HANYA SATU
Pagi-pagi
sekali Farida sudah mengajak Dion pergi ke sebuah pasar tumpah di pinggiran
jalan untuk membeli beberapa bahan dagangannya sore nanti. Sembari berjalan
kaki, Farida mengandeng tangan Dion yang masih berumur 6 tahun. gadis kecil itu
tampak begitu gembira ia berjalan sambil memeluk boneka Teddy yang selalu
menemaninya sejak ia masih bayi.
“Indri antarkan pesanan meja no .9!!”
Teriak seorang
koki padanya, suasana dapur begitu sibuk. Maklum saat itu sedang jam istirahat
banyak orang yang datang ke restoran tempatnya bekerja untuk makan siang.
Ramai. Semua pelanggan terlihat sangat tidak sabar menunggu pesanannya untuk
segera datang.
“baik!”
Jawabnya sambil
membawa beberapa pesanan disebuah baki saji, dengan sangat hati-hati ia
berjalan menghampiri meja no.9. Tapi tiba-tiba dari arah samping seorang
pelanggan laki-laki menabraknya tanpa sengaja, Pelanggan itu terlihat sangat
terburu-buru sambil menerima telepon dari seseorang ia terus berlari tanpa
menghiraukan Indri. Yang sudah jatuh tersungkur di lantai, semua makanan yang
sedari tadi dibawanya langsung jatuh berserakan menimpa seorang pelanggan
wanita yang tengah asyik berbincang dengan rekan-rekannya.
“ahhkkkkkkkk.!!”
Teriak wanita
itu begitu mendapati pakaiannnya berlumuran saus.
“maaf, maafkan saya..saya tidak
sengaja..”
Ujar Indri
sambil berusaha membersihkan pakaian wanita itu dengan tissu, tapi wanita itu
langsung mengibaskan tangannya ke wajah Indri.
“kamu bisa kerja nggak sih? lihat
pakaian saya kotor begini!!”
“maaf..”
Jawab Indri
sembari sedikit membungkuk kemudian mulai memrapihkan pecahan piring di lantai.
Tapi wanita itu masih tampak kesal, ketika Indri sibuk membereskan pecahan piring
yang berserakan wanita itu langsung berdiri dan menumpahkan makanan yang sebelumnya
tengah ia nikmati ke kepala Indri. Kaget
dan merasa begitu terhina Indri bergegas pergi meninggalkan tempat itu sambil
membawa pecahan piring yang telah dikumpulkannya, wajah dan pakaiannya penuh
dengan makanan.
“Indri..”
Cegat Danu begitu
mereka berpapasan.
“iya pak..”
Jawabnya dengan
suara parau.
“cepat cuci mukamu!biar itu Ririn
saja yang bawa ke dapur..”
Ujarnya sembari
mengambil baki yang penuh dengan pecahan piring. Dengan tangan gemetar Indri memberikan
baki yang penuh pecahan piring kepada Ririn, lalu berlari menuju kamar mandi.
Saat tiba disana ia langsung menangis sambil membersihkan mukanya yang penuh
dengan makanan, lama ia memandangi pantulan dirinya yang tampak kacau di cermin.
rambut hitamnya yang panjang sebahu tampak begitu berantakan. Ia lalu
menyisirnya dengan jari-jari tangannya yang kecil kemudian dengan karet rambut
yang selalu ia bawa ia ikat rambutnya itu, matanya masih terus berkaca-kaca.
“ini bukan sebuah hal yang patut
kamu tangisi!”
Gumamnya dalam
hati sambil terus mengusap airmatanya dan menghela nafas. Baginya penghinaan
seperti itu bukan satu-satunya hal buruk yang selalu menimpannya. Dengan seragam yang masih sedikit berlumuran
saus ia keluar dari kamar mandi. disana Ririn sudah menunggunya dengan mimik muka
yang tampak khawatir.
“kamu nggak apa-apakan?’’
Indri hanya
tersenyum kaku sambil terus berjalan.
“oh iya Ndri, pak Danu manggil kamu
ke kantornya..”
“iya..”
Jawabnya lesu.
Langkahnya malas, sambil menarik nafas dalam-dalam ia lalu membuka pintu ruangan
bosnya itu, tampak Danu sudah
menunggunya dari tadi.
“tutup pintunya..”
perintahnya
pada Indri yang langsung duduk di kursi.
“saya tahu itu bukan kesalahan kamu,
tapi lain kali kamu harus lebih berhati-hati
lagi..”
Ceramahnya pada
Indri.
“iya pak..”
“untuk kerugiannya, terpaksa saya
harus potong gaji kamu bulan ini..”
“iya..”
Jawabnya lemas
sembari tertunduk.
“ya sudah..lanjutkan pekerjaanmu..”
“baik..”
Indri berjalan
keluar ruangan dengan kepala yang masih tertunduk, ia meratapi gajinya yang harus
dipotong untuk kejadian tadi. padahal
gajinya yang biasa saja tidak bisa mencukupi keperluannya selama sebulan
sekarang harus dipotong pula.
“bagaimana ia harus membayar bunga
hutang yang terus membesar setiap
harinya?”
Pikirnya begitu
lekat. Sampai tiba-tiba handphonenya berdering sebuah panggilan dari nomor yang
tak ia kenal.
“hallo?”
Salamnya begitu
ia menerima panggilan itu.
“Indri!!!!”
Panggil wanita
di ujung telepon itu tiba-tiba
dengan suara parau seperti sedang menangis.
* * *
pukul 12.30
Arya bergegas pergi begitu mendapat telepon dari rumah sakit, padahal ia baru
saja sampai di sebuah restoran untuk makan siang, bagian UGD langsung
menghubunginya begitu mereka kedatangan seorang pasien korban tabrak lari. Sambil menerima telepon ia berlari menuju
mobil Honda CV-R berwarna silver miliknya, karena terlalu terburu-buru tanpa ia
sadari ia menabrak seorang pramusaji yang tengah membawa makanan di dalam
restoran itu.
“bagaimana kondisinya?”
“saat di bawa sudah tidak sadarkan
diri?”
Arya langsung
memeriksa kondisi korban tabrak lari itu, seorang gadis kecil berumur sekitar 5
sampai 6 tahun, tubuh mungilnya tampak
lemah tak berdaya, wajahnya dipenuhi noda darah yang masih mengalir dari
pelipis kanan, hidung dan juga mulutnya.
“apa ada luka dalam?”
“di perut bagian kanan terlihat
darah mengumpal, korban juga mengalami
gegar otak..”
“tekanan darahnya turun!”
“denyut nadi dan jantungnya juga
mulai melemah..”
Ujar beberapa
perawat yang terus sibuk memeriksa kondisi gadis itu, sambil berupaya
memberikan pertolongan pertama.
“kalau begitu, cepat siapkan ruang
operasi!”
“baik!”
Begitu selesai
memeriksa kondisi dan memasangkan beberapa peralatan medis, para perawat itu
langsung membawa Dion ke ruang operasi.
“pak dokter, saya harus bagaimana?”
Tanya Farida
sambil menghampiri Arya.
“apa ibu keluarganya?”
“bukan dok, saya tetangganya..”
Jawabnya sambil
menangis.
“ibu sudah hubungi keluarganya?”
“belum, disini tidak ada telepon
umum..”
“pakai handphone saya saja dulu, ibu
tahu nomor yang harus di
hubungikan?”
Suguh Arya
sambil menyodorkan handphone miliknya.
“ruangannya sudah siap dok!”
Panggil salah
seorang perawat dari balik ruang operasi.
“sebaiknya ibu tenangkan diri..”
Ujarnya sambil
menghampiri perawat tersebut, kemudian bergegas masuk ke ruang operasi. Farida
yang masih terlihat syok langsung berusaha menghubungi nomor Indri. tangannya
semakin gemetar dan Ia tak henti menangis.
“Indri!!!!”
Panggil wanita di ujung telepon itu tiba-tiba dengan suara parau.
“maaf
ini siapa ya?”
Tanya Indri
yang masih belum mengenali suara wanita itu
“ini ibu, Indri..”
“bu Farida? ada apa?!”
Tanya Indri penasaran
begitu mendengar wanita itu menangis.
“Dion...Ndri..Dion..hiks...hiks..”
Suaranya
tersegal-segal.
“Dion kenapa?”
Tanyanya lagi
yang semakin penasaran.
“Dion di tabrak mobil! sekarang
masuk rumah sakit! ibu nggak tahu harus
bagaimana?”
Sudah jatuh
tertimpa tangga pula, Hari itu sepertinya kemalangan terus saja menimpa Indri,
belum bersih noda penghinaan yang baru saja ia terima tadi siang. Ia sudah
mendapat kabar yang membuatnya semakin merasa terbebani. Indri tak menjawab
pertanyaan wanita tua itu, ia hanya diam dengan pandangan kosong.
“hallo...Indri kamu denger
ibu?hallo...Indri...?”
Wanita itu
terus menangis sambil terus memanggil namanya, tapi Indri tak menjwab panggilan
itu, kakinya terasa begitu lemas sampai tidak bisa berdiri. Ririn yang
melihatnya tiba-tiba duduk tersungkur di lantai langsung menghampirinya.
“ada apa ndri?”
Ririn terus
menanyakan apa yang sebenarnya sudah terjadi. tapi indri masih saja diam. Matanya
kosong, tapi tiba-tiba ia segera berlari dan kembali masuk ke ruangan bosnya.
“loch...ada apa lagi?”
Tanya Danu yang
kaget ketika melihat bawahanya itu sudah berada di depan pintu.
“boleh saya pulang?”
Pintanya dengan
mata yang sebam.
“memang ada apa?”
Indri tak
menjawab ia hanya menangis dengan wajah yang tampak begitu pucat.
* * *
No comments:
Post a Comment