Thursday, December 15, 2011

Cerbung : Hanya Satu #2

PART 2
-->
HANYA SATU
-->
Pagi-pagi sekali Farida sudah mengajak Dion pergi ke sebuah pasar tumpah di pinggiran jalan untuk membeli beberapa bahan dagangannya sore nanti. Sembari berjalan kaki, Farida mengandeng tangan Dion yang masih berumur 6 tahun. gadis kecil itu tampak begitu gembira ia berjalan sambil memeluk boneka Teddy yang selalu menemaninya sejak ia masih bayi.
“Indri antarkan pesanan meja no .9!!”
Teriak seorang koki padanya, suasana dapur begitu sibuk. Maklum saat itu sedang jam istirahat banyak orang yang datang ke restoran tempatnya bekerja untuk makan siang. Ramai. Semua pelanggan terlihat sangat tidak sabar menunggu pesanannya untuk segera datang.
            “baik!”
Jawabnya sambil membawa beberapa pesanan disebuah baki saji, dengan sangat hati-hati ia berjalan menghampiri meja no.9. Tapi tiba-tiba dari arah samping seorang pelanggan laki-laki menabraknya tanpa sengaja, Pelanggan itu terlihat sangat terburu-buru sambil menerima telepon dari seseorang ia terus berlari tanpa menghiraukan Indri. Yang sudah jatuh tersungkur di lantai, semua makanan yang sedari tadi dibawanya langsung jatuh berserakan menimpa seorang pelanggan wanita yang tengah asyik berbincang dengan rekan-rekannya.
            “ahhkkkkkkkk.!!”
Teriak wanita itu begitu mendapati pakaiannnya berlumuran saus.
            “maaf, maafkan saya..saya tidak sengaja..”
Ujar Indri sambil berusaha membersihkan pakaian wanita itu dengan tissu, tapi wanita itu langsung mengibaskan tangannya ke wajah Indri.
            “kamu bisa kerja nggak sih? lihat pakaian saya kotor begini!!”
            “maaf..”
Jawab Indri sembari sedikit membungkuk kemudian mulai memrapihkan pecahan piring di lantai. Tapi wanita itu masih tampak kesal, ketika Indri sibuk membereskan pecahan piring yang berserakan wanita itu langsung berdiri dan menumpahkan makanan yang sebelumnya tengah ia nikmati ke kepala Indri.  Kaget dan merasa begitu terhina Indri bergegas pergi meninggalkan tempat itu sambil membawa pecahan piring yang telah dikumpulkannya, wajah dan pakaiannya penuh dengan makanan.
            “Indri..”
Cegat Danu begitu mereka berpapasan.
            “iya pak..”
Jawabnya dengan suara parau.
            “cepat cuci mukamu!biar itu Ririn saja yang bawa ke dapur..”
Ujarnya sembari mengambil baki yang penuh dengan pecahan piring. Dengan tangan gemetar Indri memberikan baki yang penuh pecahan piring kepada Ririn, lalu berlari menuju kamar mandi. Saat tiba disana ia langsung menangis sambil membersihkan mukanya yang penuh dengan makanan, lama ia memandangi pantulan dirinya yang tampak kacau di cermin. rambut hitamnya yang panjang sebahu tampak begitu berantakan. Ia lalu menyisirnya dengan jari-jari tangannya yang kecil kemudian dengan karet rambut yang selalu ia bawa ia ikat rambutnya itu, matanya masih terus berkaca-kaca.
            “ini bukan sebuah hal yang patut kamu tangisi!”
Gumamnya dalam hati sambil terus mengusap airmatanya dan menghela nafas. Baginya penghinaan seperti itu bukan satu-satunya hal buruk yang selalu menimpannya.  Dengan seragam yang masih sedikit berlumuran saus ia keluar dari kamar mandi. disana Ririn sudah menunggunya dengan mimik muka yang tampak khawatir.
            “kamu nggak apa-apakan?’’
Indri hanya tersenyum kaku sambil terus berjalan.
            “oh iya Ndri, pak Danu manggil kamu ke kantornya..”
            “iya..”
Jawabnya lesu. Langkahnya malas, sambil menarik nafas dalam-dalam ia lalu membuka pintu ruangan bosnya itu, tampak  Danu sudah menunggunya dari tadi.
            “tutup pintunya..”
perintahnya pada Indri yang langsung duduk di kursi.
            “saya tahu itu bukan kesalahan kamu, tapi lain kali kamu harus lebih berhati-hati
              lagi..”
Ceramahnya pada Indri.
            “iya pak..”
            “untuk kerugiannya, terpaksa saya harus potong gaji kamu bulan ini..”
            “iya..”
Jawabnya lemas sembari tertunduk.
            “ya sudah..lanjutkan pekerjaanmu..”
            “baik..”
Indri berjalan keluar ruangan dengan kepala yang masih tertunduk, ia meratapi gajinya yang harus dipotong untuk kejadian tadi.  padahal gajinya yang biasa saja tidak bisa mencukupi keperluannya selama sebulan sekarang harus dipotong pula.
            “bagaimana ia harus membayar bunga hutang yang terus membesar setiap
  harinya?”
Pikirnya begitu lekat. Sampai tiba-tiba handphonenya berdering sebuah panggilan dari nomor yang tak ia kenal.
            “hallo?”
Salamnya begitu ia menerima panggilan itu.
            “Indri!!!!”
Panggil  wanita  di ujung telepon  itu tiba-tiba dengan suara parau seperti sedang menangis. 
           
*                                               *                                                                       *

pukul 12.30 Arya bergegas pergi begitu mendapat telepon dari rumah sakit, padahal ia baru saja sampai di sebuah restoran untuk makan siang, bagian UGD langsung menghubunginya begitu mereka kedatangan seorang pasien korban tabrak lari.  Sambil menerima telepon ia berlari menuju mobil Honda CV-R berwarna silver miliknya, karena terlalu terburu-buru tanpa ia sadari ia menabrak seorang pramusaji yang tengah membawa makanan di dalam restoran itu.
            “bagaimana kondisinya?”
            “saat di bawa sudah tidak sadarkan diri?”
Arya langsung memeriksa kondisi korban tabrak lari itu, seorang gadis kecil berumur sekitar 5 sampai 6 tahun,  tubuh mungilnya tampak lemah tak berdaya, wajahnya dipenuhi noda darah yang masih mengalir dari pelipis kanan, hidung dan juga mulutnya.
            “apa ada luka dalam?”
            “di perut bagian kanan terlihat darah mengumpal, korban juga mengalami
  gegar otak..”
            “tekanan darahnya turun!”
            “denyut nadi dan jantungnya juga mulai melemah..”
Ujar beberapa perawat yang terus sibuk memeriksa kondisi gadis itu, sambil berupaya memberikan pertolongan pertama.
            “kalau begitu, cepat siapkan ruang operasi!”
            “baik!”
Begitu selesai memeriksa kondisi dan memasangkan beberapa peralatan medis, para perawat itu langsung membawa Dion ke ruang operasi.
            “pak dokter, saya harus bagaimana?”
Tanya Farida sambil menghampiri Arya.
“apa ibu keluarganya?”
            “bukan dok, saya tetangganya..”
Jawabnya sambil menangis.
            “ibu sudah hubungi keluarganya?”
            “belum, disini tidak ada telepon umum..”
            “pakai handphone saya saja dulu, ibu tahu nomor yang harus di
  hubungikan?”
Suguh Arya sambil menyodorkan handphone miliknya.
            “ruangannya sudah siap dok!”
Panggil salah seorang perawat dari balik ruang operasi.
            “sebaiknya ibu tenangkan diri..”
Ujarnya sambil menghampiri perawat tersebut, kemudian bergegas masuk ke ruang operasi. Farida yang masih terlihat syok langsung berusaha menghubungi nomor Indri. tangannya semakin gemetar dan Ia tak henti menangis.
            “Indri!!!!”
Panggil  wanita di ujung telepon  itu tiba-tiba dengan suara parau. 
            “maaf ini siapa ya?”
Tanya Indri yang masih belum mengenali suara wanita itu
“ini ibu, Indri..”
“bu Farida? ada apa?!”
Tanya Indri penasaran begitu mendengar wanita itu menangis.
            “Dion...Ndri..Dion..hiks...hiks..”
Suaranya tersegal-segal.
            “Dion kenapa?”
Tanyanya lagi yang semakin penasaran.
            “Dion di tabrak mobil! sekarang masuk rumah sakit! ibu nggak tahu harus
bagaimana?”
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, Hari itu sepertinya kemalangan terus saja menimpa Indri, belum bersih noda penghinaan yang baru saja ia terima tadi siang. Ia sudah mendapat kabar yang membuatnya semakin merasa terbebani. Indri tak menjawab pertanyaan wanita tua itu, ia hanya diam dengan pandangan kosong.
            “hallo...Indri kamu denger ibu?hallo...Indri...?”
Wanita itu terus menangis sambil terus memanggil namanya, tapi Indri tak menjwab panggilan itu, kakinya terasa begitu lemas sampai tidak bisa berdiri. Ririn yang melihatnya tiba-tiba duduk tersungkur di lantai langsung menghampirinya.
            “ada apa ndri?”
Ririn terus menanyakan apa yang sebenarnya sudah terjadi. tapi indri masih saja diam. Matanya kosong, tapi tiba-tiba ia segera berlari dan kembali masuk ke ruangan bosnya.
            “loch...ada apa lagi?”
Tanya Danu yang kaget ketika melihat bawahanya itu sudah berada di depan pintu.
            “boleh saya pulang?”
Pintanya dengan mata yang sebam.
            “memang ada apa?”
Indri tak menjawab ia hanya menangis dengan wajah yang tampak begitu pucat.

            *                                                           *                                                           *

No comments: