HANYA SATU
Sekitar sore
hari Indri akhirnya sampai di rumah sakit tempat Dion dirawat, langkahnya
gontai seakan tak mampu menanggung beban tubuhnya. Dari jauh Ia melihat Farida
yang tengah duduk sambil terus mengepal kedua tangannnya yang masih gemetar di
depan ruang operasi.
“Indri!”
Panggil wanita
itu ketika ia melihat Indri di ujung lorong.
“Dion?”
“masih di ruang operasi..”
Ia hanya
menundukan kepalanya, kemudian duduk di sebuah bangku rumah sakit. Lama mereka
menunggu di depan pintu ruang operasi, sambil bersandar pada bahu Farida yang
terus berdoa Indri hanya bisa mematung, padanganya kosong, bibirnya gemetar karena
menahan butiran air yang tak berhenti keluar dari matanya, wajahnya yang lusuh
itu terlihat semakin tak karuan.
Akhirnya
setelah dua jam mereka menunggu pintu itu pun terbuka, tampak para perawat
memindahkan belangkar dengan tubuh gadis kecil di dalamnya yang tampak tak
sadarkan diri dan penuh bekas luka, kedua tulang lengan dan kakinya patah,
sementara kepalanya mengalami gegar otak.
“bagaimana dokter?”
“apa keluarganya sudah datang?”
Farida hanya
menengok kearah Indri yang terus saja menundukan kepalanya.
“itu keluarganya?”
“iya, tapi dia kelihatannya masih terkejut!”
“kalau begitu ibu saja yang sebaiknya ikut saya ke ruangan! ada yang
perlu
saya sampaikan!”
“ibu kesana dulu ya Ndri, kamu
temani adikmu saja!”
Ujar Farida
sambil mendekati Indri yang masih tak bergeming.
“mari bu!”
Ajak Arya pada
wanita tua itu, sambil sedikit melirik kearah Indri. Keduanya berjalan menuju
ruang kerja Arya yang tak terlalu jauh dari ruang operasi.
“bagaimana keadaannya dok!”
“masa kritisnya sudah lewat, tapi
perlu perawatan intensif untuk luka di kepala
dan kakinya, jadi sudah pasti
harus dirawat inap..”
“berapa lama ya pak dokter kira-kira di rawatnya?”
“mungkin bisa 1 sampai 2 minggu..”
“2 minggu? Itu biayanya berapa?”
Tanyanya lagi.
“kalau itu bukan kewenangan saya!
ibu coba saja ke bagian administrasi..”
“tempatnya dimana ya?”
“ada di lantai dua koridor tiga, bu..”
“oh..makasih ya pak dokter! Saya
permisi..”
“silahkan!”
Begitu Dion
selesai di pindahkan Farida menyuruh Indri untuk segera pergi ke tempat
administrasi mengurus semua biaya pengobatan dan operasi Dion, Indri tampak
begitu takut untuk melihat besarnya biaya yang harus ia bayar. Langkahnya lesu sudah pasti biayanya yang
harus dikeluarkan sangatlah besar. Sepanjang jalan ia terus saja menghela nafas
sambil berusaha menenangkan dirinya.
“ahh...”
Gumam Arya
sambil bersandar pada kursi di ruang kerjanya, hari ini sungguh melelahkan
setelah melakukan proses operasi yang tak sebentar rasanya ia benar-benar lapar
apalagi tadi siang ia juga tak sempat makan apapun.
“waktunya makan!!”
ujarnya begitu
bersemangat sambil membereskan meja kerja yang tampak sangat rapih dengan
sebuah bingkai foto yang tak pernah ia usik sedikitpun, setelah lampu ruangan
kerjanya ia matikan, Arya bersiap untuk pulang. Tapi begitu ia hampir sampai di
tempat parkir, sambil merogoh saku celananya ia teringat handphone yang belum
dikembalikan wanita tua tadi padanya.
“bu..”
Panggil Indri
dari balik pintu ruang rawat.
“ada apa?”
Jawab Farida
sembari menghampiri gadis itu, sambil tetap menundukan kepalanya Indri lalu menyodorkan
semua biaya yang harus ia bayar pada wanita tua itu.
“10 juta?”
“saya harus bagaimana?”
Tanyanya lesu. Ia
benar-benar tak mampu menopang dirinya lagi, ia langsung duduk tersungkur
sambil mulai menangis lagi.
“apa yang harus saya lakukan?”
Keluhnya lirih,
Farida yang melihatnya seperti itu langsung memeluknya.
“kamu harus sabar!”
“kita bawa Dion pulang saja..”
Usulnya yang
sudah mulai tak masuk akal pada Farida.
“kita nggak mungkin bawa Dion pulang,
Ndri..keadaannya itu masih lemah!”
“tapi kalau kita biarkan Dion tetap
disini biayanya akan semakin membesar?”
“apa kamu nggak kasian sama adikmu?”
“lalu saya harus bagaimana? kalau begini terus saya yang bisa mati lebih
dulu?!bagaimana dengan saya!”
teriaknya sambil
terus menangis.
“kenapa? Kenapa harus saya yang mengalami semua ini, bu!! Kenapa mesti
saya!!”
Farida makin
memeluknya erat, anak ini pasti sangat menderita dengan semua yang menimpanya,
suara hati perempuan tua itu sambil ikut menangis. tanpa mereka sadari di sisi lain sudah ada seseorang
yang tengah berdiri sambil memperhatikan adegan dramatis itu.
begitu keadaan
mulai tenang Farida menyuruh Indri untuk pulang dan datang lagi besok sore untuk menjemput dirinya juga Dion.
Akhirnya mereka
memutuskan membawa Dion pulang esok harinya. tak baik memang, tapi menurut
Indri itu adalah jalan satu-satunya agar beban hidup yang selama ini ia pikul
sendiri tidak semakin bertambah. Sementara Farida yang sama-sama tak mampu juga
tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa mengiyakan saja pendapat Indri yang
terdengar egois itu.
Dingin, dunia
serasa tempat yang sangat menyedihkan untuk Indri. tak ada yang berjalan baik
sejak hari itu. tak ada lagi senyuman bahagia yang menyelimutinya setiap hari. Bahkan
Ia tidak pernah tersenyum, yang ia lakukan hanya menautkan kedua alisnya setiap
hari dan memikiran kesulitan yang terus membebani pundaknya. Setiap hari
semakin berat. Sampai membuatnya lupa bagaimana cara tersenyum.
* * *
“bagaimana keadaan adikmu?”
“sudah baikan pak..”
“istri saya langsung kaget waktu
mendengar Dion kecelakaan..”
“maaf karena membuat kalian khawatir..”
“kamu tahu kan, istri saya sayang
sekali sama adikmu..”
Indri kembali menundukan
kepalanya, ia tahu bagaimana kedua orang itu begitu menyayangi adiknya.
Itu karena wajah
Dion yang sama persis seperti putri Danu juga Sarah. Setiap melihat Dion mereka
selalu teringat putrinya yang meninggal
tiga tahun lalu karena tengelam. Dulu sebelum Sarah bertemu dengan Dion dia sempat
mengalami depresi berat.
Bahkan sehari
setelah kematian anaknya Sarah pernah mencoba menengelamkan dirinya ke laut, ia
berkata bahwa dari dalam sana ia terus mendengar suara anaknya memanggil-manggil
dirinya. Bak orang yang kehilangan akal Sarah sering berteriak-teriak histeris
sendiri, dan terkadang tertawa begitu keras tapi kemudian menangis, tapi yang
paling menakutkan jika wanita itu selalu mencoba mengakhiri hidupnya.
Danu sudah
hampir putus asa melihat kondisi istrinya itu. bahkan ia tak berani
meninggalkan Sarah sendirian di rumah ia takut jika nanti istrinya berbuat
nekat saat ia sedang tidak ada.
jadi karena itu
ia selalu membawa istrinya ke restoran tempatnya bekerja. Hingga akhirnya tiba
hari dimana Dion datang.
“pak hari ini ada yang mau
wawancara..”
“kalau sudah datang langsung suruh
ke kantor saya saja..”
hari pertama
dimana Indri melamar pekerjaan di tempat tempat Danu, sambil membawa adiknya
yang masih berumur 3 tahun Indri datang ke
restoran itu.
“kamu tunggu disini, kakak masuk dulu ke dalam..”
Perintahnya
Sambil mendudukkan Dion di sebuah kursi dekat seorang wanita yang nampak tengah
melamun. Begitu Indri pergi menuju ruang kerja Danu, Dion yang tengah asyik
memainkan bonekanya tiba-tiba beranjak dari kursinya sambil mendekati wanita
itu, tangan mungil Dion mencoba menggapai lututnya. sambil tersenyum polos Dion
menyodorkan boneka yang sedari tadi di peluknya pada wanita itu, yang akhirnya
membuatnya tersadar dari lamuan yang terus membelenggunya selama ini. Wanita itu menitikan airmata sambil menerima
boneka yang terus di sodorkan Dion padanya, ia lalu tersenyum kemudian
mengendong Dion kepangkuannya.
“jadi mulai besok saya sudah bisa bekerja disini..”
“satu bulan masa percobaan, setelah
itu baru teken kontrak..”
“terima kasih pak..”
“bekerja yang baik ya!”
Ketika mereka
berdua keluar dari kantor, alangkah terkejutnya Danu begitu melihat istrinya
tertawa sambil mengendong seorang gadis kecil di pangkuannya, sejak saat itu
hubungan Dion dan Sarah mulai dekat. Setiap Indri membawa Dion ke tempat kerja
wanita itu selalu datang sambil membawa banyak makanan untuknya.
* * *
Embun pagi
sudah membasahi seluruh dedaunan di rumah sakit. Farida yang tampak kelelahan
karena menjaga Dion semalaman akhirnya beranjak dari tempat duduknya, ia keluar sambil mengusap wajahnya dengan kedua
tangan, langkahnya yang perlahan tiba-tiba berhenti begitu ia bertemu dengan
seseorang di tengah koridor rumah sakit.
“selamat pagi bu..”
Sapa pria itu dengan
jas berwarna putih yang ia kenakan.
“ehh..pak dokter..selamat pagi..”
“habis jaga malam?”
“iya..”
Jawabnya
sembari tersenyum, tapi raut wajahnya tampak begitu kelelahan.
“ibu sudah makan?”
“belum..”
“kalau begitu ibu mau temani saya
makan kan?”
Ajak Arya
sambil menarik tangan perempuan tua itu.
“oh iya pak dokter ini handphonenya, kemarin saya lupa
mengembalikannya..terima kasih!”
“sama-sama..”
Jawab Arya
sambil mengantongi handphone tersebut. setelah mengantarkan Farida ke kamar
mandi untuk mencuci wajahnya yang tampak lelah terlebih dahulu, mereka lalu
berjalan menuju cafetaria yang tak jauh dari rumah sakit. Dua mangkuk bubur
hangat dan dua gelas teh manis jadi menu sarapan mereka pagi ini.
“maksud ibu, Dion mau dibawa
pulang?”
Tanyanya dengan
nada yang tidak percaya.
“soalnya mesti gimana lagi, keluarganya
tidak punya uang untuk membayar
semua biaya pengobatannya Dion..”
“tapi ibu kan tahu..Dion itu sedang kritis, dia tidak bisa menjalani
perawatan di
rumah? Yang ada lukanya malah
akan semakin parah, saya tidak mengerti
dengan pola pikir keluarganya?”
Ujarnya dengan
nada kesal.
“nak Arya bisa bicara seperti itu karena nak Arya orang berada, coba
kalau nak
Arya ada diposisi keluarganya?dia
itu kasian..ibu selalu sedih kalau melihat
wajahnya..”
mata wanita tua
itu tampak berkaca-kaca begitu mengungkitnya. menyakitkan. rasanya seperti dirinya
sendiri yang mengalami hal itu. sambil tetap diam ia berusaha menghapus
airmatanya yang selalu saja keluar ketika teringat kesulitan gadis itu. Arya
yang melihatnya hanya bisa merasa kasihan.
Setelah selesai
sarapan mereka berpisah di lorong dekat ruangan tempat dimana Dion dirawat. Begitu
wanita tua itu masuk ke dalam ruangan.
“dia itu
kasian..ibu selalu sedih kalau melihat wajahnya..”
yang dilakukan
Arya hanya bersandar di koridor sambil terus memikirkan perkataan yang keluar
dari mulut wanita tua tadi.
* * *
“aku pulang duluan ya!”
Pamit Indri
Pada Ririn dan beberapa teman kerjanya yang berada di ruangan itu.
Setelah selesai
membereskan pekerjaannya Indri bergegas pergi ke rumah sakit untuk menjemput
Dion pulang ke rumah. Dion masih belum sadar tapi Indri terus bersikukuh untuk
membawanya pulang, ia terus meyakinkan Farida dan dirinya sendiri untuk tetap
membawa anak itu keluar dari rumah sakit
hari ini.
“assalamualaikum bu..”
Salam Indri
sembari memasuki ruangan tempat Dion dan beberapa pasien anak-anak lain di
rawat.
“waalaikumsalam, kamu sudah datang
Ndri?’’
“iya..”
Jawabnya sambil
menaruh tas di atas meja.
“kamu beneran mau bawa Dion pulang?”
“iya.. ”
Jawabnya masih dengan
pendiriannya.
“tapi Dion masih belum sadar,
bagaimana kalau nanti dia kenapa-napa?”
Tanya Farida
yang berusaha menyakinkan kembali Indri untuk merubah pendiriannya.
“saya ke tempat administarsi dulu,
ibu bisa tolong beresin baju-baju Dion?”
Tapi ia seolah
tak mau mendengar perkataan Farida, biakan saja semua orang menganggapnya sebagai
orang jahat. Ia tak peduli. karena mereka tak tahu apa yang selama ini
dirasakannya. Semua yang ia alami sudah membuatnya menjadi orang yang sangat
egois, egois terhadap orang lain dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Ia sampai
di ruangan administrasi. Tampak beberapa orang sedang sibuk mengurus beberapa
berkas keuangan para pasien di rumah sakit itu.
“saya mau mengurus kepulangan pasien atas nama Dion Darisma..”
“sudah mau pulang hari ini?”
Tanya petugas
disana sambil tersenyum ramah padanya.
“iya..”
“tunggu sebentar ya..”
Jawab Perawat
itu sembari mencari data Dion. Dengan perasaan cemas Indri menunggu berapa
biaya yang harus dikeluarkannya. apa masih sebesar daftar yang ia terima jika
Dion harus dirawat selama dua minggu disana atau mungkin berkurang, ia kemudian
memeriksa isi dompetnya yang hanya berisikan uang 500ribu saja, itupun hasilnya
meminjam dari beberapa temannya di restoran dan seorang rentenir.
“biaya perawatannya sudah dilunasi
untuk 15 hari kedepan..”
“Lunas? Mungkin ada kesalahan bisa tolong
cek lagi?”
“sebentar..”
Petugas wanita
itu langsung mengecek kembali data di komputernya.
“Dion Darisma, umur 5 tahun 6 bulan
pasien rawat inap di bangsal melati,betul
itu kan?”
“iya...”
“semua biayanya sudah dilunasi..”
“tapi..siapa yang melakukannya? saya merasa belum
membayarnya sama sekali!”
“mungkin keluarga ibu yang lain yang
sudah membayar semua biaya
pengobatnnya?”
“keluarga saya?”
“betul! Apa ada yang mau ditanyakan lagi?”
Tanya Perawat
itu sembari tersenyum,
“tidak, terima kasih..”
Jawab Indri
yang tampak bingung sambil berjalan meninggalkan tempat administrasi tersebut. Tapi
ketika ia hendak kembali ke tempat Dion ia berpapasan dengan seseorang yang
sebenarnya tak mau ia temui lagi di depan pintu masuk sebuah lift. Pria itu terus memperhatikan Indri yang
berdiri di sampingnya.
“permisi..apa
kita pernah bertemu sebelumnya?”
Tanyanya pada
Indri, tapi ia hanya mengerutkan dahinya.
“benar..rasanya kita memang pernah
bertemu?saya lihat kamu malam hari, di
mobil..”
Ujarnya sambil
mengingat-ngingat sesuatu.
Tiba-tiba mimik
muka Indri berubah wajahnya tampak pucat, Ia berjalan memasuki pintu lift yang
sudah terbuka sambil memalingkan wajahnya dari pria itu dan mencoba menutup
pintu lift itu dengan segera.
“tunggu!!”
Cegat pria yang
tidak sengaja mengantarkannya pulang saat malam tahun baru, sembari menahan
pintu lift yang hampir sudah tertutup dengan tangannya.
“kenapa kamu langsung menutupnya
begitu saja? saya juga mau
menggunakan lift ini!”
ujar Pria itu
sambil berdiri disamping Indri.
“kenapa kamu terus memalingkan wajahmu! apa benar kita pernah bertemu?”
“tidak...mungkin kamu salah orang..”
Jawabnya pelan sambil
menundukan kepala.
“ah... sekarang aku ingat!kamu
perempuan yang menumpang mobilku itu kan?”
“bukan!”
“pasti kamu! tidak salah lagi! Apa
kamu kesini untuk memeriksakan kedua
matamu itu?”
tanya Arya
padanya, ia masih sangat kesal ketika dirinya dikira seorang supir oleh gadis
itu.
“kamu salah orang!aku sama sekali
tidak mengenalmu!”
“tidak mungkin aku salah orang! Sudah jangan menutupi wajahmu seperti
itu!”
Ujar Arya
sambil terus berusaha melihat wajah Indri, yang ditutupi dengan kedua
tangannya.
“jangan!”
Teriaknya di
dalam lift sambil mendorong tubuh Arya ke lantai, kebetulan di dalam lift itu
hanya ada mereka berdua.
“apa yang kamu lakukan?!”
Bentak Arya
yang mulai kesal sambil merapikan pakaiannya, tapi Indri tetap membuang
mukanya.
“kamu sendiri yang mulai
duluan..sudah ku bilang kamu salah orang!”
“kalau itu benar lalu kenapa kamu terus menyembunyikan wajahmu?”
Ia tak
menjawab.
“dasar perempuan aneh!”
Gumamnya sambil
meninggalkan lift itu.
“kenapa mesti ketemu lagi,sih?”
Sesal Indri
sambil menghela nafas dan turun dari lift itu juga.
“kenapa kamu kelihatan kesal
begitu?”
Tanya Farida
yang melihat gadis itu masuk sambil mengerutu sendiri.
“oo..nggak ada apa-apa bu!”
“kita pulang sekarang?”
Tanya Farida
yang sudah mempersiapkan semuanya.
“tidak usah, semua biaya pengobatan
Dion sudah di bayar lunas..”
“maksud kamu?’’
“kita nggak jadi pulang hari ini,
Dion masih bisa dirawat disini sampai dua minggu
kedepan..”
Jelasnya sambil
kembali kebingungan.
“Siapa yang melunasinya?”
Indri tak
menjawab pertanyaan itu, ia juga masih menerka-nerka siapa yang mungkin
melunasi biaya pengobatan adiknya itu.
“apa mungkin yang waktu itu menabrak
Dion?”
“perawat bilang keluarganya yang
membayar semua biaya rumah sakit..”
“apa mungkin?”
Perkataan
Farida terhenti tiba-tiba ia menebak seseorang yang bisa jadi menolong mereka.
“siapa?”
Tanya Indri penasaran,
tapi Farida hanya diam saja.
“mungkin, bu Danu..dia sayang sekali
sama Dion..”
“mungkin saja! bos kamu memang orang
yang baik..”
“kalau begitu saya harus berterima
kasih sama mereka..”
Tiba-tiba pada
saat yang bersamaan kedua orang itu datang ke rumah sakit dengan niatan
menjenguk Dion, Sarah yang terlihat sangat khawatir membawa sebuah boneka juga
buah-buahan untuk gadis kecil itu.
“ selamat sore..”
Sapa keduanya
sambil mendekati bangkar Dion.
“bagaimana keadaan Dion, Ndri? saya khawatir
sekali..sampai tidak bisa tidur”
“seperti yang ibu lihat, masih belum
sadarkan diri”
Jawab Farida
sambil menghela nafas.
“cepat sembuh ya sayang, biar kita
bisa main lagi?ibu khawatir sekali sama
kamu..”
Sayunya sambil
mengelus-ngelus kepala Dion.
“pak! ada yang mau saya bicarakan..”
“ada apa?”
Ajak Indri pada
Danu sembari keluar ruangan.
“saya mau berterima kasih..ibu sama
bapak sudah baik sekali pada saya juga
Dion”
“kamu ini apa-apaan? kamu tahu
sendirikan istri saya begitu menyayangi
adikmu”
“saya tahu pak, tapi melunasi biaya
pengobatan itu rasanya terlalu berlebihan .
saya tidak mau menyusahkan ibu
sama bapak terus-terusan, karena itu bapak
boleh potong gaji saya tiap
bulan, untuk membayar semua hutang saya..”
“kamu itu bicara apa? Biaya pengobatan?”
Tanya Danu yang
tak mengerti dengan perkataan Indri barusan.
“bukannya bapak yang membayar semua
biaya pengobatan Dion selama di
rumah sakit?”
“saya? saya tidak membayar apa yang
kamu maksudkan tadi..”
“kalau begitu apa mungkin ibu?”
“sebentar saya tanyakan?”
Mereka berdua
kembali masuk ke dalam ruangan.
“mah, apa kamu yang membayar semua
biaya rumah sakit Dion?”
“apa?”
Wanita itu
malah balik bertanya.
“bukan ibu juga?”
Tanya Indri
makin penasaraan.
“saya senang sekali kalau bisa
melakukannya, tapi sayang itu bukan saya?”
“jadi sebenarnya siapa yang membayar
semua biaya pengobatannya Dion?”
Tanya Indri
yang kembali kebingungan. Tapi tiba-tiba Farida pamit meninggalkan mereka
bertiga di ruangan itu, ia mencari seseorang yang mungkin saja benar. Langkah
tuanya terus melaju menyusuri koridor-koridor rumah sakit sambil mencari sosok
itu. dan akhirnya berhenti disebuah cafetaria. Dia disana, orang yang mungkin
saja benar. seseorang yang benar-benar datang untuk menolong mereka.
“nak Arya!”
Panggilnya pada
seorang dokter yang tengah asyik menikmati secangkir kopi hangat sendirian.
“bu Farida? Ada apa?”
Sapanya sambil
tersenyum.
“apa kamu yang melakukannya?”
Tanya wanita
tua itu tiba-tiba sembari menghampiri pria itu.
“maksud ibu apa, saya tidak
mengerti?”
“saya tahu..pasti kamu..kamu
orangnya..”
Ujar wanita itu
sambil terus mendekati Arya.
“terima kasih..saya benar-benar
berterima kasih!!”
Wanita itu
membungkuk sambil menangis.
“apa yang ibu lakukan? Jangan
seperti ini..”
“terima kasih..terima kasih..”
Hanya itu yang bisa
dikatakanya sambil terus menangis. ia merasa sangat bersyukur, melihatnya
seperti itu tiba-tiba Arya merasa ada suatu perasaan yang menekan di hatinya.
* * *
Dua minggu sudah
berlalu sejak kejadian di cafetaria. keadaan Dion semakin membaik setiap
harinya. Gadis kecil yang tak pernah mau bicara itu terus mengelus-ngelus
boneka kesayangannya sambil memakan makanan yang di berikan Farida untuknya ia tampak
begitu ceria.
“hari ini Dion sudah boleh pulang,
sebentar lagi kak Indri jemput Dion kesini!”
Ujar Farida
sambil mengikatkan rambutnya yang sama tebal dan panjangnya seperti rambut
Indri.
“permisi..”
Tiba-tiba Arya
datang sambil menyembunyikan sebuah boneka beruang putih besar di belakang
punggungnya.
“eh...nak Arya..”
“permisi bu..”
Ijinnya sambil
mendekati gadis kecil itu. dan tiba-tiba..
“Taadaa!!”
Ia berusaha
mengejutkan anak itu dengan boneka beruang yang selama ini ia sembunyikan di
belakang, tai gadis itu hanya diam tak bergeming.
“ ini buat Dion...”
sambil
memberikan boneka itu pada Dion yang baru tersenyum senang ketika menerimannya.
“hari ini sudah bisa pulang..”
“iya..terima kasih! kalau tidak ada
nak Arya, ibu tidak tahu apa yang akan
terjadi pada Dion, sampai
sekarang kakaknya juga masih belum tahu siapa
yang membayar biaya rumah sakit,
kalau dia bertemu denganmu! dia pasti
akan sangat berterima kasih”
ujarnya sambil
terus mengucapkan syukur.
“Tidak apa-apa, saya merasa tidak enak kalau ibu terus mengungkit
masalah itu..”
“maaf..”
“kalau begitu saya permisi dulu,
cepat sembuh ya?”
Pamitnya
sembari meninggalkan ruangan itu.
Sambil membawa
sebuah tas Indri datang ke rumah sakit, siang ini ia akan membawa Dion pulang.
“semuanya sudah siap bu?”
“sudah..”
“kalau gitu kita pulang
sekarang..ayo Dion!”
Ajak Indri
sambil mengendong adiknya itu. mereka berjalan meninggalkan ruangan setelah
sebelumnya berpamitan pada orang-orang yang berada disana. tapi saat ketiganya hendak
meninggalkan rumah sakit tiba-tiba Farida berjalan menghampiri seorang dokter
yang sedang bebincang dengan sesama
rekannya di depan pintu Rumah Sakit. Farida menarik tangan dokter itu dan
membawanya untuk bertemu dengan Indri. Akhirnya mereka bertemu.
“ibu selalu merasa harus
mempertemukan kalian berdua..”
Ujarnya sambil
tersenyum.
“dokter Arya, kenalkan ini kakaknya
Dion..”
Keduanya
terlihat begitu terkejut, mereka saling melirik satu sama lain dengan pandangan
sinis.
“kalian kenapa?”
“Oo,tidak! Sepertinya kita sering
bertemu ya? kenalkan nama saya Arya”
“Indri!”
Balasnya kikuk sambil
menjabat tangan Arya sebentar.
“kalian sudah pernah bertemu?”
Tanya Farida
penasaran, tapi Arya hanya tersenyum sambil sedikit melirik gadis itu.
“ayo kita pulang bu..”
Ajak Indri
segera.
“kalau begitu kami pamit dulu
dokter..”
“silahkan, hati-hati di jalan!”
Arya hanya
tertawa kecil sembari memandangi ketiganya yang mulai meninggalkan rumah sakit
itu. dunia memang sempit, gumamnya dalam hati. Pertemuan mereka seperti sebuah
kebetulan yang terlalu kebetulan. Mungkin Tuhan sedang merencanakan sesuatu
untuknya juga ketiga orang itu.
Sepanjang
perjalanan Indri hanya menghela nafas, ia tampak begitu terkejut saat bertemu
orang itu lagi, apalagi ternyata selama ini Farida mengenal orang itu.
“kenapa ibu bisa kenal dia?”
“dia siapa?”
“orang tadi..”
“oh..dokter Arya? dia yang merawat
Dion selama di rumah sakit, orangnya baik
ramah lagi!”
“maksud ibu orang itu dokter? Mana
mungkin?”
tanyanya
memperolok.
“memangnya kenapa kalau dia dokter?”
“tidak! aku hanya nggak percaya
kalau orang seperti dia bisa jadi dokter? pasti
gelar dokternya itu ia dapat
dengan uang..”
“sebaiknya kamu jaga ucapanmu! orang
itu punya nama, namanya Arya!!”
Sentak Farida
pelan sambil membawa Dion dari gendongan Indri. Indri terperangga belum pernah
ia mendengar Farida berkata seperti itu padanya selama ini hanya demi seseorang
yang baru dikenalnya.
* * *
No comments:
Post a Comment