Who the Dead one??
Seminggu berjalan selepas masa orientasi siswa
berakhir, untuk pertama kalinya aku pergi ke sekolah ini dengan mengenakan
seragam SMA. Mendung datang setiap hari di bulan november. Menyambutku dengan
derasnya air hujan dan lantuntan suara petir. Pakaianku yang sudah di setrika
rapih ibuku kemarin malam sudah payah tak karuan. Tak ada payung, aku putuskan
untuk berteduh di sebuah halteu bis. Disana ada beberapa anak SMA berseragam
sama sepertiku. Aku menepi berdiri disamping seorang siswa perempuan yang diam
tak berbaur.
Wajahnya lugu, dan sangat manis dengan bando dikepalanya.
Wajahnya lugu, dan sangat manis dengan bando dikepalanya.
Hujan belum tampak akan segera berakhir, samar
ku dengar beberapa orang yang lain sibuk membicarakan sesuatu yang
kedengarannya menarik. Mereka bercerita tentang urban legends di sekolah baruku.
Tentang sebuah kelas di lantai dua lorong ke tiga.
“eh, tahu
nggak sih? Katanya ya..dikelas itu ada hantunya loch!!”
Ujar salah seorang
diantara mereka.
“hantu?? Hantu apa??”
Tanya seorangnya
lagi merasa penasaran.
“masa kamu nggak tahu? Cerita ini udah
melegenda di seantero
sekolah, aku juga pernah denger dari kakak kelasku waktu acara
Mos kemarin..”
“alah itu
mah Cuma cerita Hoax aja, buat nakut-nakutin murid baru
kayak kita!”
Sengor seorang lagi
yang tak menyukai pembicaraan itu.
“emang
ceritanya kayak gimana?”
Tanya seorang yang
memang terlihat sangat penasaran dengan cerita itu sama sepertiku. Bukan karena
aku penyuka cerita hoax macam itu, tapi kebetulan kelas yang mereka ceritakan
adalah kelasku.
Ditemani derasnya
air hujan dan dinginnya angin, cerita pun dimulai. Ini adalah cerita yang sudah
sangat melegenda di sekolah baruku, hampir semua orang di sekolah termasuk guru
bahkan petugas satpam ataupun pedagang di kantin tahu tentang itu. sebenarnya
dari luar kelas IPA A-1 tampak seperti kelas – kelas pada umumnya. Tapi ada
satu yang berbeda disana. ada satu bangku kosong yang tak pernah diduduki
siapapun. Katanya itu adalah bangku salah seorang siswa yang mati bunuh diri 35
tahun yang lalu. Setiap ada yang memindahkan bangku itu, maka bangku itupun
akan kembali ke tempatnya yang semula. Disana juga ada sebuah bingkai foto
kelas, sudah sangat buram dan tampak tua, siswa yang bunuh diri itu termasuk
salah seorang di dalamnya. Tak berbeda jauh dengan cerita bangku kosong, bingkai
fotopun sama, jika ada seseorang yang memindahkannya maka bingkai foto itupun
akan kembali ke tempatnya. Jangankan memindahkan bingkai foto, bahkan
melihatnya saja tak ada yang berani. Kabarnya kalau kita melihat bingkai foto
itu, maka kita akan melihat wajah siswa yang bunuh diri itu mengikuti kemana
mata kita pergi, dan besok atau lusanya orang yang melihat foto itu pasti
celaka.
“katanya dulu pernah ada alumni di kelas
itu yang mati ketabrak
mobil setelah dia ngelihat wajah siswa yang bunuh diri di
foto
itu..ihh pokoknya serem banget!! Untung aku nggak masuk
kelas itu..”
ujarnya mengakhiri
cerita sembari mengusap-ngusap kedua tangannya yang kedinginan.
Percaya, atau tidak
tapi cerita itu cukup membuat semua bulu kudukku berdiri ketika mendengarnya.
Hujan sudah mulai reda, kami bubar dari halteu bis dan berjalan menuju sekolah.
Siswa perempuan yang tadi berada disampingkupun ikut berjalan bersama kami.
Wajahnya tampak pucat pasi, mungkin ia sama takutnya sepertiku setelah
mendengar cerita itu, tapi dia benar-benar sangat manis. Aku tak bisa berhenti
memperhatikannya, sampai ku sadari ia juga ternyata teman sekelasku. Dia duduk
di bangku depan tepat di sampingku.
“hai, namaku Randi..”
Sapaku berusaha
mendekatinya. Ia tersenyum dan balas menjabat tanganku.
“aku Riani..”
Jawabnya manis.
“perasaan waktu acara MOS aku nggak lihat
kamu deh??”
Tanyaku padanya.
“udah seminggu aku sakit, jadi baru bisa
masuk sekolah hari ini!”
"ohh..pantes aku lihat wajah kamu agak
pucet! Kirain kamu juga
takut denger cerita tadi..”
“itu juga
sih..geje banget ya anak-anak yang tadi..pake cerita
hantu segala di kelas ini lagi!”
ujarnya kesal, tapi
tetap terlihat manis.
“hehe..udahlah nggak usah dipikirin,
paling Cuma cerita hoax
aja..”
Jawabku santai
dihadapannya. Tapi padangannya tampak kosong tertuju pada bangku paling
belakang di kelas kami. Bangku kosong yang diceritakan tadi. Akupun teringat
dan mulai mencari bingkai fotonya juga, disana, tepat disamping papan tulis,
sebuah bingkai foto usang dan buram. Bulu kuduk kami berdua kembali berdiri,
apalagi suasana kelas saat itu masih tampak sepi. Baru ada kami berdua disana.
entah kenapa aku mendekati bingkai foto itu, dan seperti ada rasa penasaran
yang besar untuk melihatnya, tapi untungnya Riani segera mencegahku.
“ mending kita ngobrol diluar aja yuk!”
Ajaknya padaku. Aku
hanya manggut dan mengikutinya. Kami berjalan keluar kelas bersama. Di tengah
jalan kami berpapasan dengan seorang guru. Ia menatap kearah kami dengan
tatapan tajam tak mengenakan. Mata bolornya dengan kaca mata tebal terus
memperhatikan kearah Riani.
“Dasar guru
cabul, nggak bisa lihat yang bening dikit!” pikirku saat itu.
“soal cerita yang tadi pagi, aku masih
kepikiran nih? Itu beneran
atau Cuma hoax Aja ya??”
Gumam Riani gelisah.
“aku juga nggak tahu pasti..”
Jawabku.
“hmm..kenapa dia bunuh diri ya??”
“kalau itu katanya sih, gara-gara dia
ketahuan mencuri barang milik
temannya, Mungkin karena malu..dia jadi
mutusin buat bunuh diri!”
“kasihan
ya??”
Ujar Riani lirih
sembari berhenti dan menatap ke bawah dari lantai dua tempat kami berada.
“kenapa kasihan?”
Tanyaku tak
mengerti.
“rasanya pasti sakit jatuh dari sini..”
Ujarnya lagi semakin
lirih.
“darimana kamu tahu kalau dia mati bunuh
diri karena loncat dari
sini?”
“Cuma nebak aja..”
Riani menatapku
sembari tersenyum, kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Kami berdua
berjalan menuju kantin sekolah.
“Randi, kalau boleh aku tahu kamu lulusan
SMP mana?”
Tanyanya manja,
sembari menyuruput sekotak susu stawberry di tangannya.
“aku lulusan SMP Mutiara Bangsa, kamu?”
Jawabku.
“Mutiara Bangsa??”
Kulihat Riani tampak
mengerutkan dahinya.
“kenapa?”
Tanyaku tak
mengerti.
“enggak, tapi kalau nggak salah bukannya
SMP Mutiara bangsa itu
udah ditutup tiga tahun yang lalu ya? Gara-gara kebakaran??”
jawabnya bingung.
“ahk..masa sih! Mungkin kamu salah denger!
SMP Mutiara bangsa
yang lain kali! Kamu belum jawab pertanyaanku? Kalau kamu
lulusan
SMP mana?”
“iya, kali ya? Aku Lulusan SMPN 1..”
“widih, berarti kamu pinter donk ya?
Itukan SMP favourit! Aku juga
dulu pengen masuk kesana..”
ia hanya tersipu
malu mendengar jawabanku.
“terus kenapa kamu nggak masuk kesana? Apa
karena kamu kurang
pinter??”
Tanyanya sarkatis.
“orang tuaku Cuma pegawai biasa, biaya
disana kan mahal? Aku nggak
mau merepotkan mereka..”
jawabku lesu.
“umm..so sweet!! Anak yang baik!!”
Ujarnya sembari
mengelus-ngelus kepalaku. Senyumnya saat itu benar-benar manis.
kami banyak
mengobrol berdua dikantin. Mengasyikan. Kulihat beberapa orang yang ada disana
terus memperhatikan kearah kami, terutama pada Riani. Mungkin karena dia sangat
manis.
“kamu bilang kamu nggak ikutan MOS
gara-gara sakit? Emang kamu sakit
apa?”
Ia hanya menjawab
pertanyaanku dengan senyuman kemudian beranjak dari duduknya.
Bel masuk berbunyi
kami kembali berjalan menuju kelas. Beberapa yang lain mulai berlari karena
takut guru yang mengajar sudah masuk lebih dulu dari mereka. Aku dan Riani pun
ikut sibuk berlari. ia membiarkan tangannya berada digenggamanku. Senang, dan
bahagia. Mungkin aku jatuh cinta. Pikiran laki ku muncul.
Tapi sedang
asyik-asyiknya kami berlari bersama tiba-tiba guru berkacamata tebal itu
langsung menghentikan langkah kami berdua, ia tak berhenti menatap wajah Riani,
yang tampak ketakutan melihatnya. Aku mecoba berdiri dihadapannya, dengan
tatapan sinis. Tapi guru itu malah langsung menarik tangan Riani dan membawanya
pergi ke ruang guru. Ia menutup pintu dan tak membiarkanku masuk. Aku marah dan
kesal, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, dengan langkah gontai akhirnya aku
berjalan sendiri kembali ke kelas. Sudah ramai orang disana. aku duduk di
bangku ku dan menunggu Riani kembali dari ruang guru.
Pelajaran dimulai
tapi Riani belum juga kembali. Hingga bel istirahat berbunyi batang
hidungnyapun tak kelihatan lagi. Aku berusaha mencarinya di ruang guru, tapi
disana tak ada siapa-siapa. saat aku kembali ke dalam kelas kulihat tas Riani
juga sudah tak ada. Aku merengut lesu dibangkuku. Sampai samar kudengar dua orang
teman sekelasku terlihat sibuk membicarakan Riani dari luar kelas.
“kasihan ya si Riani!”
Ujar mereka miris.
“hmm, baru aja bisa masuk sekolah hari
ini, eh udah masuk rumah
sakit lagi!Katanya kondisinya makin kritis ya?”
“hmm..”
Jawab yang lain mengangguk
lesu. Aku menghampiri mereka, dan berusaha bertanya tentang apa yang sebenarnya
terjadi padanya. Tapi belum sempat aku bertanya tiba-tiba seseorang yang lain
berlari menghampiri kami dengan wajah pucat pasi. Ia terlihat panik sembari
mengenggam hanphonenya.
“temen-temen! Tadi aku dapat SMS dari Pak
Ilham, katanya jam 10
pagi tadi Riani meninggal di rumah sakit..”
ujarnya
terenggah-enggah.
“innalillahi..”
Jawab beberapa
diantara mereka seketika.
Rasanya kakiku lesu,
aku tak bisa menapak pasti. Tak percaya, bagaimana bisa? Riani meninggal begitu
saja? Padahal tadi saat bersamaku ia terlihat baik-baik saja. Aku berlari
mencari guru berkacamata tebal tadi untuk meminta penjelasan darinya. karena
ini semua terjadi setelah Riani ikut bersamanya. Aku kembali berlari menuju
ruang guru, tapi ia tak ada disana, aku mencarinya di lapang, di kantin, di lorong
ia tak juga ada disana. aku tak bisa menemukannya dimanapun. Setelah lelah
mencari, aku putuskan untuk kembali ke dalam kelas. Tak ada siapa-siapa disana.
mungkin mereka semua pergi untuk melayat ke rumah sakit. Aku duduk lesu di
bangku kelasku. Sembari menangis pilu meratapi nasibnya.
Sampai tiba-tiba aku
teringat pada cerita tadi pagi, di dalam kelasku, aku ingat terakhir kali Riani
menatap kosong bangku berhantu di belakang kami. Mungkinkah karena itu Riani
mati? Pikirku sekilas tapi rasanya tidak mungkin, tidak mungkin hanya karena
melihat bangku kosong saja ia bisa langsung meninggal.
aku benar-benar tak
mengerti, guru berkacamata tebal itupun tak bisa aku temui. Karena penasaran ku
dekati bangku kosong itu. bangku usang yang terlihat biasa. Tak ada yang aneh
darinya.
Aku kembali ke
mejaku.
“apa mungkin Riani ada disana?”
Pikiran gilaku
muncul. aku mulai melirik bingkai foto disamping papan tulis. Rasa penasaran
tiba-tiba menyelimutiku, terpintas dikepalaku beberapa tingkah Riani yang
sedikit aneh, jangan-jangan orang yang bersamaku sepanjang hari ini adalah
orang dalam foto itu. bulu kudukku kembali berdiri kaku. Aku ingin, aku sangat
ingin melihat wajah siswa yang bunuh diri 35 tahun yang lalu.
Kudekati bingkai
foto itu perlahan. Dengan rasa takut dan was-was. Semakin dekat semakin sedikit
jelas. Wajahku kini berada tepat di hadapannya dan mataku terus mencari sosok
itu. sampai aku berhenti di barisan kedua paling sudut. Seorang siswa duduk
tersenyum disana. menatapku dengan tatapan menakutkan. Kakiku semakin lesu dan
wajahku mulai pucat pasi. Aku berteriak menjauhi bingkai foto itu. dan duduk
meringkuk disudut kelas. Rasanya benar-benar sulit dipercaya apa yang kulihat
itu.
“Tidak...Tidak...!!”
Teriakku tak karuan.
Kudengar suara langkah kaki seseorang mulai mendekatiku. Dan berdiri
dihadapanku. Aku menatapnya ketakutan. Tapi ia hanya memandangku pilu.
“satu orang lagi pergi..”
Ujarnya padaku. Si
guru berkacamata tebal. Aku hanya bisa menangis ketakutan, dan menatapnya
ketakutan.
“satu orang lagi pergi, dan itu
karenamu!!”
Ujarnya dingin.
“Tidak..”
“berapa kali aku harus memberitahumu? Kamu
sudah mati..”
“tidak..”
“kamu tidak pernah ada, sejak 35 tahun yang lalu..”
“kamu tidak pernah ada, sejak 35 tahun yang lalu..”
“tidak..”
Aku tertelungkup
lesu disudut ruang kelas. Teringat kejadian 35 tahun yang lalu. hujan di bulan
November. Aku ingat anak-anak dikelas mengejekku karena pakaian lusuh dan
sepatu butut yang aku kenakan. Setiap hari seperti itu. mereka membuatku jadi
bulanbulanan mereka. Satu hari seseorang mengadu kehilangan uang SPPnya. Semua
tas diperiksa termasuk milikku, aku tak tahu apa-apa. Tiba-tiba mereka
menuduhku mencurinya. Aku berkata tidak,
tapi satupun tak ada yang mau percaya. Hujan hari itu semakin deras. Aku duduk
disudut lorong, melihat kebawah. Butiran hujan seperti rajaman pisau dimataku. Dan
dapat kurasakan bagaimana sakitnya jatuh dari sana, mencium tanah, dan berbaur
bersama hujan.
* * * *
No comments:
Post a Comment