Monday, February 4, 2013

Cerbung : Kala Kembali #2



# Itu Bukan Mimpi
    Aku ada disana. Sebuah ruangan putih, lengkap dengan alat bantu pernafasan, Infus dan tabung Oxigen tapi ini aneh. Karena aku sendiri melihat diriku tengah terbaring disana. Koma, dengan perban dan gips di kepala dan kedua tangan kakiku.  Hanya aku sendiri, tak ada yang menemani dan juga mengunjungiku.dingin. Tak ada bunga segar yang meramaikan kamar tempatku dirawat. Kemana Indra, kemana Umar. Aku menangis melihat diriku sendiri yang terbaring lemah tanpa ada yang peduli.
Dari situ entah kenapa tiba-tiba aku ada di satu tempat, sebuah gedung dengan dekorasi penuh bunga juga tiang-tiang tinggi,  stand makanan dan juga sebuah pelaminan. Sebuah lagu cinta mengema lembut disana. Ramai orang, mereka tertawa dan tampak bahagia. Aku tidak mengerti apa maksud dari semua itu Sampai Aku melihat Umar, ia tampan dengan jas berwarna putih yang ia kenakan. Wajahnya segar, beseri. Tersenyum dan menyapa banyak orang yang ia temui. Tapi hatiku malah semakin sedih melihatnya seperti itu. ia tersenyum dan menyapa banyak orang sembari mengandeng tangan seorang wanita.  Dengan satu gaun pengantin yang serasi dikenakan Umar. Aku melihatnya sembari menangis tersedu-sedu. Berharap Umar dapat melihatku saat itu. tapi apa, ketika Umar melihatku. Ia hanya mengacuhkanku, dengan kedua matanya yang tampak kecewa.
Aku menangis sampai sesegukan, rasanya sedih sampai mau mati. Aku menangis tapi tidak ada yang memperdulikanku. Hingga akhirnya kedua mataku terbuka, dan langit-langit kamar usangku menyadarkanku segera dari mimpi buruk itu. nafasku tak menentu, dan mataku masih tampak basah. Aku bangun dan kembali memperhatikan sekeliling. Semua masih sama seperti kemarin, aku segera berlari menuju cermin. dan tetap melihat diriku yang masih berusia 15 tahun disana. Tapi entah kenapa ada sedikit perasaan lega. Karena aku tak mau apa yang kualami tadi adalah sebuah kenyataan.
“apa itu mimpi?”
Tanyaku didepan cermin masih dengan nafas yang tersenga-sengal.  Tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamar. Ketika ku buka, terlihat ayahku sudah berdiri disana sembari membawakan ku sebuah nasi bungkus. Ia berkata dengan bahasa isyaratnya. Memintaku untuk segera makan. Ia berkata bahwa ia khawatir aku tidak makan dari kemarin malam, aku berusaha mengusirnya. Tapi ia tetap bersikeras memaksaku untuk makan. Hingga akhirnya aku menyerah dan menuruti kemauannya.
Ia duduk disampingku ketika aku tengah makan, memperhatikanku sembari tersenyum lugu. Dan kemudian membelai rambutku dengan perasaan sedih. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang aku lakukan hanya membuang mukaku darinya. Aku tak mau melihatnya, karena itu hanya akan membuatku ingat dengan semua kejadian buruk diantara kami. setelah selesai makan, ia langsung menyodorkan seragam sekolahku. Memintaku untuk bersiap pergi ke sekolah. Ia ingin agar aku pergi, ia mengancam bahwa ia sendiri yang akan mengantarkanku ke sekolah jika aku tak mau dan ia juga mengancam akan terus mengikutiku, agar aku tak membolos lagi seperti kemarin.
            “aku melakukan ini, karena kamu memaksaku!!”
Ujarku kesal padanya, saat aku akan berangkat. Tapi ia hanya tersenyum, dan merapihkan sedikit pakaianku, kemudian menyuruhku untuk segera pergi. Begitu aku keluar rumah, aku berpapasan dengan Umar. Kupikir dia akan berhenti dan menawarkan boncengan di sepedanya untukku. Tapi ternyata aku salah, dia hanya lewat dan mengabaikanku begitu saja.
            “anak itu, dasar menyebalkan!”
Ujarku kesal, sembari menutup gerbang pintu rumah. sambil berjalan pergi ke sekolah, aku tak bisa berhenti memikirkan apa yang sudah terjadi. aku masih percaya bahwa apa yang kualami ini hanya sebuah mimpi. tapi kenapa semuanya tak berubah. Kenapa semuanya terasa seperti kenyataan. dan mimpi yang kualami malam itu. membuatku merasa semakin ketakutan. Aku takut kembali ke masa depan, jika kejadiannya akan sama seperti apa yang kualami di dalam mimpi itu, tapi aku juga tidak mau terjebak dimasa lalu ini. Aku bingung. Dan terlalu serius berpikir sampai-sampai aku tak memperhatikan jalan didepanku dan menabrak sebuah tiang listrik.
            “akh...”
Teriakku kesakitan sembari mengelus-ngelus kepalaku yang masih ada luka perban. Itu memalukan dan menyakitkan. aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba Umar kembali dan menolongku bangun dari sana. Ia turun dari sepedanya dan menghampiriku seraya mengusap-ngusap keningku agar tak terasa sakit.
            “kamu tidak apa-apa?”
Tanyanya baik seperti biasa. Aku hanya menggelengkan kepala. dan bangkit dari sana.
            “harusnya kamu hati-hati, apa yang kamu pikirkan sampai tidak menyadari kalau ada tiang di depan?”
            “bukan apa-apa...”
Umar hanya memperhatikanku, sembari kembali menaiki sepedanya.
            “ayo naik!”
Ujarnya kemudian sembari memberikan boncengan untukku. Saat itu aku merasa senang juga kesal. dia baik dan begitu kekanak-kanakan, aku bahkan bisa melihat bias wajahnya yang merona merah karena malu. Aku kembali naik ke boncengan sepedanya. Jalan, lapangan, dan gang pinggir sungai. Menjadi pemandangan sepanjang perjalanan kami.
            “kemarin kamu pergi kemana?”
Tanya Umar yang sibuk mengoes sepedanya.
            “bukan urusanmu, berhenti bertanya tentang masalah orang lain..”
Ujarku kesal. tiba-tiba sepeda berhenti, dengan suara rem yang nyaring di telingaku. Umar berbalik dan menatapku sinis.
        “kamu itu kenapa? Sejak aku tidak sengaja membuatmu jatuh dari sepeda kemarin, sikap kamu jadi aneh,
 kamu jadi kasar dan kurang ajar, kamu juga bicara pake logat-logat yang aneh.. kamu bahkan
 bolos dari sekolah, kemarin Agita pulang sambil menangis karena kamu menunjuk-nunjuk kepalanya seperti
 orang bodoh..”
Ujar Umar kesal. 
            “orang seperti dia memang pantas di perlakukan seperti itu..”
Jawabku acuh tanpa merasa berdosa, tapi Umar malah menatapku dengan tatapan semakin marah dan tak mengerti.
            “orang seperti dia?memang dia orang seperti apa menurutmu?”
            “lupakan saja..anak kecil sepertimu tidak akan mengerti..”
Jawabku kemudian sembari turun dari boncengan Umar, aku sedih dan marah. Aku menyukai Umar dari dulu. Saat kami masih sama sama duduk di bangku SMP seperti sekarang ini. Dia satu-satunya orang yang baik padaku dari dulu sampai sekarang. Tapi kebaikannya itu hanya sebatas rasa pertemanan. Pada akhirnya cinta yang kumilki harus bertepuk sebelah tangan, karena Umar hanya menyukai Agita begitu juga Agita. Atas nama persahabatan aku menyerah untuk terus menyukai Umar dan membuat jarak diantara kami. tapi apa yang dilakukan Agita padaku, dia malah merebut Indra, orang yang sudah susah payah berusaha aku sukai.  apa itu yang dilakukan teman, apa itu yang dilakukan sahabat. Dia tidak lebih dari seorang munafik. Dan itu yang membuatku membencinya sekarang. Karena dia pula aku mengalami kecelakaan saat itu, yang membuatku kembali ke masa ini. kalau saja aku tak terpukul ketika melihatnya tengah berduan di apartemen bersama Indra, aku tak akan lari keluar, aku tak akan tertabrak mobil box itu, aku tidak akan kembali jadi seperti ini. semua kemalanganku ini terjadi karena dia. Si serigala berbulu domba.

*                       *                       *

Aku lanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki pergi ke sekolah, turun dari boncengan Umar dan meninggalkannya yang hanya diam terpaku ditempat dengan perasaan dongkol.  Sambil terus memikirkan bahwa Agita memanglah penyebab dari semua ini. saat itu aku berjanji jika ini mimpi sekalipun, aku akan membuat gadis itu membayar apa saja yang sudah ia lakukan padaku. tidak peduli, dia Agita yang dulu atau Agita di masa depan. Aku sudah kepalang membencinya.
            Pucuk dicinta ulampun tiba, hari itu begitu sampai di gerbang sekolah aku berpapasan dengan Agita yang tengah memarkir sepedanya. Aku perhatikan dari tempatku berdiri, ia hanya memandangiku sambil tertunduk lesu. Aku berjalan mendekatinya, dan memasang wajah sedih tanda penyesalan.
            “soal yang kemarin, aku minta maaf..seharusnya aku tidak bersikap seperti itu..”
Ucapku berusaha meyakinkannya. Dia menatapku sebentar dengan perasaan iba.
            “nggak apa-apa, aku tahu..kamu pasti tidak sengaja melakukannya..”
Jawabnya kemudian sembari menyunggingkan senyum polosnya.
            “hmm, kemarin aku masih pusing, kepalaku sakit..mungkin karena itu aku jadi uring-uringan..”
Tambahku sembari mengandeng lengannya, dan mengajaknya berjalan bersama ke kelas. Sekilas kulihat dia mulai terlihat senang dan mempercayai apa yang kukatakan. 
            “tapi ngomong-ngomong kamu berani sekali bolos dari sekolah kemarin? gimana rasanya? kalau aku pasti
 sudah takut sebelum melakukannya...”
Tanya Agita penasaran.
            “hmm, rasanya menyenangkan.. jantungku berdebar !tegang! takut dipergoki..kamu juga
 harus mecobanya lain kali..”
Jawabku bersemangat, tapi Agita hanya meringis mendengarnya. Kami masuk ke dalam kelas. Umar yang memang sudah berada disana langsung memandang  heran ketika melihatku sudah berbaikan dengan Agita, ia menatapku dengan pandangan penuh kecurigaan. Aku benci melihatnya seperti itu, aku benci mengetahui Umar tengah mengkhawatirkan Agita, aku benci mengetahui Umar lebih menyukai Agita dari pada aku.

*                       *                       *

Aku ingat, hari itu tanggal 13 bulan Mei dimana kejadian mamalukan yang lainnya terjadi padaku. Saat jam olahraga ,beberapa teman dikelas memintaku untuk mengambil bola di ruangan peralatan. Saat itu aku tidak menyadari bahwa mereka sudah berniat menjahiliku dengan seember air dan tepung yang mereka siapkan diatas pintu yang akan langsung menimpa tubuhku begitu aku membukanya. Betapa memalukan dan menyedihkannya keadaanku kala itu. dan kali ini, aku tidak akan membiarkan itu terjadi, tidak untuk kedua kalinya.
            Jam olahraga saat praktek permainan bola volly, aku dan Agita duduk bersebelahan menunggu giliran kami. kami mengobrol dan membahas tentang apa saja yang suka kami tonton di televisi sepulang sekolah. Pembicaraan yang membosankan dimana kami membahas sebuah drama tv yang pada jaman itu begitu di gandrungi banyak orang. Saat aku pikirkan lagi, aku menyesal sudah menontonnya dan pernah menyukainya sampai tak mau ketinggalan satu episodepun dulu. Karena pada akhirnya ternyata drama itu sangat menyebalkan dengan seri yang begitu panjang dan tak jelas akhirnya seperti apa.
            Dari sudut lain Umar terus memperhatikan kami, pandangannya tidak lepas dariku. Bahkan ketika ia tengah praktekpun ia tak berhenti melirik kearahku. Seolah merasa curiga dan ketakutan bahwa aku akan berusaha berbuat buruk pada Agita. Itu yang aku pikirkan ketika melihatnya.
            “Sani, bisa tolong ambilkan beberapa bola di ruang peralatan, pak Tedy tadi menyuruhku untuk mengambilnya
 tapi aku takut, kamu tahu sendiri kan ruang peralatan itu gelap..aku tidak berani masuk kedalam sana.. mau
  ya..kamu kan baik!”
pinta salah seorang teman yang sudah kuduga sebelumnya.
            “mana kuncinya..”
Jawabku malas.
            “makasih..kamu baik banget!!”
Ujarnya sambil tersenyum dan memberikan kunci ruang peralatan. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengajak Agita untuk menemaniku pergi kesana.
            “Agita, temani aku ya? Aku tidak bisa membawa semua bola itu sendiri..”
Pintaku padanya. Dia hanya mengangguk senang dan ikut beranjak menemaniku pergi ke ruang peralatan. Begitu kami sampai di depan ruang peralatan, aku memberikan kunci ruangan itu pada Agita, memintanya untuk masuk lebih dulu dan mengambil beberapa bola sementara aku beralasan ingin pergi ke kamar mandi  sebentar. Dia tentu tidak tahu maksudku yang sebenarnya, dan mempercayainya begitu saja. aku pergi berlari dari tempat itu, dan membiarkan dirinya berada diposisiku, menerima perlakukan buruk yang dulu pernah kuterima, samar kudengar suara jeritannya. Aku berhenti dan kembali berlari menghampiri ruang peralatan. Disana Agita sudah terlihat kacau balau dengan tepung dan air yang memenuhi sekujur tubuhnya. Aku tersenyum senang, sesaat sebelum sampai disana.
            “kenapa bisa sampai begitu?”
Tanyaku pura-pura keheranan begitu aku sampai disana, Agita hanya diam berdiri ditempatnya dan menangis sesegukan. Ia menangis sembari menutup mukanya yang terlihat sudah dipenuhi tepung juga air. Aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba Umar sudah berada dibelakang kami, wajahnya terlihat khawatir, ia mendorongku dan berusaha membantu Agita seorang diri.
            “kamu nggak apa-apa, Ta?aku bantu bersihkan ya..”
Tanya Umar khawatir sembari membawa Agita pergi ke kamar mandi. aku hanya bisa mengikuti mereka dari belakang. Kesal. ketika melihat Umar tampak begitu perhatian pada Agita. Aku ingat saat itu, Umar juga yang membantuku dan membawaku ke kamar mandi. tiba-tiba aku merasa sedih, karena meskipun aku tidak terkena tepung hari ini. kenangan tentang Umar yang membantuku kala itu, hanya ada dalam ingatanku saja sendiri. Yang Umar akan ingat hanya dia yang membantu Agita, bukan aku.

*                       *                       *

PART III

No comments: