Friday, February 8, 2013

Cerbung : Kala Kembali #3



Senja di Lapang Bola

Agita pulang lebih awal karena kejadian di ruang peralatan, Umar sendiri yang mengantarkannya saat jam istirahat dan kembali sebelum kami memulai pelajaran. Usiaku sudah hampir 29 tahun, tapi aku harus terjebak disini. Di sebuah ruangan kelas anak SMP, mengikuti pelajaran mereka, dan merasa cemburu pada anak kecil yang membantu temannya pulang ke rumah. aku pasti sudah gila.
Kata-kata itu tak berhenti berputar-putar di dalam kepalaku. Apa yang terjadi padaku, aku cemburu pada Umar yang berusia 15 tahun karena mengantarkan Agita pulang ke rumahnya. Meskipun aku memang menyukainya, tapi itu bukan hal yang pantas untuk aku rasakan diusiaku ini. ini benar benar benar gila. Aku kembali menyalahkan diriku. Aku ingin segera pergi dan kembali ke dalam kamarku, mengurung diri disana. Dan tak ingin keluar lagi. Sampai aku benar-benar kembali ke tubuhku yang semula.
Sepanjang pelajaran aku tidak menyadari bahwa Umar masih memperhatikanku, sampai aku menyadarinya ketika kami hendak pulang dari sekolah. Ia mengikutiku dari belakang. Meninggalkan sepedanya tetap di sekolah. Aku berhenti di lapangan bola dekat perkampungan kami, melihat matahari senja kota Jakarta dari sana. Berwarna oranye terhalang beberapa awan bergelombang. Aku menghela nafas panjang, duduk di samping lapang, dan sibuk mengeluh sendiri. Ketika Umar tiba-tiba datang menghampiriku.
“sebenarnya kamu ini siapa?”
Tanya Umar dengan tatapan penuh curiga kearahku. Aku terperanjat kaget begitu mengetahuinya sudah berada di belakangku. Dan aku juga tak mengerti dengan apa yang ia tanyakan barusan.
            “kamu ini bicara apa?”
Aku balik bertanya padanya, tapi ia semakin mempertegas sorot matanya mencurigaiku.
            “siapa kamu?!”
Tanyanya lagi.
            “apa matamu sudah rabun, memangnya kamu pikir aku siapa? Tentu saja aku Sani!”
Jawabku kesal. tapi ia hanya menggelengkan kepalanya.
            “kamu bukan Sani, Sani yang aku kenal tidak sepertimu..”
Ujarnya penuh keyakinan.
            “Kalau aku bukan Sani yang kamu kenal?lalu seperti apa Sani yang kamu kenal?”
Tanyaku kesal.
            “Sani yang ku kenal, tidak sepertimu..dia bukan orang yang tega melakukan hal-hal yang buruk terhadap orang
  lain, apalagi temannya sendiri..kenapa kamu melakukan itu padahal kamu sudah tahu? Kamu sengaja
  melakukannya pada Agita kan?”
Ujarnya penuh kekecewaan.
            “kalau aku sengaja memangnya kenapa? Kamu pasti lebih senang melihatku yang di lempari tepung daripada
 Agita? Iya kan?”
“Maksudku bukan itu..”
Jawab Umar tak ingin ada salahpaham.
“sudahlah! aku memang bukan Sani yang kamu kenal dulu, Sani itu sudah pergi, karena itu mulai sekarang
 kamu tidak perlu memperdulikan Sani yang ada dihadapanmu ini..”
 Aku marah dan sedih saat mengatakannya. Dan aku juga bisa melihat raut wajah Umar yang sama pilunya menatapku disoroti matahari senja. Aku tak mau lama berada disana. Melihat Umar yang menatapku seperti itu. sama rasanya seperti mimpi yang aku alami sebelumnya. begitu selesai mengatakannya. Aku segera memalingkan wajahku dan pergi. 

*                       *                       *

Malam selepas maghrib, Umar datang berkunjung ke rumah Agita sembari membawa beberapa rantang makanan buatan ibunya untuk Agita dan Pak Bambang ayahnya. Tak lama dari jendela kamarku, ku lihat ia keluar dari dalam rumah bersama Agita, mereka duduk di teras. Entah apa yang mereka bicarakan. tapi, aku rasa itu pasti hal yang penting melihat raut wajah keduanya yang tampak serius bicara. kulihat Umar memberikan sesuatu sejenis buku pada Agita.
            “ini, aku pinjamkan catatan pelajaran di kelas tadi..”
Ujar Umar sembari memberikan sebuah buku catatan pada Agita.
            “makasih, Mar..”
Jawab Agita sembari tersenyum sungging.
            “Sani jadi sedikit aneh..”
Ujar Umar lagi sembari memangku dagu.
            “aneh kenapa?”
Tanya Agita tak mengerti, tapi Umar hanya menatapnya dengan perasaan bersalah. Ia tak berniat memberitahu Agita bahwa ternyata Sani memang sengaja membiarkan Agita masuk ke ruangan peralatan dan terkena perangkap yang sebenarnya disiapkan untuk Sani.
            “memang sih, Sani jadi sedikit kasar..tapi menurutku itu pasti gara-gara kepalanya yang sakit, karena itu dia
 jadi gampang marah..”
“kepala?”
Tanya Umar tak mengerti.
            “hmm, dia bilang kepalanya sakit..itu yang bikin dia jadi suka marah-marah..”
Jelas Agita.
            “begitu ya, tapi Git..aku cuma mau ngasih saran saja..sebaiknya kamu jangan terlalu dekat-dekat sama Sani..”
            “memangnya kenapa?”
Tanya Agita tak mengerti.
            “aku tidak bisa jelaskan kenapa! pokoknya, untuk beberapa hari ini, kamu jangan terlalu dekat sama Sani..”
            “kalau dia yang mendekatiku, bagaimana?”
            “kamu lari saja yang jauh..”
Saran Umar padanya. Agita hanya merenggut keheranan. Mereka berdua segera beranjak dari teras, kulihat Agita mengantarkan Umar sampai gerbang rumahnya. Mereka tersenyum dan saling melambaikan tangan satu sama lain. Marahku semakin besar pada Agita, aku makin membencinya saat itu. kupikir jika Agita bisa merebut Indra dariku, kenapa tidak ku balas dengan merebut Umar darinya. Mungkin ini kekanak-kanakan untuk aku lakukan,tapi toh saat ini usiaku masih 15 tahun. Tak ada salahnya aku lakukan itu. esok, jika aku terbangun di keadaan yang sama. Akan aku pastikan, tak ada celah untuk Umar bisa mendekati Agita, ataupun sebaliknya.

*                       *                       *
           
Pagi yang tak berubah saat berangkat ke sekolah, aku sudah bersiap menanti Umar di depan pintu gerbang rumahku. Dia berjalan dari ujung gang seorang diri. Aku tersenyum berusaha menyapanya dari tempatku.  Tapi dia malah menegok ke arah kiri dan kanannya, dia melihatku dengan tatapan aneh. Seolah merasa heran karena aku menyapanya terlebih dulu pagi itu.
“Umar, kita berangkat bareng ya?”
Pintaku begitu ia sudah berada dekat denganku. Tapi ia hanya diam dan tak berhenti menatapku keheranan. Saat itu kulihat Agita juga sudah bersiap keluar dari dalam rumahnya, sembari menuntun sepedanya, Agita berjalan menghampiri kami berdua.
            ‘”loh Mar, sepeda kamu kemana?”
Tanya Agita.
            “aku tinggalin di sekolah kemarin!”
            “ooh..”
Gumam Agita sembari tersenyum simpul. saat itu, kupikir akan sangat bagus, jika tiba-tiba Agita melihatku merangkul tangan Umar. Dia pasti akan cemburu melihatnya. Jadi tanpa banyak berpikir lagi, aku langsung berdiri disamping Umar dan merangkul tangannya dihadapan Agita.
            “kita berangkat sekarang!”
Ajakku pada Umar sembari berkata manja. Tentu saja, sesuai dugaanku keduanya langsung terkejut ketika melihatku melakukannya. Kupikir itu akan efektif untuk membuat hubungan mereka jadi rengang. Tapi anehnya, Agita hanya tersenyum kecil sambil memandangi wajah Umar yang tiba-tiba tampak merah kaku di sampingku. Kemudian berjalan mendahului kami, sembari tetap menuntun sepedanya. Lapangan dan gang dekat sungai kembali kami lalui. Aku tetap mengandeng tangan Umar, yang jadi pendiam disepanjang perjalanan kami, tangannya bahkan terasa semakin dingin. Sesekali Agita melirik kearah kami, sambil tetap tersenyum kecil. Ini tingkah teraneh yang pernah kulihat saat seseorang sedang merasa cemburu. Pikirku beberapa saat.
            Tapi tentu saja aku tak mau berhenti sampai disitu, tiap kali kulihat Umar ingin mendekati Agita maka saat itu aku datang dan membawanya pergi, begitu pula sebaliknya. Aku bahkan meminta Agita untuk pindah dari bangku kami dan memaksa Umar untuk duduk bersamaku.kuperhatikan ekpresi mereka sedikit berbeda. Umar jadi lebih pendiam, sedangkan Agita terus memperhatikan kami dari tempat duduknya. Masih tetap sembari tersenyum kecil.       
            “Umar, nanti kita pulang bareng ya?”
Pintaku lagi pada Umar saat jam istirahat. Ia hanya mengangguk kaku, kemudian berlari meninggalkanku pergi ke kamar mandi. dari sikapnya itu aku sudah bisa menyimpulkan bahwa Umar merasa tidak nyaman berada didekatku, dan itu pasti karena ia tak mau Agita salahpaham. Awalnya kupikir seperti itu, sampai aku tahu ternyata. Perkiraanku salah.
            Senja di lapangan bola waktu pulang sekolah, Umar memboncengku di belakang sepedanya yang ia tinggalkan kemarin di sekolah. Pancaran Layung senja sedikit memantulkan bayangan kami berdua ditanah. Sambil memejamkan kedua mataku kusandarkan kepalaku di belakang punggung Umar.
            “Kalau dulu kamu tidak menyukai Agita, apa bisa kamu menyukaiku?”
Gumamku pelan, sembari tetap bersandar dipunggung Umar, yang sepertinya tak mendengar ucapanku, ia hanya terus mengoes sepedanya, mengantarkanku pulang ke rumah.

*                       *                       *

PART IV

No comments: