mereka. Aku dan Riani pun ikut sibuk berlari. ia membiarkan tangannya berada digenggamanku. Senang, dan bahagia. Mungkin aku jatuh cinta. Pikiran laki ku muncul.
Tapi sedang asyik-asyiknya kami berlari bersama tiba-tiba guru berkacamata tebal itu langsung menghentikan langkah kami berdua, ia tak berhenti menatap wajah Riani, yang tampak ketakutan melihatnya. Aku mecoba berdiri dihadapannya, dengan tatapan sinis. Tapi guru itu malah langsung menarik tangan Riani dan membawanya pergi ke ruang guru. Ia menutup pintu dan tak membiarkanku masuk. Aku marah dan kesal, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, dengan langkah gontai akhirnya aku berjalan sendiri kembali ke kelas. Sudah ramai orang disana. aku duduk di bangku ku dan menunggu Riani kembali dari ruang guru.
Pelajaran dimulai tapi Riani belum juga kembali. Hingga bel istirahat berbunyi batang hidungnyapun tak kelihatan lagi. Aku berusaha mencarinya di ruang guru, tapi disana tak ada siapa-siapa. saat aku kembali ke dalam kelas kulihat tas Riani juga sudah tak ada. Aku merengut lesu dibangkuku. Sampai samar kudengar dua orang teman sekelasku terlihat sibuk membicarakan Riani dari luar kelas.
      “kasihan ya si Riani!”
Ujar mereka miris.
      “hmm, baru aja bisa masuk sekolah hari ini, eh udah masuk rumah 
       sakit lagi!Katanya kondisinya makin kritis ya?”
“hmm..”
Jawab yang lain mengangguk lesu. Aku menghampiri mereka, dan berusaha bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tapi belum sempat aku bertanya tiba-tiba seseorang yang lain berlari menghampiri kami dengan wajah pucat pasi. Ia terlihat panik sembari mengenggam hanphonenya.
      “temen-temen! Tadi aku dapat SMS dari Pak Ilham, katanya jam 10 
       pagi tadi Riani meninggal di rumah sakit..”
ujarnya terenggah-enggah.
      “innalillahi..”
Jawab beberapa diantara mereka seketika.
Rasanya kakiku lesu, aku tak bisa menapak pasti. Tak percaya, bagaimana bisa? Riani meninggal begitu saja? Padahal tadi saat bersamaku ia terlihat baik-baik saja. Aku berlari mencari guru berkacamata tebal tadi untuk meminta penjelasan darinya. karena ini semua terjadi setelah Riani ikut bersamanya. Aku kembali berlari menuju ruang guru, tapi ia tak ada disana, aku mencarinya di lapang, di kantin, di lorong ia tak juga ada disana. aku tak bisa menemukannya dimanapun. Setelah lelah mencari, aku putuskan untuk kembali ke dalam kelas. Tak ada siapa-siapa disana. mungkin mereka semua pergi untuk melayat ke rumah sakit. Aku duduk lesu di bangku kelasku. Sembari menangis pilu meratapi nasibnya.
Sampai tiba-tiba aku teringat pada cerita tadi pagi, di dalam kelasku, aku ingat terakhir kali Riani menatap kosong bangku berhantu di belakang kami. Mungkinkah karena itu Riani mati? Pikirku sekilas tapi rasanya tidak mungkin, tidak mungkin hanya karena melihat bangku kosong saja ia bisa langsung meninggal.
aku benar-benar tak mengerti, guru berkacamata tebal itupun tak bisa aku temui. Karena penasaran ku dekati bangku kosong itu. bangku usang yang terlihat biasa. Tak ada yang aneh darinya.
Aku kembali ke mejaku.
      “apa mungkin Riani ada disana?”
Pikiran gilaku muncul. aku mulai melirik bingkai foto disamping papan tulis. Rasa penasaran tiba-tiba menyelimutiku, terpintas dikepalaku beberapa tingkah Riani yang sedikit aneh, jangan-jangan orang yang bersamaku sepanjang hari ini adalah orang dalam foto itu. bulu kudukku kembali berdiri kaku. Aku ingin, aku sangat ingin melihat wajah siswa yang bunuh diri 35 tahun yang lalu.
     
Kudekati bingkai foto itu perlahan. Dengan rasa takut dan was-was. Semakin dekat semakin sedikit jelas. Wajahku kini berada tepat di hadapannya dan mataku terus mencari sosok itu. sampai aku berhenti di barisan kedua paling sudut. Seorang siswa duduk tersenyum disana. menatapku dengan tatapan menakutkan. Kakiku semakin lesu dan wajahku mulai pucat pasi. Aku berteriak menjauhi bingkai foto itu. dan duduk meringkuk disudut kelas. Rasanya benar-benar sulit dipercaya apa yang kulihat itu.
      “Tidak...Tidak...!!”
Teriakku tak karuan. Kudengar suara langkah kaki seseorang mulai mendekatiku. Dan berdiri dihadapanku. Aku menatapnya ketakutan. Tapi ia hanya memandangku pilu.
      “satu orang lagi pergi..”
Ujarnya padaku. Si guru berkacamata tebal. Aku hanya bisa menangis ketakutan, dan menatapnya ketakutan.
      “satu orang lagi pergi, dan itu karenamu!!”
Ujarnya dingin.
      “Tidak..”
      “berapa kali aku harus memberitahumu? Kamu sudah mati..”
      “tidak..”
      “kamu tidak pernah ada, sejak 35 tahun yang lalu..”
      “tidak..”
Aku tertelungkup lesu disudut ruang kelas. Teringat kejadian 35 tahun yang lalu. hujan di bulan November. Aku ingat anak-anak dikelas mengejekku karena pakaian lusuh dan sepatu butut yang aku kenakan. Setiap hari seperti itu. mereka membuatku jadi bulanbulanan mereka. Satu hari seseorang mengadu kehilangan uang SPPnya. Semua tas diperiksa termasuk milikku, aku tak tahu apa-apa. Tiba-tiba mereka menuduhku mencurinya. Aku berkata  tidak, tapi satupun tak ada yang mau percaya. Hujan hari itu semakin deras. Aku duduk disudut lorong, melihat kebawah. Butiran hujan seperti rajaman pisau dimataku. Dan dapat kurasakan bagaimana sakitnya jatuh dari sana, mencium tanah, dan berbaur bersama hujan.
     

*     *     *     *

No comments: