Senja di Lapang Bola
Agita pulang lebih awal
karena kejadian di ruang peralatan, Umar sendiri yang mengantarkannya saat jam
istirahat dan kembali sebelum kami memulai pelajaran. Usiaku sudah hampir 29
tahun, tapi aku harus terjebak disini. Di sebuah ruangan kelas anak SMP,
mengikuti pelajaran mereka, dan merasa cemburu pada anak kecil yang membantu
temannya pulang ke rumah. aku pasti sudah gila.
Kata-kata itu tak berhenti berputar-putar di dalam kepalaku. Apa yang terjadi padaku, aku cemburu pada Umar yang berusia 15 tahun karena mengantarkan Agita pulang ke rumahnya. Meskipun aku memang menyukainya, tapi itu bukan hal yang pantas untuk aku rasakan diusiaku ini. ini benar benar benar gila. Aku kembali menyalahkan diriku. Aku ingin segera pergi dan kembali ke dalam kamarku, mengurung diri disana. Dan tak ingin keluar lagi. Sampai aku benar-benar kembali ke tubuhku yang semula.
Kata-kata itu tak berhenti berputar-putar di dalam kepalaku. Apa yang terjadi padaku, aku cemburu pada Umar yang berusia 15 tahun karena mengantarkan Agita pulang ke rumahnya. Meskipun aku memang menyukainya, tapi itu bukan hal yang pantas untuk aku rasakan diusiaku ini. ini benar benar benar gila. Aku kembali menyalahkan diriku. Aku ingin segera pergi dan kembali ke dalam kamarku, mengurung diri disana. Dan tak ingin keluar lagi. Sampai aku benar-benar kembali ke tubuhku yang semula.
Sepanjang pelajaran aku
tidak menyadari bahwa Umar masih memperhatikanku, sampai aku menyadarinya
ketika kami hendak pulang dari sekolah. Ia mengikutiku dari belakang.
Meninggalkan sepedanya tetap di sekolah. Aku berhenti di lapangan bola dekat
perkampungan kami, melihat matahari senja kota Jakarta dari sana. Berwarna
oranye terhalang beberapa awan bergelombang. Aku menghela nafas panjang, duduk
di samping lapang, dan sibuk mengeluh sendiri. Ketika Umar tiba-tiba datang
menghampiriku.
“sebenarnya kamu ini siapa?”
Tanya Umar dengan tatapan penuh curiga kearahku. Aku
terperanjat kaget begitu mengetahuinya sudah berada di belakangku. Dan aku juga
tak mengerti dengan apa yang ia tanyakan barusan.
“kamu
ini bicara apa?”
Aku balik bertanya padanya, tapi ia semakin
mempertegas sorot matanya mencurigaiku.
“siapa
kamu?!”
Tanyanya lagi.
“apa
matamu sudah rabun, memangnya kamu pikir aku siapa? Tentu saja aku Sani!”
Jawabku kesal. tapi ia hanya menggelengkan kepalanya.
“kamu
bukan Sani, Sani yang aku kenal tidak sepertimu..”
Ujarnya penuh keyakinan.
“Kalau
aku bukan Sani yang kamu kenal?lalu seperti apa Sani yang kamu kenal?”
Tanyaku kesal.
“Sani
yang ku kenal, tidak sepertimu..dia bukan orang yang tega melakukan hal-hal
yang buruk terhadap orang
lain, apalagi temannya sendiri..kenapa kamu
melakukan itu padahal kamu sudah tahu? Kamu sengaja
melakukannya pada Agita kan?”
Ujarnya penuh kekecewaan.
“kalau
aku sengaja memangnya kenapa? Kamu pasti lebih senang melihatku yang di lempari
tepung daripada
Agita? Iya kan?”
“Maksudku bukan itu..”
Jawab Umar tak ingin ada salahpaham.
“sudahlah! aku memang bukan
Sani yang kamu kenal dulu, Sani itu sudah pergi, karena itu mulai sekarang
kamu tidak perlu memperdulikan Sani yang ada
dihadapanmu ini..”
Aku marah dan sedih
saat mengatakannya. Dan aku juga bisa melihat raut wajah Umar yang sama pilunya
menatapku disoroti matahari senja. Aku tak mau lama berada disana. Melihat Umar
yang menatapku seperti itu. sama rasanya seperti mimpi yang aku alami
sebelumnya. begitu selesai mengatakannya. Aku segera memalingkan wajahku dan
pergi.
* * *
Malam selepas maghrib, Umar
datang berkunjung ke rumah Agita sembari membawa beberapa rantang makanan
buatan ibunya untuk Agita dan Pak Bambang ayahnya. Tak lama dari jendela
kamarku, ku lihat ia keluar dari dalam rumah bersama Agita, mereka duduk di
teras. Entah apa yang mereka bicarakan. tapi, aku rasa itu pasti hal yang penting
melihat raut wajah keduanya yang tampak serius bicara. kulihat Umar memberikan
sesuatu sejenis buku pada Agita.
“ini,
aku pinjamkan catatan pelajaran di kelas tadi..”
Ujar Umar sembari memberikan sebuah buku catatan pada
Agita.
“makasih,
Mar..”
Jawab Agita sembari tersenyum sungging.
“Sani
jadi sedikit aneh..”
Ujar Umar lagi sembari memangku dagu.
“aneh
kenapa?”
Tanya Agita tak mengerti, tapi Umar hanya menatapnya
dengan perasaan bersalah. Ia tak berniat memberitahu Agita bahwa ternyata Sani
memang sengaja membiarkan Agita masuk ke ruangan peralatan dan terkena
perangkap yang sebenarnya disiapkan untuk Sani.
“memang
sih, Sani jadi sedikit kasar..tapi menurutku itu pasti gara-gara kepalanya yang
sakit, karena itu dia
jadi gampang marah..”
“kepala?”
Tanya Umar tak mengerti.
“hmm,
dia bilang kepalanya sakit..itu yang bikin dia jadi suka marah-marah..”
Jelas Agita.
“begitu
ya, tapi Git..aku cuma mau ngasih saran saja..sebaiknya kamu jangan terlalu
dekat-dekat sama Sani..”
“memangnya
kenapa?”
Tanya Agita tak mengerti.
“aku
tidak bisa jelaskan kenapa! pokoknya, untuk beberapa hari ini, kamu jangan
terlalu dekat sama Sani..”
“kalau
dia yang mendekatiku, bagaimana?”
“kamu
lari saja yang jauh..”
Saran Umar padanya. Agita hanya merenggut keheranan.
Mereka berdua segera beranjak dari teras, kulihat Agita mengantarkan Umar
sampai gerbang rumahnya. Mereka tersenyum dan saling melambaikan tangan satu
sama lain. Marahku semakin besar pada Agita, aku makin membencinya saat itu.
kupikir jika Agita bisa merebut Indra dariku, kenapa tidak ku balas dengan
merebut Umar darinya. Mungkin ini kekanak-kanakan untuk aku lakukan,tapi toh
saat ini usiaku masih 15 tahun. Tak ada salahnya aku lakukan itu. esok, jika
aku terbangun di keadaan yang sama. Akan aku pastikan, tak ada celah untuk Umar
bisa mendekati Agita, ataupun sebaliknya.
* * *
Pagi yang tak berubah saat
berangkat ke sekolah, aku sudah bersiap menanti Umar di depan pintu gerbang
rumahku. Dia berjalan dari ujung gang seorang diri. Aku tersenyum berusaha menyapanya
dari tempatku. Tapi dia malah menegok ke
arah kiri dan kanannya, dia melihatku dengan tatapan aneh. Seolah merasa heran
karena aku menyapanya terlebih dulu pagi itu.
“Umar, kita berangkat
bareng ya?”
Pintaku begitu ia sudah berada dekat denganku. Tapi ia
hanya diam dan tak berhenti menatapku keheranan. Saat itu kulihat Agita juga
sudah bersiap keluar dari dalam rumahnya, sembari menuntun sepedanya, Agita
berjalan menghampiri kami berdua.
‘”loh
Mar, sepeda kamu kemana?”
Tanya Agita.
“aku
tinggalin di sekolah kemarin!”
“ooh..”
Gumam Agita sembari tersenyum simpul. saat itu, kupikir
akan sangat bagus, jika tiba-tiba Agita melihatku merangkul tangan Umar. Dia
pasti akan cemburu melihatnya. Jadi tanpa banyak berpikir lagi, aku langsung
berdiri disamping Umar dan merangkul tangannya dihadapan Agita.
“kita
berangkat sekarang!”
Ajakku pada Umar sembari berkata manja. Tentu saja,
sesuai dugaanku keduanya langsung terkejut ketika melihatku melakukannya.
Kupikir itu akan efektif untuk membuat hubungan mereka jadi rengang. Tapi
anehnya, Agita hanya tersenyum kecil sambil memandangi wajah Umar yang
tiba-tiba tampak merah kaku di sampingku. Kemudian berjalan mendahului kami,
sembari tetap menuntun sepedanya. Lapangan dan gang dekat sungai kembali kami
lalui. Aku tetap mengandeng tangan Umar, yang jadi pendiam disepanjang
perjalanan kami, tangannya bahkan terasa semakin dingin. Sesekali Agita melirik
kearah kami, sambil tetap tersenyum kecil. Ini tingkah teraneh yang pernah
kulihat saat seseorang sedang merasa cemburu. Pikirku beberapa saat.
Tapi tentu
saja aku tak mau berhenti sampai disitu, tiap kali kulihat Umar ingin mendekati
Agita maka saat itu aku datang dan membawanya pergi, begitu pula sebaliknya.
Aku bahkan meminta Agita untuk pindah dari bangku kami dan memaksa Umar untuk
duduk bersamaku.kuperhatikan ekpresi mereka sedikit berbeda. Umar jadi lebih pendiam,
sedangkan Agita terus memperhatikan kami dari tempat duduknya. Masih tetap
sembari tersenyum kecil.
“Umar,
nanti kita pulang bareng ya?”
Pintaku lagi pada Umar saat jam istirahat. Ia hanya
mengangguk kaku, kemudian berlari meninggalkanku pergi ke kamar mandi. dari
sikapnya itu aku sudah bisa menyimpulkan bahwa Umar merasa tidak nyaman berada
didekatku, dan itu pasti karena ia tak mau Agita salahpaham. Awalnya kupikir
seperti itu, sampai aku tahu ternyata. Perkiraanku salah.
Senja
di lapangan bola waktu pulang sekolah, Umar memboncengku di belakang sepedanya
yang ia tinggalkan kemarin di sekolah. Pancaran Layung senja sedikit
memantulkan bayangan kami berdua ditanah. Sambil memejamkan kedua mataku
kusandarkan kepalaku di belakang punggung Umar.
“Kalau
dulu kamu tidak menyukai Agita, apa bisa kamu menyukaiku?”
Gumamku pelan, sembari tetap bersandar dipunggung
Umar, yang sepertinya tak mendengar ucapanku, ia hanya terus mengoes sepedanya,
mengantarkanku pulang ke rumah.
No comments:
Post a Comment