Friday, December 16, 2011

Cerbung : Hanya Satu #3

part 3
-->
HANYA SATU
-->
Sekitar sore hari Indri akhirnya sampai di rumah sakit tempat Dion dirawat, langkahnya gontai seakan tak mampu menanggung beban tubuhnya. Dari jauh Ia melihat Farida yang tengah duduk sambil terus mengepal kedua tangannnya yang masih gemetar di depan ruang operasi.
            “Indri!”
Panggil wanita itu ketika ia melihat Indri di ujung lorong.
            “Dion?”
            “masih di ruang operasi..”
Ia hanya menundukan kepalanya, kemudian duduk di sebuah bangku rumah sakit. Lama mereka menunggu di depan pintu ruang operasi, sambil bersandar pada bahu Farida yang terus berdoa Indri hanya bisa mematung, padanganya kosong, bibirnya gemetar karena menahan butiran air yang tak berhenti keluar dari matanya, wajahnya yang lusuh itu terlihat semakin tak karuan.
Akhirnya setelah dua jam mereka menunggu pintu itu pun terbuka, tampak para perawat memindahkan belangkar dengan tubuh gadis kecil di dalamnya yang tampak tak sadarkan diri dan penuh bekas luka, kedua tulang lengan dan kakinya patah, sementara kepalanya mengalami gegar otak.
            “bagaimana dokter?”
            “apa keluarganya sudah datang?”
Farida hanya menengok kearah Indri yang terus saja menundukan kepalanya.
“itu keluarganya?”
“iya, tapi dia kelihatannya masih terkejut!”
“kalau begitu ibu saja yang sebaiknya ikut saya ke ruangan! ada yang perlu
  saya sampaikan!”
            “ibu kesana dulu ya Ndri, kamu temani adikmu saja!”
Ujar Farida sambil mendekati Indri yang masih tak bergeming.

            “mari bu!”
Ajak Arya pada wanita tua itu, sambil sedikit melirik kearah Indri. Keduanya berjalan menuju ruang kerja Arya yang tak terlalu jauh dari ruang operasi.
            “bagaimana keadaannya dok!”
            “masa kritisnya sudah lewat, tapi perlu perawatan intensif untuk luka di kepala
  dan kakinya, jadi sudah pasti harus dirawat inap..”
“berapa lama ya pak dokter kira-kira di rawatnya?”
“mungkin bisa 1 sampai 2 minggu..”
“2 minggu? Itu biayanya berapa?”
Tanyanya lagi.
            “kalau itu bukan kewenangan saya! ibu coba saja ke bagian administrasi..”
            “tempatnya dimana ya?”
            “ada di lantai dua koridor tiga, bu..”
            “oh..makasih ya pak dokter! Saya permisi..”
            “silahkan!”
Begitu Dion selesai di pindahkan Farida menyuruh Indri untuk segera pergi ke tempat administrasi mengurus semua biaya pengobatan dan operasi Dion, Indri tampak begitu takut untuk melihat besarnya biaya yang harus ia bayar.  Langkahnya lesu sudah pasti biayanya yang harus dikeluarkan sangatlah besar. Sepanjang jalan ia terus saja menghela nafas sambil berusaha menenangkan dirinya.
            “ahh...”
Gumam Arya sambil bersandar pada kursi di ruang kerjanya, hari ini sungguh melelahkan setelah melakukan proses operasi yang tak sebentar rasanya ia benar-benar lapar apalagi tadi siang ia juga tak sempat makan apapun.
            “waktunya makan!!”
ujarnya begitu bersemangat sambil membereskan meja kerja yang tampak sangat rapih dengan sebuah bingkai foto yang tak pernah ia usik sedikitpun, setelah lampu ruangan kerjanya ia matikan, Arya bersiap untuk pulang. Tapi begitu ia hampir sampai di tempat parkir, sambil merogoh saku celananya ia teringat handphone yang belum dikembalikan wanita tua tadi  padanya.
            “bu..”
Panggil Indri dari balik pintu ruang rawat.
            “ada apa?”
Jawab Farida sembari menghampiri gadis itu, sambil tetap menundukan kepalanya Indri lalu menyodorkan semua biaya yang harus ia bayar pada wanita tua itu.
            “10 juta?”
            “saya harus bagaimana?”
Tanyanya lesu. Ia benar-benar tak mampu menopang dirinya lagi, ia langsung duduk tersungkur sambil mulai menangis lagi.
            “apa yang harus saya lakukan?”
Keluhnya lirih, Farida yang melihatnya seperti itu langsung memeluknya.
            “kamu harus sabar!”
            “kita bawa Dion pulang saja..”
Usulnya yang sudah mulai tak masuk akal pada Farida.
            “kita nggak mungkin bawa Dion pulang, Ndri..keadaannya itu masih lemah!”
            “tapi kalau kita biarkan Dion tetap disini biayanya akan semakin membesar?”
“apa kamu nggak kasian sama adikmu?”
“lalu saya harus bagaimana? kalau begini terus saya yang bisa mati lebih
  dulu?!bagaimana dengan saya!”
teriaknya sambil terus menangis.
“kenapa? Kenapa harus saya yang mengalami semua ini, bu!! Kenapa mesti  
  saya!!”
Farida makin memeluknya erat, anak ini pasti sangat menderita dengan semua yang menimpanya, suara hati perempuan tua itu sambil ikut menangis.  tanpa mereka sadari di sisi lain sudah ada seseorang yang tengah berdiri sambil memperhatikan adegan dramatis itu.
begitu keadaan mulai tenang Farida menyuruh Indri untuk pulang dan datang lagi besok sore  untuk menjemput dirinya juga Dion.
Akhirnya mereka memutuskan membawa Dion pulang esok harinya. tak baik memang, tapi menurut Indri itu adalah jalan satu-satunya agar beban hidup yang selama ini ia pikul sendiri tidak semakin bertambah. Sementara Farida yang sama-sama tak mampu juga tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa mengiyakan saja pendapat Indri yang terdengar egois itu.
           
Dingin, dunia serasa tempat yang sangat menyedihkan untuk Indri. tak ada yang berjalan baik sejak hari itu. tak ada lagi senyuman bahagia yang menyelimutinya setiap hari. Bahkan Ia tidak pernah tersenyum, yang ia lakukan hanya menautkan kedua alisnya setiap hari dan memikiran kesulitan yang terus membebani pundaknya. Setiap hari semakin berat. Sampai membuatnya lupa bagaimana cara tersenyum.

*                                                           *                                               *

“bagaimana keadaan adikmu?”
            “sudah baikan pak..”
            “istri saya langsung kaget waktu mendengar Dion kecelakaan..”
            “maaf karena membuat kalian  khawatir..”
            “kamu tahu kan, istri saya sayang sekali sama adikmu..”
Indri kembali menundukan kepalanya, ia tahu bagaimana kedua orang itu begitu menyayangi adiknya.
Itu karena wajah Dion yang sama persis seperti putri Danu juga Sarah. Setiap melihat Dion mereka selalu teringat putrinya  yang meninggal tiga tahun lalu karena tengelam. Dulu sebelum Sarah bertemu dengan Dion dia sempat mengalami depresi berat.
Bahkan sehari setelah kematian anaknya Sarah pernah mencoba menengelamkan dirinya ke laut, ia berkata bahwa dari dalam sana ia terus mendengar suara anaknya memanggil-manggil dirinya. Bak orang yang kehilangan akal Sarah sering berteriak-teriak histeris sendiri, dan terkadang tertawa begitu keras tapi kemudian menangis, tapi yang paling menakutkan jika wanita itu selalu mencoba mengakhiri hidupnya.  
Danu sudah hampir putus asa melihat kondisi istrinya itu. bahkan ia tak berani meninggalkan Sarah sendirian di rumah ia takut jika nanti istrinya berbuat nekat saat ia sedang tidak ada.
jadi karena itu ia selalu membawa istrinya ke restoran tempatnya bekerja. Hingga akhirnya tiba hari dimana Dion datang.
            “pak hari ini ada yang mau wawancara..”
            “kalau sudah datang langsung suruh ke kantor saya saja..”
hari pertama dimana Indri melamar pekerjaan di tempat tempat Danu, sambil membawa adiknya yang masih berumur 3 tahun Indri datang ke  restoran itu.
“kamu tunggu disini, kakak masuk dulu ke dalam..”
Perintahnya Sambil mendudukkan Dion di sebuah kursi dekat seorang wanita yang nampak tengah melamun. Begitu Indri pergi menuju ruang kerja Danu, Dion yang tengah asyik memainkan bonekanya tiba-tiba beranjak dari kursinya sambil mendekati wanita itu, tangan mungil Dion mencoba menggapai lututnya. sambil tersenyum polos Dion menyodorkan boneka yang sedari tadi di peluknya pada wanita itu, yang akhirnya membuatnya tersadar dari lamuan yang terus membelenggunya selama ini.   Wanita itu menitikan airmata sambil menerima boneka yang terus di sodorkan Dion padanya, ia lalu tersenyum kemudian mengendong Dion kepangkuannya.
“jadi mulai besok saya sudah bisa bekerja disini..”
            “satu bulan masa percobaan, setelah itu baru teken kontrak..”
            “terima kasih pak..”
            “bekerja yang baik ya!”
Ketika mereka berdua keluar dari kantor, alangkah terkejutnya Danu begitu melihat istrinya tertawa sambil mengendong seorang gadis kecil di pangkuannya, sejak saat itu hubungan Dion dan Sarah mulai dekat. Setiap Indri membawa Dion ke tempat kerja wanita itu selalu datang sambil membawa banyak makanan untuknya.

            *                                                           *                                                           *

Embun pagi sudah membasahi seluruh dedaunan di rumah sakit. Farida yang tampak kelelahan karena menjaga Dion semalaman akhirnya beranjak dari tempat duduknya,  ia keluar sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan, langkahnya yang perlahan tiba-tiba berhenti begitu ia bertemu dengan seseorang di tengah koridor rumah sakit.
            “selamat pagi bu..”
Sapa pria itu dengan jas berwarna putih yang ia kenakan.
            “ehh..pak dokter..selamat pagi..”
            “habis jaga malam?”
            “iya..”
Jawabnya sembari tersenyum, tapi raut wajahnya tampak begitu kelelahan.
            “ibu sudah makan?”
            “belum..”
            “kalau begitu ibu mau temani saya makan kan?”
Ajak Arya sambil menarik tangan perempuan tua itu.
“oh iya pak dokter ini handphonenya, kemarin saya lupa
  mengembalikannya..terima kasih!”
“sama-sama..”
Jawab Arya sambil mengantongi handphone tersebut. setelah mengantarkan Farida ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya yang tampak lelah terlebih dahulu, mereka lalu berjalan menuju cafetaria yang tak jauh dari rumah sakit. Dua mangkuk bubur hangat dan dua gelas teh manis jadi menu sarapan mereka pagi ini.
            “maksud ibu, Dion mau dibawa pulang?”
Tanyanya dengan nada yang tidak percaya.
            “soalnya mesti gimana lagi, keluarganya tidak punya uang untuk membayar
              semua biaya pengobatannya Dion..”
“tapi ibu kan tahu..Dion itu sedang kritis, dia tidak bisa menjalani perawatan di
  rumah? Yang ada lukanya malah akan semakin parah, saya tidak mengerti
  dengan pola pikir  keluarganya?”
Ujarnya dengan nada kesal.
“nak Arya bisa bicara seperti itu karena nak Arya orang berada, coba kalau nak
  Arya ada diposisi keluarganya?dia itu kasian..ibu selalu sedih kalau melihat
  wajahnya..”
mata wanita tua itu tampak berkaca-kaca begitu mengungkitnya. menyakitkan. rasanya seperti dirinya sendiri yang mengalami hal itu. sambil tetap diam ia berusaha menghapus airmatanya yang selalu saja keluar ketika teringat kesulitan gadis itu. Arya yang melihatnya hanya bisa merasa kasihan.
Setelah selesai sarapan mereka berpisah di lorong dekat ruangan tempat dimana Dion dirawat. Begitu wanita tua itu masuk ke dalam ruangan.

“dia itu kasian..ibu selalu sedih kalau melihat wajahnya..”

yang dilakukan Arya hanya bersandar di koridor sambil terus memikirkan perkataan yang keluar dari mulut wanita tua tadi.
            *                                                           *                                                           *

            “aku pulang duluan ya!”
Pamit Indri Pada Ririn dan beberapa teman kerjanya yang berada di ruangan itu.
Setelah selesai membereskan pekerjaannya Indri bergegas pergi ke rumah sakit untuk menjemput Dion pulang ke rumah. Dion masih belum sadar tapi Indri terus bersikukuh untuk membawanya pulang, ia terus meyakinkan Farida dan dirinya sendiri untuk tetap membawa anak itu keluar dari rumah sakit  hari ini.
            “assalamualaikum bu..”
Salam Indri sembari memasuki ruangan tempat Dion dan beberapa pasien anak-anak lain di rawat.
            “waalaikumsalam, kamu sudah datang Ndri?’’
            “iya..”
Jawabnya sambil menaruh tas di atas meja.
            “kamu beneran mau bawa Dion pulang?”
            “iya.. ”
Jawabnya masih dengan pendiriannya.
            “tapi Dion masih belum sadar, bagaimana kalau nanti dia kenapa-napa?”
Tanya Farida yang berusaha menyakinkan kembali Indri untuk merubah pendiriannya.
            “saya ke tempat administarsi dulu, ibu bisa tolong beresin baju-baju Dion?”
Tapi ia seolah tak mau mendengar perkataan Farida, biakan saja semua orang menganggapnya sebagai orang jahat. Ia tak peduli. karena mereka tak tahu apa yang selama ini dirasakannya. Semua yang ia alami sudah membuatnya menjadi orang yang sangat egois, egois terhadap orang lain dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Ia sampai di ruangan administrasi. Tampak beberapa orang sedang sibuk mengurus beberapa berkas keuangan para pasien di rumah sakit itu.
           
“saya mau mengurus kepulangan pasien atas nama Dion Darisma..”
            “sudah mau pulang hari ini?”
Tanya petugas disana sambil tersenyum ramah padanya.
“iya..”
“tunggu sebentar ya..”
Jawab Perawat itu sembari mencari data Dion. Dengan perasaan cemas Indri menunggu berapa biaya yang harus dikeluarkannya. apa masih sebesar daftar yang ia terima jika Dion harus dirawat selama dua minggu disana atau mungkin berkurang, ia kemudian memeriksa isi dompetnya yang hanya berisikan uang 500ribu saja, itupun hasilnya meminjam dari beberapa temannya di restoran dan seorang rentenir.
            “biaya perawatannya sudah dilunasi untuk 15 hari kedepan..”
            “Lunas? Mungkin ada kesalahan bisa tolong cek lagi?”
“sebentar..”
Petugas wanita itu langsung mengecek kembali data di komputernya.
            “Dion Darisma, umur 5 tahun 6 bulan pasien rawat inap di bangsal melati,betul
              itu kan?”
            “iya...”
“semua biayanya sudah dilunasi..”
“tapi..siapa yang melakukannya? saya merasa belum
              membayarnya sama sekali!”
            “mungkin keluarga ibu yang lain yang sudah membayar semua biaya
  pengobatnnya?”
“keluarga saya?”
“betul! Apa ada yang mau ditanyakan lagi?”
Tanya Perawat itu sembari tersenyum,
“tidak, terima kasih..”
Jawab Indri yang tampak bingung sambil berjalan meninggalkan tempat administrasi tersebut. Tapi ketika ia hendak kembali ke tempat Dion ia berpapasan dengan seseorang yang sebenarnya tak mau ia temui lagi di depan pintu masuk sebuah lift.  Pria itu terus memperhatikan Indri yang berdiri di sampingnya.
            “permisi..apa kita pernah bertemu sebelumnya?”                     
Tanyanya pada Indri, tapi ia hanya mengerutkan dahinya.
            “benar..rasanya kita memang pernah bertemu?saya lihat kamu malam hari, di
  mobil..”
Ujarnya sambil mengingat-ngingat sesuatu.  
Tiba-tiba mimik muka Indri berubah wajahnya tampak pucat, Ia berjalan memasuki pintu lift yang sudah terbuka sambil memalingkan wajahnya dari pria itu dan mencoba menutup pintu lift itu dengan segera.
“tunggu!!”
Cegat pria yang tidak sengaja mengantarkannya pulang saat malam tahun baru, sembari menahan pintu lift yang hampir sudah tertutup dengan tangannya.
            “kenapa kamu langsung menutupnya begitu saja? saya juga mau
  menggunakan lift ini!”
ujar Pria itu sambil berdiri disamping Indri.
“kenapa kamu terus memalingkan wajahmu! apa benar kita pernah bertemu?”
            “tidak...mungkin kamu salah orang..”
Jawabnya pelan sambil menundukan kepala.
            “ah... sekarang aku ingat!kamu perempuan yang menumpang mobilku itu kan?”
            “bukan!”
            “pasti kamu! tidak salah lagi! Apa kamu kesini untuk memeriksakan kedua
  matamu itu?”
tanya Arya padanya, ia masih sangat kesal ketika dirinya dikira seorang supir oleh gadis itu.
            “kamu salah orang!aku sama sekali tidak mengenalmu!”
“tidak mungkin aku salah orang! Sudah jangan menutupi wajahmu seperti itu!”
Ujar Arya sambil terus berusaha melihat wajah Indri, yang ditutupi dengan kedua tangannya.
            “jangan!”
Teriaknya di dalam lift sambil mendorong tubuh Arya ke lantai, kebetulan di dalam lift itu hanya ada mereka berdua.
            “apa yang kamu lakukan?!”
Bentak Arya yang mulai kesal sambil merapikan pakaiannya, tapi Indri tetap membuang mukanya.
            “kamu sendiri yang mulai duluan..sudah ku bilang kamu salah orang!”
            “kalau itu benar lalu  kenapa kamu terus menyembunyikan wajahmu?”
Ia tak menjawab.
            “dasar perempuan aneh!”
Gumamnya sambil meninggalkan lift itu.
“kenapa mesti ketemu lagi,sih?”
Sesal Indri sambil menghela nafas dan turun dari lift itu juga.
            “kenapa kamu kelihatan kesal begitu?”
Tanya Farida yang melihat gadis itu masuk sambil mengerutu sendiri.
            “oo..nggak ada apa-apa bu!”
            “kita pulang sekarang?”     
Tanya Farida yang sudah mempersiapkan semuanya.
            “tidak usah, semua biaya pengobatan Dion sudah di bayar lunas..”
            “maksud kamu?’’
            “kita nggak jadi pulang hari ini, Dion masih bisa dirawat disini sampai dua minggu
  kedepan..”
Jelasnya sambil kembali kebingungan.
            “Siapa yang melunasinya?”
Indri tak menjawab pertanyaan itu, ia juga masih menerka-nerka siapa yang mungkin melunasi biaya pengobatan adiknya itu.
            “apa mungkin yang waktu itu menabrak Dion?”
            “perawat bilang keluarganya yang membayar semua biaya rumah sakit..”
            “apa mungkin?”
Perkataan Farida terhenti tiba-tiba ia menebak seseorang yang bisa jadi menolong mereka.
            “siapa?”
Tanya Indri penasaran, tapi Farida hanya diam saja.
            “mungkin, bu Danu..dia sayang sekali sama Dion..”
            “mungkin saja! bos kamu memang orang yang baik..”
            “kalau begitu saya harus berterima kasih sama mereka..”
Tiba-tiba pada saat yang bersamaan kedua orang itu datang ke rumah sakit dengan niatan menjenguk Dion, Sarah yang terlihat sangat khawatir membawa sebuah boneka juga buah-buahan untuk gadis kecil itu.
            “ selamat sore..”
Sapa keduanya sambil mendekati bangkar Dion.
            “bagaimana keadaan Dion, Ndri? saya khawatir sekali..sampai tidak bisa tidur”
            “seperti yang ibu lihat, masih belum sadarkan diri”
Jawab Farida sambil menghela nafas.
            “cepat sembuh ya sayang, biar kita bisa main lagi?ibu khawatir sekali sama
  kamu..”
Sayunya sambil mengelus-ngelus kepala Dion.
            “pak! ada yang mau saya bicarakan..”
            “ada apa?”
Ajak Indri pada Danu sembari keluar ruangan.
            “saya mau berterima kasih..ibu sama bapak sudah baik sekali pada saya juga
  Dion”
            “kamu ini apa-apaan? kamu tahu sendirikan istri saya begitu menyayangi
  adikmu”
            “saya tahu pak, tapi melunasi biaya pengobatan itu rasanya terlalu berlebihan .
  saya tidak mau menyusahkan ibu sama bapak terus-terusan, karena itu bapak
  boleh potong gaji saya tiap bulan, untuk membayar semua hutang saya..”
“kamu itu bicara apa? Biaya pengobatan?”
Tanya Danu yang tak mengerti dengan perkataan Indri barusan.
            “bukannya bapak yang membayar semua biaya pengobatan Dion selama di
  rumah sakit?”
            “saya? saya tidak membayar apa yang kamu maksudkan tadi..”
            “kalau begitu apa mungkin ibu?”
            “sebentar saya tanyakan?”
Mereka berdua kembali masuk ke dalam ruangan.
            “mah, apa kamu yang membayar semua biaya rumah sakit Dion?”
            “apa?”
Wanita itu malah balik bertanya.
            “bukan ibu juga?”
Tanya Indri makin penasaraan.
            “saya senang sekali kalau bisa melakukannya, tapi sayang itu bukan saya?”
            “jadi sebenarnya siapa yang membayar semua biaya pengobatannya Dion?”
Tanya Indri yang kembali kebingungan. Tapi tiba-tiba Farida pamit meninggalkan mereka bertiga di ruangan itu, ia mencari seseorang yang mungkin saja benar. Langkah tuanya terus melaju menyusuri koridor-koridor rumah sakit sambil mencari sosok itu. dan akhirnya berhenti disebuah cafetaria. Dia disana, orang yang mungkin saja benar. seseorang yang benar-benar datang untuk menolong mereka.
“nak Arya!”
Panggilnya pada seorang dokter yang tengah asyik menikmati secangkir kopi hangat sendirian.
            “bu Farida? Ada apa?”
Sapanya sambil tersenyum.
            “apa kamu yang melakukannya?”
Tanya wanita tua itu tiba-tiba sembari menghampiri pria itu.
            “maksud ibu apa, saya tidak mengerti?”
            “saya tahu..pasti kamu..kamu orangnya..”
Ujar wanita itu sambil terus mendekati Arya.
            “terima kasih..saya benar-benar berterima kasih!!”
Wanita itu membungkuk sambil menangis.
            “apa yang ibu lakukan? Jangan seperti ini..”
            “terima kasih..terima kasih..”
Hanya itu yang bisa dikatakanya sambil terus menangis. ia merasa sangat bersyukur, melihatnya seperti itu tiba-tiba Arya merasa ada suatu perasaan yang menekan di hatinya.

            *                                                           *                                               *

Dua minggu sudah berlalu sejak kejadian di cafetaria. keadaan Dion semakin membaik setiap harinya. Gadis kecil yang tak pernah mau bicara itu terus mengelus-ngelus boneka kesayangannya sambil memakan makanan yang di berikan Farida untuknya ia tampak begitu ceria.
            “hari ini Dion sudah boleh pulang, sebentar lagi kak Indri jemput Dion kesini!”
Ujar Farida sambil mengikatkan rambutnya yang sama tebal dan panjangnya seperti rambut Indri.
            “permisi..”
Tiba-tiba Arya datang sambil menyembunyikan sebuah boneka beruang putih besar di belakang punggungnya.
            “eh...nak Arya..”
            “permisi bu..”
Ijinnya sambil mendekati gadis kecil itu. dan tiba-tiba..
            “Taadaa!!”
Ia berusaha mengejutkan anak itu dengan boneka beruang yang selama ini ia sembunyikan di belakang, tai gadis itu hanya diam tak bergeming.
“ ini buat Dion...”
sambil memberikan boneka itu pada Dion yang baru tersenyum senang ketika menerimannya.
            “hari ini sudah bisa pulang..”
            “iya..terima kasih! kalau tidak ada nak Arya, ibu tidak tahu apa yang akan
  terjadi pada Dion, sampai sekarang kakaknya juga masih belum tahu siapa
  yang membayar biaya rumah sakit, kalau dia bertemu denganmu! dia pasti
              akan sangat berterima kasih”
ujarnya sambil terus mengucapkan syukur.
“Tidak apa-apa, saya merasa tidak enak kalau ibu terus  mengungkit
  masalah itu..”
            “maaf..”
            “kalau begitu saya permisi dulu, cepat sembuh ya?”
Pamitnya sembari meninggalkan ruangan itu.
Sambil membawa sebuah tas Indri datang ke rumah sakit, siang ini ia akan membawa Dion pulang.
“semuanya sudah siap bu?”
            “sudah..”
            “kalau gitu kita pulang sekarang..ayo Dion!”
Ajak Indri sambil mengendong adiknya itu. mereka berjalan meninggalkan ruangan setelah sebelumnya berpamitan pada orang-orang yang berada disana. tapi saat ketiganya hendak meninggalkan rumah sakit tiba-tiba Farida berjalan menghampiri seorang dokter yang sedang bebincang dengan  sesama rekannya di depan pintu Rumah Sakit. Farida menarik tangan dokter itu dan membawanya untuk bertemu dengan Indri. Akhirnya mereka bertemu.
            “ibu selalu merasa harus mempertemukan kalian berdua..”
Ujarnya sambil tersenyum.
            “dokter Arya, kenalkan ini kakaknya Dion..”
Keduanya terlihat begitu terkejut, mereka saling melirik satu sama lain dengan pandangan sinis.
            “kalian kenapa?”
            “Oo,tidak! Sepertinya kita sering bertemu ya? kenalkan nama saya Arya”
            “Indri!”
Balasnya kikuk sambil menjabat tangan Arya sebentar.
            “kalian sudah pernah bertemu?”
Tanya Farida penasaran, tapi Arya hanya tersenyum sambil sedikit melirik gadis itu.
“ayo kita pulang bu..”
Ajak Indri segera.
            “kalau begitu kami pamit dulu dokter..”
            “silahkan, hati-hati di jalan!”
Arya hanya tertawa kecil sembari memandangi ketiganya yang mulai meninggalkan rumah sakit itu. dunia memang sempit, gumamnya dalam hati. Pertemuan mereka seperti sebuah kebetulan yang terlalu kebetulan. Mungkin Tuhan sedang merencanakan sesuatu untuknya juga ketiga orang itu.

Sepanjang perjalanan Indri hanya menghela nafas, ia tampak begitu terkejut saat bertemu orang itu lagi, apalagi ternyata selama ini Farida mengenal orang itu.
            “kenapa ibu bisa kenal dia?”
            “dia siapa?”
            “orang tadi..”
            “oh..dokter Arya? dia yang merawat Dion selama di rumah sakit, orangnya baik
  ramah lagi!”
            “maksud ibu orang itu dokter? Mana mungkin?”
tanyanya memperolok.
“memangnya kenapa kalau dia dokter?”
 “tidak! aku hanya nggak percaya kalau orang seperti dia bisa jadi dokter? pasti
  gelar dokternya itu ia dapat dengan uang..”
            “sebaiknya kamu jaga ucapanmu! orang itu punya nama, namanya Arya!!”
Sentak Farida pelan sambil membawa Dion dari gendongan Indri. Indri terperangga belum pernah ia mendengar Farida berkata seperti itu padanya selama ini hanya demi seseorang yang baru dikenalnya.

                        *                                               *                                                           *

No comments: