# Itu Bukan Mimpi
Aku ada
disana. Sebuah ruangan putih, lengkap dengan alat bantu pernafasan, Infus dan
tabung Oxigen tapi ini aneh. Karena aku sendiri melihat diriku tengah terbaring
disana. Koma, dengan perban dan gips di kepala dan kedua tangan kakiku. Hanya aku sendiri, tak ada yang menemani dan
juga mengunjungiku.dingin. Tak ada bunga segar yang meramaikan kamar tempatku
dirawat. Kemana Indra, kemana Umar. Aku menangis melihat diriku sendiri yang
terbaring lemah tanpa ada yang peduli.
Dari situ entah kenapa
tiba-tiba aku ada di satu tempat, sebuah gedung dengan dekorasi penuh bunga
juga tiang-tiang tinggi, stand makanan
dan juga sebuah pelaminan. Sebuah lagu cinta mengema lembut disana. Ramai
orang, mereka tertawa dan tampak bahagia. Aku tidak mengerti apa maksud dari
semua itu Sampai Aku melihat Umar, ia tampan dengan jas berwarna putih yang ia
kenakan. Wajahnya segar, beseri. Tersenyum dan menyapa banyak orang yang ia
temui. Tapi hatiku malah semakin sedih melihatnya seperti itu. ia tersenyum dan
menyapa banyak orang sembari mengandeng tangan seorang wanita. Dengan satu gaun pengantin yang serasi
dikenakan Umar. Aku melihatnya sembari menangis tersedu-sedu. Berharap Umar
dapat melihatku saat itu. tapi apa, ketika Umar melihatku. Ia hanya mengacuhkanku,
dengan kedua matanya yang tampak kecewa.
Aku menangis sampai
sesegukan, rasanya sedih sampai mau mati. Aku menangis tapi tidak ada yang
memperdulikanku. Hingga akhirnya kedua mataku terbuka, dan langit-langit kamar
usangku menyadarkanku segera dari mimpi buruk itu. nafasku tak menentu, dan
mataku masih tampak basah. Aku bangun dan kembali memperhatikan sekeliling.
Semua masih sama seperti kemarin, aku segera berlari menuju cermin. dan tetap
melihat diriku yang masih berusia 15 tahun disana. Tapi entah kenapa ada
sedikit perasaan lega. Karena aku tak mau apa yang kualami tadi adalah sebuah
kenyataan.
“apa itu mimpi?”
Tanyaku didepan cermin masih dengan nafas yang
tersenga-sengal. Tiba-tiba terdengar
suara seseorang mengetuk pintu kamar. Ketika ku buka, terlihat ayahku sudah
berdiri disana sembari membawakan ku sebuah nasi bungkus. Ia berkata dengan
bahasa isyaratnya. Memintaku untuk segera makan. Ia berkata bahwa ia khawatir
aku tidak makan dari kemarin malam, aku berusaha mengusirnya. Tapi ia tetap
bersikeras memaksaku untuk makan. Hingga akhirnya aku menyerah dan menuruti
kemauannya.
Ia duduk disampingku ketika aku tengah makan,
memperhatikanku sembari tersenyum lugu. Dan kemudian membelai rambutku dengan
perasaan sedih. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang aku lakukan hanya membuang mukaku
darinya. Aku tak mau melihatnya, karena itu hanya akan membuatku ingat dengan
semua kejadian buruk diantara kami. setelah selesai makan, ia langsung
menyodorkan seragam sekolahku. Memintaku untuk bersiap pergi ke sekolah. Ia
ingin agar aku pergi, ia mengancam bahwa ia sendiri yang akan mengantarkanku ke
sekolah jika aku tak mau dan ia juga mengancam akan terus mengikutiku, agar aku
tak membolos lagi seperti kemarin.
“aku
melakukan ini, karena kamu memaksaku!!”
Ujarku kesal padanya, saat aku akan berangkat. Tapi ia
hanya tersenyum, dan merapihkan sedikit pakaianku, kemudian menyuruhku untuk
segera pergi. Begitu aku keluar rumah, aku berpapasan dengan Umar. Kupikir dia
akan berhenti dan menawarkan boncengan di sepedanya untukku. Tapi ternyata aku
salah, dia hanya lewat dan mengabaikanku begitu saja.
“anak
itu, dasar menyebalkan!”
Ujarku kesal, sembari menutup gerbang pintu rumah.
sambil berjalan pergi ke sekolah, aku tak bisa berhenti memikirkan apa yang
sudah terjadi. aku masih percaya bahwa apa yang kualami ini hanya sebuah mimpi.
tapi kenapa semuanya tak berubah. Kenapa semuanya terasa seperti kenyataan. dan
mimpi yang kualami malam itu. membuatku merasa semakin ketakutan. Aku takut
kembali ke masa depan, jika kejadiannya akan sama seperti apa yang kualami di
dalam mimpi itu, tapi aku juga tidak mau terjebak dimasa lalu ini. Aku bingung.
Dan terlalu serius berpikir sampai-sampai aku tak memperhatikan jalan didepanku
dan menabrak sebuah tiang listrik.
“akh...”
Teriakku kesakitan sembari mengelus-ngelus kepalaku
yang masih ada luka perban. Itu memalukan dan menyakitkan. aku tidak tahu
kenapa, tiba-tiba Umar kembali dan menolongku bangun dari sana. Ia turun dari
sepedanya dan menghampiriku seraya mengusap-ngusap keningku agar tak terasa
sakit.
“kamu
tidak apa-apa?”
Tanyanya baik seperti biasa. Aku hanya menggelengkan
kepala. dan bangkit dari sana.
“harusnya
kamu hati-hati, apa yang kamu pikirkan sampai tidak menyadari kalau ada tiang
di depan?”
“bukan
apa-apa...”
Umar hanya memperhatikanku, sembari kembali menaiki
sepedanya.
“ayo
naik!”
Ujarnya kemudian sembari memberikan boncengan untukku.
Saat itu aku merasa senang juga kesal. dia baik dan begitu kekanak-kanakan, aku
bahkan bisa melihat bias wajahnya yang merona merah karena malu. Aku kembali
naik ke boncengan sepedanya. Jalan, lapangan, dan gang pinggir sungai. Menjadi
pemandangan sepanjang perjalanan kami.
“kemarin
kamu pergi kemana?”
Tanya Umar yang sibuk mengoes sepedanya.
“bukan
urusanmu, berhenti bertanya tentang masalah orang lain..”
Ujarku kesal. tiba-tiba sepeda berhenti, dengan suara
rem yang nyaring di telingaku. Umar berbalik dan menatapku sinis.
“kamu
itu kenapa? Sejak aku tidak sengaja membuatmu jatuh dari sepeda kemarin, sikap
kamu jadi aneh,
kamu jadi kasar dan kurang ajar, kamu juga bicara
pake logat-logat yang aneh.. kamu bahkan
bolos dari sekolah, kemarin Agita pulang
sambil menangis karena kamu menunjuk-nunjuk kepalanya seperti
orang bodoh..”
Ujar Umar kesal.
“orang
seperti dia memang pantas di perlakukan seperti itu..”
Jawabku acuh tanpa merasa berdosa, tapi Umar malah
menatapku dengan tatapan semakin marah dan tak mengerti.
“orang
seperti dia?memang dia orang seperti apa menurutmu?”
“lupakan
saja..anak kecil sepertimu tidak akan mengerti..”
Jawabku kemudian sembari turun dari boncengan Umar,
aku sedih dan marah. Aku menyukai Umar dari dulu. Saat kami masih sama sama
duduk di bangku SMP seperti sekarang ini. Dia satu-satunya orang yang baik
padaku dari dulu sampai sekarang. Tapi kebaikannya itu hanya sebatas rasa pertemanan.
Pada akhirnya cinta yang kumilki harus bertepuk sebelah tangan, karena Umar hanya
menyukai Agita begitu juga Agita. Atas nama persahabatan aku menyerah untuk
terus menyukai Umar dan membuat jarak diantara kami. tapi apa yang dilakukan
Agita padaku, dia malah merebut Indra, orang yang sudah susah payah berusaha aku
sukai. apa itu yang dilakukan teman, apa
itu yang dilakukan sahabat. Dia tidak lebih dari seorang munafik. Dan itu yang
membuatku membencinya sekarang. Karena dia pula aku mengalami kecelakaan saat
itu, yang membuatku kembali ke masa ini. kalau saja aku tak terpukul ketika melihatnya
tengah berduan di apartemen bersama Indra, aku tak akan lari keluar, aku tak
akan tertabrak mobil box itu, aku tidak akan kembali jadi seperti ini. semua
kemalanganku ini terjadi karena dia. Si serigala berbulu domba.
* * *
Aku lanjutkan perjalananku
dengan berjalan kaki pergi ke sekolah, turun dari boncengan Umar dan
meninggalkannya yang hanya diam terpaku ditempat dengan perasaan dongkol. Sambil terus memikirkan bahwa Agita memanglah
penyebab dari semua ini. saat itu aku berjanji jika ini mimpi sekalipun, aku
akan membuat gadis itu membayar apa saja yang sudah ia lakukan padaku. tidak
peduli, dia Agita yang dulu atau Agita di masa depan. Aku sudah kepalang
membencinya.
Pucuk
dicinta ulampun tiba, hari itu begitu sampai di gerbang sekolah aku berpapasan
dengan Agita yang tengah memarkir sepedanya. Aku perhatikan dari tempatku
berdiri, ia hanya memandangiku sambil tertunduk lesu. Aku berjalan
mendekatinya, dan memasang wajah sedih tanda penyesalan.
“soal
yang kemarin, aku minta maaf..seharusnya aku tidak bersikap seperti itu..”
Ucapku berusaha meyakinkannya. Dia menatapku sebentar
dengan perasaan iba.
“nggak
apa-apa, aku tahu..kamu pasti tidak sengaja melakukannya..”
Jawabnya kemudian sembari menyunggingkan senyum
polosnya.
“hmm,
kemarin aku masih pusing, kepalaku sakit..mungkin karena itu aku jadi
uring-uringan..”
Tambahku sembari mengandeng lengannya, dan mengajaknya
berjalan bersama ke kelas. Sekilas kulihat dia mulai terlihat senang dan
mempercayai apa yang kukatakan.
“tapi
ngomong-ngomong kamu berani sekali bolos dari sekolah kemarin? gimana rasanya?
kalau aku pasti
sudah takut sebelum melakukannya...”
Tanya Agita penasaran.
“hmm,
rasanya menyenangkan.. jantungku berdebar !tegang! takut dipergoki..kamu juga
harus mecobanya lain kali..”
Jawabku bersemangat, tapi Agita hanya meringis
mendengarnya. Kami masuk ke dalam kelas. Umar yang memang sudah berada disana
langsung memandang heran ketika
melihatku sudah berbaikan dengan Agita, ia menatapku dengan pandangan penuh
kecurigaan. Aku benci melihatnya seperti itu, aku benci mengetahui Umar tengah
mengkhawatirkan Agita, aku benci mengetahui Umar lebih menyukai Agita dari pada
aku.
* * *
Aku ingat, hari itu tanggal
13 bulan Mei dimana kejadian mamalukan yang lainnya terjadi padaku. Saat jam
olahraga ,beberapa teman dikelas memintaku untuk mengambil bola di ruangan
peralatan. Saat itu aku tidak menyadari bahwa mereka sudah berniat menjahiliku
dengan seember air dan tepung yang mereka siapkan diatas pintu yang akan
langsung menimpa tubuhku begitu aku membukanya. Betapa memalukan dan
menyedihkannya keadaanku kala itu. dan kali ini, aku tidak akan membiarkan itu
terjadi, tidak untuk kedua kalinya.
Jam
olahraga saat praktek permainan bola volly, aku dan Agita duduk bersebelahan
menunggu giliran kami. kami mengobrol dan membahas tentang apa saja yang suka
kami tonton di televisi sepulang sekolah. Pembicaraan yang membosankan dimana
kami membahas sebuah drama tv yang pada jaman itu begitu di gandrungi banyak
orang. Saat aku pikirkan lagi, aku menyesal sudah menontonnya dan pernah
menyukainya sampai tak mau ketinggalan satu episodepun dulu. Karena pada
akhirnya ternyata drama itu sangat menyebalkan dengan seri yang begitu panjang
dan tak jelas akhirnya seperti apa.
Dari
sudut lain Umar terus memperhatikan kami, pandangannya tidak lepas dariku.
Bahkan ketika ia tengah praktekpun ia tak berhenti melirik kearahku. Seolah
merasa curiga dan ketakutan bahwa aku akan berusaha berbuat buruk pada Agita.
Itu yang aku pikirkan ketika melihatnya.
“Sani,
bisa tolong ambilkan beberapa bola di ruang peralatan, pak Tedy tadi menyuruhku
untuk mengambilnya
tapi aku takut, kamu tahu sendiri kan ruang
peralatan itu gelap..aku tidak berani masuk kedalam sana.. mau
ya..kamu kan baik!”
pinta salah seorang teman yang sudah kuduga
sebelumnya.
“mana
kuncinya..”
Jawabku malas.
“makasih..kamu
baik banget!!”
Ujarnya sambil tersenyum dan memberikan kunci ruang
peralatan. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengajak Agita untuk menemaniku
pergi kesana.
“Agita,
temani aku ya? Aku tidak bisa membawa semua bola itu sendiri..”
Pintaku padanya. Dia hanya mengangguk senang dan ikut
beranjak menemaniku pergi ke ruang peralatan. Begitu kami sampai di depan ruang
peralatan, aku memberikan kunci ruangan itu pada Agita, memintanya untuk masuk
lebih dulu dan mengambil beberapa bola sementara aku beralasan ingin pergi ke
kamar mandi sebentar. Dia tentu tidak
tahu maksudku yang sebenarnya, dan mempercayainya begitu saja. aku pergi
berlari dari tempat itu, dan membiarkan dirinya berada diposisiku, menerima
perlakukan buruk yang dulu pernah kuterima, samar kudengar suara jeritannya.
Aku berhenti dan kembali berlari menghampiri ruang peralatan. Disana Agita
sudah terlihat kacau balau dengan tepung dan air yang memenuhi sekujur
tubuhnya. Aku tersenyum senang, sesaat sebelum sampai disana.
“kenapa
bisa sampai begitu?”
Tanyaku pura-pura keheranan begitu aku sampai disana,
Agita hanya diam berdiri ditempatnya dan menangis sesegukan. Ia menangis
sembari menutup mukanya yang terlihat sudah dipenuhi tepung juga air. Aku tidak
tahu kenapa, tiba-tiba Umar sudah berada dibelakang kami, wajahnya terlihat
khawatir, ia mendorongku dan berusaha membantu Agita seorang diri.
“kamu
nggak apa-apa, Ta?aku bantu bersihkan ya..”
Tanya Umar khawatir sembari membawa Agita pergi ke
kamar mandi. aku hanya bisa mengikuti mereka dari belakang. Kesal. ketika
melihat Umar tampak begitu perhatian pada Agita. Aku ingat saat itu, Umar juga
yang membantuku dan membawaku ke kamar mandi. tiba-tiba aku merasa sedih,
karena meskipun aku tidak terkena tepung hari ini. kenangan tentang Umar yang
membantuku kala itu, hanya ada dalam ingatanku saja sendiri. Yang Umar akan
ingat hanya dia yang membantu Agita, bukan aku.
No comments:
Post a Comment