HANYA SATU
Semua barang di
kamarnya sudah rapih tinggal satu yang belum ia angkut sebuah bingkai foto yang
terpanjang di dinding dengan wajah seseorang yang terus tersenyum padanya dari
dulu sampai saat ini. Orang yang tak pernah bisa ia lupakan begitu saja,
seseorang yang membuatnya merasa begitu menderita dengan begitu banyak harapan
dan kebahagiaan yang pernah diterimanya.
“kamu sudah siap-siap?”
“iya bu..semuanya sudah beres
tinggal diangkut ke mobil..”
“kenapa kamu mau pindah sih? kamu
nggak mau nemenin ibu di rumah?”
“bukan begitu..aku hanya ..”
“ibu tahu!kamu sudah tidak
membutuhkan ibu lagi, iyakan?”
celoteh wanita
itu sambil terisak-isak.
“bukan begitu...aku berjanji akan
sering datang kesini!”
Jawab Arya
sambil memeluk wanita tua itu dari belakang. Kemudian kembali mengemas
barang-barang yang akan dibawanya. Dengan mobil Honda CR-V silver miliknya Arya
pergi meninggalkan rumah yang sudah hampir 25 tahun di tempatinya menuju rumah
yang baru saja ia beli dari seorang kerabat. Sebuah rumah yang sangat besar
untuk ditempatinya seorang diri. Rumah dua lantai bergaya modern minimalis
dengan dua nihontein di area depan dan belakang.
begitu ia
sampai disana, Arya segera menata semua barang yang ia bawa di dalam mobil ke
tempatnya masing-masing sendirian hingga larut malam. Tak terkecuali bingkai
foto itu.
rasa lapar dan lelah mulai menghinggapinya. setelah
mengunci pintu, Arya pergi keluar rumah untuk
mencari toserba terdekat yang menjual beberapa makanan ringan dan peralatan
mandi yang ia butuhkan. Dengan mengenakan jaket dan celana training Arya
berjalan sambil menikmati suasana malam di daerah barunya itu.
* * *
Malam semakin
larut. tapi tenda makan itu masih tampak ramai di datangi pembeli, semua orang
termasuk beberapa langganan tetap tampak asyik mengobrol sambil menunggu si
pedangan selesai menyiapkan pesanannnya. Sementara si pedangan terlihat begitu
kewalahan melayani pembeli yang terus saja berdatangan ke tempatnya.
“Indri bisa tolong antarkan ini ke
sana!”
“baik!”
Jawabnya sembari
mengantarkan beberapa makanan ke meja pembeli. Kemudian kembali sambil membawa
piring-piring kotor yang harus segera dicucinya.
“kenapa kamu kesini? besok kan kamu
kerja sebaiknya kamu istirahat bukannya
Malahbantuinibu?”
“nggak apa-apa!aku tahu ibu pasti kewalahan tiap malam minggu seperti ini?”
“nggak apa-apa!aku tahu ibu pasti kewalahan tiap malam minggu seperti ini?”
“tapi kasian Dion, harus
angin-anginan jadinya?”
“Dion sendiri yang mau kesini..dia
juga seneng kok bisa nemenin ibu jualan”
“kamu ini bisa saja!kalau begitu
kamu tolong belikan kertas nasi juga plastik
ya? Sudah hampir mau habis!”
“baik...ayo Dion!”
Ajaknya sambil
membawa beberapa uang ribuan.
Sambil
mengandeng lengan adiknya mereka berhenti di sebuah warung kelontong untuk membeli
beberapa kantong plastik dan juga kertas nasi. tapi ketika Indri sedang
tanggung berbelanja Dion malah berlari keluar.
“Dion!! Tunggu!!”
Panggilnya sembari
berlari, ia terus berusaha mengejar dan mencari
keberadaan adiknya, tapi begitu ia menemukannya. Orang itu muncul lagi dihadapannya.
“kamu?!”
Sapa Indri kikuk
ketika melihatnya tengah menggendong Dion yang terus saja memeluk bonekanya.
“Dion ayo sini..”
panggilnya
sambil berusaha menggendong anak itu. tapi Dion malah tak mau lepas dari gendongan
Arya.
“jangan seperti itu! ayo sini!”
Panggilnya lagi
sedikit memaksa.
“memangnya kalian mau kemana? biar aku antar!”
“nggak usah, Dion ayo sini!”
Tolaknya sambil
berusaha menggendong adiknya lagi, tapi gadis kecil itu tetap saja tidak mau
lepas dari Arya.
“sudahlah, apa salahnya kalau aku
mengantar kalian!”
Mau tak mau
akhirnya ia membiarkan pria itu mengantarkan mereka ke tempat Farida.
“apa yang kalian lakukan malam-malam
begini?”
“aku membantu bu Farida di tempatnya
berjualan, kamu sendiri?”
Jawab Indri malas.
“Oo, aku baru membeli beberapa
peralatan mandi! tapi kenapa kamu bawa
Dion pergi juga?”
“dia sendiri yang mau ikut?!”
“kamu pikir saya bodoh, saya tahu
kalau Dion tidak pernah berbicara?”
Sanggah Arya
sambil terus menggendong gadis kecil itu. Indri tak mengubris perkataannya ia
hanya terus berjalan, hingga akhirnya mereka sampai di tenda makan Farida,
suasana yang tadi sangat ramai sudah tampak sedikit lengang, hanya ada beberapa
pembeli disana.
“selamat malam, apa kabar bu Farida?”
Sapa Arya
begitu ia bertemu wanita tua itu yang tengah sibuk memberikan kembalian pada
seorang pelanggan remaja.
“eh...nak Arya, bagaimana nak Arya
bisa sampai kesini?”
Tanyanya sambil
kembali sibuk memasak.
“tadi kami berpapasan di jalan, saya baru tahu kalau ibu punya
tenda makanan seperti ini?”
“yah beginilah, namanya juga cari
makan..”
“Kebetulan saya sangat lapar! boleh
pesan makanan disini kan?”
“tentu, untuk nak Arya apapun ibu
kasih, tunggu sebentar ibu buatkan dulu!”
Sambil menunggu
makanannya siap Arya terus mengajak Dion bermain bersamanya, mereka terlihat
sangat akrab. Sementara Indri sibuk mencuci beberapa piring kotor di belakang.
“Indri bisa tolong antarkan ini ke
meja nak Arya?”
“kenapa nggak sama ibu aja?”
Tanyanya
sedikit sewot sembari menghampiri wanita tua itu.
“Ibu masih harus masak pesanan yang
lain, memangnya kenapa?”
Indri tak
menjawab, dengan berat hati ia mengantarkan satu porsi nasi goreng yang sudah
siap ke meja Arya, dan begitu sampai disana ia langsung membanting pelan piring
makanan di meja pria itu.
“dasar wanita kasar!”
Sindir Arya
pada Indri sambil merapikan makanan yang
sedikit berhamburan keluar piring.
“ngomong-ngomong nak Arya tinggal di
dekat sini?”
Tanya Farida
sambil terus memasak.
“kenapa ibu bisa tahu? Saya memang baru
pindah hari ini, rasanya lelah sekali
harus membereskan semua
barang-barang di rumah sendirian?”
keluhnya sambil
menepuk-nepuk pundak yang kelelahan.
“kalau ibu tahu, ibu mau bantu nak
Arya beres-beres rumah, gratis!”
Tawarnya sambil
tersenyum.
“benarkah? Kalau begitu saya tidak akan sungkan, kebetulan rumah saya
masih
sedikit berantakan!”
jawab Arya sedikit
bergurau. mereka berdua tertawa, bahkan Dion yang terus sibuk bermain dengan
bonekanya ikut tersenyum mendengar perkataan Arya itu, hanya Indri saja yang
terus menggerutu di belakang sambil membereskan beberapa piring.
“nak Arya bisa saja..Indri ayo
kemari kamu harus kenalan sama nak Arya!”
Indri tak
mengubris perkataan Farida ia terus saja sibuk membereskan piring yang sudah
tampak rapih.
“sudahlah bu, wainta galak seperti
dia, tidak mungkin mengerti?”
Sindir Arya
lagi yang melihat Indri terus menggerutu sendiri.
“saya nggak ada urusan sama kamu! Lagipula
aku benar-benar penasaran
apa alasanmu sampai pura-pura
bersikap baik seperti ini pada kami?”
Balas Indri
ketus.
“itu tidak penting? Karena wanita
egois seperti kamu mana tahu! mana yang
pura-pura dan mana yang bukan?!”
Jawabnya datar
sambil terus melahap nasi goreng yang hampir habis.
“apa maksud kamu?!”
“masa kamu tidak mengerti maksud
saya? Kamu itu wanita egois yang hanya
memikirkan diri sendiri!”
jelas Arya
sambil terus memperoloknya.
“asal kamu tahu, saya bukan orang seperti itu!”
Sanggah Indri
dengan nada tinggi, tampaknya pembicaraan mereka sudah mulai serius.
“benarkah? Kalau begitu mana mungkin kamu membiarkan keluargamu sekarat
hanya karena kamu tidak mau terbebani dengan biaya yang harus kamu
bayar?”
“cukup!! Jangan bicara lagi..”
Ancam Indri
sambil menahan amarahnya.
“kenapa? Kamu marah? Kamu marah karena
kamu tahu semua yang saya
katakan itu benar..iya kan?”
“kamu nggak punya hak untuk
menilaiku seperti itu!!!”
Sentak Indri
sambil menyiramkan segelas air ke wajah Arya, sontak pria itu hanya tertegun.
“apa yang kamu lakukan?!”
Tiba-tiba Farida
balik menyentak Indri sambil berusaha mengeringkan wajah Arya.
“ibu itu kenapa sih? Dia sudah
membuat saya seperti orang jahat, tapi
kenapa ibu terus saja
membelanya?”
tanya Indri
yang tak mengerti dengan sikap wanita itu.
“kamu seharusnya tidak berbuat
seperti ini terhadap orang yang sudah
menolong adikmu!”
“merawat Dion memang sudah menjadi
tugasnya! Dia seorang dokter! Ibu
terlalu berlebihan memujanya!”
Indri terus
berteriak sambil terisak, ia mengepal kuat-kuat tangannya yang mulai gemetar
karena menahan amarah.
“apa membayar semua biaya rumah
sakit juga merupakan tugas seorang
dokter?!”
Tanya Farida
yang sudah mulai kesal.
“bu Farida, saya mohon jangan
diteruskan..”
Cegat Arya pada
wanita itu.
“maksud ibu apa?! Apa yang kalian sembunyikan?
Jangan bilang,
jangan bilang kalau orang ini
yang sudah membayar semua biaya rumah
sakit?”
tanya Indri tak
percaya sambil menunjuk kearah Arya.
“Benar! Orang ini, yang baru saja
kamu siram wajahnya dengan air yang
membayar semua biaya rumah sakit Dion..”
Indri hanya
diam begitu mendengar semua perkataan Farida. tak percaya, Itu yang langsung
terbersit di benaknya sembari terus memandang sinis Arya.
“bagaimana orang itu yang bisa membayar semua biaya rumah sakit Dion?”
Pikirnya tak
mengerti.
saat itu
tiba-tiba suasana berubah hening, ia tak tahu harus berbuat apa. Dengan
perasaan gusar Indri pergi meninggalkan mereka berdua, malu, marah dan merasa dipermainkan
semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Apa yang harus ia lakukan, semua
terus membebani pikirannya.
“nak Arya...ibu minta maaf, dia memang seperti itu..”
Arya tak
menghiraukan permintaan maaf Farida, ia hanya diam lalu meninggalkan tempat itu
tanpa mengatakan apapun.
Semalam keduanya tak bisa tidur mereka terus memikirkan
kejadian di tenda makan, apa ia memang sudah keterlaluan, Pikir masing-masing
dalam hati. Sambil merenungkan apa yang sudah dilakukannya.
* * *
Pagi-pagi
sekali sebelum berangkat kerja Indri sudah berdiri di depan pintu rumah Farida,
ia ingin meminta maaf atas apa yang sudah terjadi. Diketuknya pintu rumah itu
perlahan. Tapi tidak ada jawaban. Mungkin Farida masih kesal padanya, tapi..
“sedang apa kamu disitu?”
Tanya Farida tiba-tiba
dibelakangnya sambil membawa seember jemuran.
“ternyata ibu diluar? Saya pikir ibu
masih marah sama saya?”
“saya memang masih marah sama
kamu..”
Jawabnya sambil
menjemur beberapa pakaian yang baru dicucinya.
“saya minta maaf, saya tahu sikap
saya kemarin sudah keterlaluan..”
“bukan ibu yang seharusnya kamu
mintai maaf, tapi nak Arya..”
Indri hanya
menundukan kepalanya.
“kamu tahu, saat kamu pergi ibu
kesal dan marah sekali sama kamu, tapi dia
malah terlihat sedih ketika kamu
meninggalkannya seperti itu, dia itu tidak
pernah punya niatan buruk sama
kita!”
Kata – kata
Farida terus berputar dipikirannya, entah kenapa ia terus mengingat orang itu.
sampai – sampai apa yang ia kerjakan hari itu selalu saja salah.
“ Ndri..ada yang mau ketemu kamu!”
Panggil Ririn
pada teman dekatnya yang terus sibuk membereskan Meja.
“siapa?”
“kamu lihat sendiri aja orangnya,
tuh!”
Tunjuk Ririn
pada Pria yang tengah duduk di meja dekat jendela, saat ia melihat orang
tersebut Indri malah salah tingkah, ia tak tahu harus bersikap bagaimana
terhadap pra itu setelah apa yang dilakukannya kemarin malam.
“dari mana kamu tahu saya kerja disini?”
Tanya Indri
sembari mendekati meja pria itu.
“bisa kita bicara?”
Mereka pergi
keluar dan berhenti di sebuah taman, keduanya duduk di satu bangku yang
menghadap jalan raya. Canggung sekali, keduanya tak tahu harus memulai
pembicaraan darimana.
“mau minum?”
Suguh Arya
sambil menyodorkan satu kaleng minuman bersoda pada Indri.
“maaf tentang yang kemarin..”
Ujar Indri sedikit
terbata-bata.
“tidak apa-apa, mungkin memang saya
yang keterlaluan! tidak seharusnya saya
bicara seperti itu!”
Indri hanya menundukan
kepalanya saat mendengarkan orang itu berbicara.
“soal biaya rumah sakit, saya
benar-benar berterima kasih! saya akan berusaha
menyicilnya dari sekarang!”
“masalah itu, kamu tidak usah memikirkannya! saya benar-benar ikhlas
membantu kalian”
“tapi..tetap saja! saya tidak suka berhutang pada seseorang, lagipula
uang 15
juta itu bukan jumlah yang
sedikit?”
jelas Indri
sambil terus memutar-mutar kaleng soda yang ia terima dari Arya.
“itu memang bukan jumlah yang
sedikit!”
gumam pria disebelahnya
begitu saja sambil meminum minuman yang sedari tadi dipegangnya, Indri
meliriknya sinis tapi orang itu hanya tertawa kecil. Tiba-tiba keduanya
tersenyum satu sama lain. saat itu rasanya semua beban lepas begitu saja dari
pundak mereka.
“akh... lega sekali!”
Gumam Indri
pelan.
Lama mereka
duduk dibangku taman sembari menghabiskan minuman, keduanya terus memperhatikan
jalanan yang begitu ramai dengan kendaraan.
“kalau begitu saya pergi dulu, terima
kasih untuk minumannya?”
Pamit Indri
yang beranjak dari tempat duduknya.
“sama-sama..”
“oh iya...kalau kamu butuh bantuan
untuk membereskan rumah panggil saya
saja!”
Tawarnya sambil
berpamitan, mereka lalu berpisah di taman, Arya segera kembali ke rumah sakit
sementara Indri melanjutkan pekerjaannya di restoran.
“yang tadi itu siapa? ganteng banget!!”
Tanya Ririn
yang tampak penasaran.
“maksud kamu orang yang tadi
kesini?”
“memang menurut kamu siapa?”
“ohh? dia dokter yang merawat Dion
waktu di rumah sakit..”
“dokter? Pantes kelihatannya
berwibawa banget..ngapain dia nyariin kamu?”
Tanyanya lagi.
“hmmm...kemarin ada sedikit
masalah!”
“masalah?”
“ tapi sekarang udah beres kok!”
Jawabnya sambil
terus membereskan piring dan makanan di meja.
“masalah apa?”
Ririn terus
bertanya.
“kamu nggak perlu tahu..udah akh!
Jangan ganggu aku!”
“yeh..gitu aja marah?
ngomong-ngomong apa dia masih single?”
“mana aku tahu?!!”
Jawab Indri ketus
sambil kembali ke dapur.
Begitu ia
selesai bertemu dengan Indri, Arya langsung tancap gas menuju rumah sakit, ia
terus tersenyum sendiri sambil mengendarai mobilnya tanpa tahu apa sebab yang
membuatnya menjadi seperti itu.
ketika ia
sampai di ruang kerjanya sudah ada beberapa surat masuk diatas meja, ia
langsung memeriksa surat-surat tersebut, beberapa berisi laporan kesehatan
pasien, yang lainnya surat dari bank dan perusahaan asuransi yang menawarkan
produk mereka, sambil terus memeriksa satu persatu surat. ia kemudian menemukan
sebuah undangan pernikahan. Nama yang ia kenal jelas sampai saat ini, ia hanya
menghela nafas panjang begitu selesai membaca isi surat tersebut dipandangnya
wajah yang terus tersenyum padanya disebuah bingkai foto. Senyuman yang begitu
hangat. Saat itu ia sadar bahwa ia telah kehilangan ekspresi itu, rasa sakit
didadanya kembali lagi.
* * *
No comments:
Post a Comment