Thursday, April 13, 2017

Cerpen : Menginap

MENGINAP

Oleh : Veris


          Bewok duduk sambil menikmati segelas kopi susu di sebuah warung yang berada tepat berhadap-hadapan dengan sebuah sekolah dasar. dipehatikannya suasana disana, beberapa hari terakhir ini, ramai para orangtua murid terlihat lebih awal datang ke sekolah itu untuk menjemput putra-putri mereka sepulang sekolah nanti, bahkan beberapa orang yang sepertinya sama menganggur seperti dirinya rajin menunggui anak-anak mereka di depan gerbang sekolah sampai waktu belajar usai. bukan tanpa alasan semua itu terjadi tetapi lebih dikarenakan berita hilangnya seorang anak perempuan kelas empat di sekolah tersebut secara tiba-tiba.
           Nama anak itu Melati,
usianya sekitar sembilan tahun, kulit sawo matang dengan rambut hitam yang menjuntai hingga bahu. setidaknya itu yang tertulis pada selebaran kertas yang terpampang di pinggir-pinggir jalan, di tiang-tiang listrik, dan juga di jendela kaca si pemilik warung tempat Bewok menikmati kopi susunya. 
             Melati terakhir kali terlihat menggunakan seragam sekolah pada hari Jum'at sebelum adzan dzuhur seperti sekarang ini, tepatnya sudah satu minggu yang lalu. Menurut para saksi yang ditanyai polisi, hari itu tidak seperti biasa Melati pulang seorang diri tanpa ditemani teman-temannya yang biasa pulang bersama-sama dengannya. Eha tetangga Melati, malah masih sempat bertemu anak itu di gang masjid menuju rumahnya.
            Tetapi sayang, jejak Melati berhenti di sebuah jalan setapak yang hanya tinggal beberapa ratus meter lagi dari tempat tinggalnya. Dan seperti di telan bumi, gadis kecil dengan senyum yang menunjukan gigi depannya yang sudah tanggal itu tiba-tiba hilang tak jelas kemana.
     
       Bewok berjalan menyusuri jalan setapak tempat dimana malapetaka itu terjadi, coba membayangkan lagi detik-detik terakhir ketika Melati dinyatakan hilang. Memang benar, jalan setapak yang dilalui Melati hari itu adalah jalan yang sepi dan jarang-jarang dilewati orang baik di siang maupun malam hari.  jangankan memasang kamera pengintai seperti cctv, bila malam tiba penerangannya pun hanya didapat dari rumah-rumah warga yang posisinya tidak terlalu jauh dari tempat itu. jadi pantas jika orang bisa dengan leluasa melakukan hal apapun di tempat sepi macam jalan setapak itu.
          Bewok melihat ke sebuah rumah  yang berada tidak jauh dari sana, posisinya bahkan tepat menghadap jalan setapak itu. rumah semi permanen yang lebih seperti gudang rongsokkan karena terhalang oleh tumpukan besi tua dan kertas kardus. kabarnya di rumah tersebut hanya ditinggali oleh seorang pria paruh baya. polisi bahkan sempat mencurigai pria itu sebagai orang yang kemungkinan besar bertanggungjawab atas menghilangnya Melati, karena kepribadiannya yang dikenal sangat tertutup oleh warga sekitar. 
          Tetapi diluar dugaan, pria paruh baya itu justru bisa memberikan alibi yang menguatkan dirinya bahwa ia bukanlah orang iseng yang suka menculik anak-anak kecil untuk ia ajak menginap di gubuk tuanya seperti yang disangkakan polisi-polisi tersebut. karena dihari dimana Melati menghilang pria paruh baya itu tengah pergi mengunjungi rumah sanak familinya yang sedang sibuk menyiapkan gelaran hajatan.
         Bewok tidak bisa menahan rasa penasarannya akan rumah itu, di dekatinya rumah tersebut sejengkal demi sejengkal. Memang sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana dan sepertinya si pria paruh baya pun  belum sampai di tempat itu.  
            Suara adzan dzuhur  meraung-raung dari toa-toa masjid. tetapi tidak ada niatan Bewok untuk beranjak dari tempat itu barang sejengkalpun, walau secara keyakinan yang diturunkan keluarganya ia termasuk seorang muslim.
          Bewok duduk termenung di sebuah dipan kayu di depan rumah itu, dipandanginya jalan setapak tersebut  tanpa suara. memang sepi benar tempat itu, tidak ada seorangpun yang melintas selama ia berada disana. lalu seketika saja ia terpikir bagaimana anak kecil seperti Melati justru berani melewati tempat sepi dan menyeramkan itu seorang diri?
            Bewok membayangkan gadis kecil itu berjalan seorang diri muncul dari ujung jalan setapak sembari berlompat-lompat dan sesekali menyesap minuman dingin yang dibelinya dari seorang pedagang di depan sekolah.
           Gadis kecil itu berdendang menyanyikan sebuah lagu sembari tersenyum yang seketika itu langsung menunjukan giginya yang tanggal, betapa manisnya senyum anak itu, dengan rambut hitam yang menjuntai melalui bahunya dan kulit sawo matangnya yang masih mulus bersih, begitu mempesona dengan segala keluguannya.
            Lalu tiba-tiba seseorang yang tidak dikenal mulai mendekatinya, mungkin dari depan atau mungkin dari belakang, sosok itu bisa jadi berjalan dengan santai mendekatinya seraya membujuknya dengan sesuatu yang menarik perhatian atau bisa juga langsung bergerak cepat sembari menyeret anak itu pergi bersamanya.

         "Kamu siapa?" tanya seorang pria yang tiba-tiba saja sudah berdiri dihadapan Bewok dengan pandangan penuh selidik.
         Bewok terkesiap, ia yang sedari tadi termenung membayangkan berbagai skenario tentang teknis penculikan Melati bahkan tidak menyadari kedatangan pria tersebut. 
          Bewok bangkit dari duduknya. "Bapak sendiri siapa?" katanya balas bertanya, meskipun dari roman mukanya Bewok yakin betul bahwa orang itu adalah si pria paruh baya pemilik rumah semi permanen yang lebih tampak seperti gudang rongsokan karena terhalang oleh tumpukan besi tua dan kertas kardus. 
           "Saya yang punya rumah ini, kamu siapa?" tanya pria penuh curiga.
           Bewok tersenyum. "Oh, maafkan, katanya. "saya hanya kebetulan lewat saja, lalu ikut berteduh disini!"
         Pria paruh baya itu hanya menautkan alis, seraya membuka gerendel pintu rumahnya yang masih terbuat dari papan triplek.
           "Kenapa masih berdiri disitu?" tanya si pria paruh baya ketika melihat Bewok yang belum juga beranjak meninggalkan rumahnya.
          "Kalau bapak tidak keberatan, saya ingin mengobrol-ngobrol sedikit saja, apa bisa?" ujar Bewok memberanikan diri. "Saya dengar kemarin-kemarin terjadi penculikan anak di sekitar sini.."
            Pria itu mendesah begitu mendengar perkataan Bewok.  "Pertanyaan itu lagi,di kampung ini berita buruk cepat sekali menyebarnya, keluh si pria seraya duduk di dipan rumahnya, "biar bagaimanapun saya jelaskan, orang-orang tidak mau percaya kalau saya ini sama sekali tidak terlibat dengan kasus menghilangnya anak itu dan tetap mencurigai saya" katanya murung sebelum memulakan cerita.
           Bewok menyimak penutur si pria paruh baya itu yang sama persis dengan apa yang pernah diterangkan seorang polisi mengenai peristiwa hilangnya Melati dalam sebuah kolom surat kabar. ia bisa melihat kejujuran di dalam tutur kata si pria paruh baya.
         "Beruntung sekali, bapak sedang tidak berada di rumah saat kejadian itu berlangsung, karena kalau tidak tentu saja kecurigaan orang-orang akan semakin kuat mengarah pada bapak!" ujar Bewok.
         Pria itu berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepala.
          "Apanya yang beruntung, dik? saya malah merasa apes!, bantahnya segera. coba kalau saat itu saya ada di rumah, sudah barang tentu saya bisa melihat kejadian itu, syukur-syukur kalau saya bisa menangkap pelakunya, tentu orang-orang tidak akan mencurigai saya seperti apa yang saya alami sekarang ini!" katanya mengelus dada.
          "Tapi bagaimana kalau orang itu membawa senjata tajam? nanti bapak juga bisa terluka, tidak jarang orang yang berniat baik justru malah ikut menjadi korban, saya sudah sering melihatnya.." ujar  Bewok.
          "tahu apalah kau ini, dik! bagiku lebih baik mati dikenang sebagai seorang pahlawan, daripada harus hidup dibawah prasangka buruk orang!" sanggah si pria paruh baya itu seraya menepuk bahu Bewok. Bewok hanya mengangguk coba memahami setiap penyataan orang itu. 

        Waktu berlalu, adzan ashar sudah lewat dari kapan tahu, langit yang tadi masih terang benderang mulai nampak kemerah-merahan, dan angin sepoi-sepoi kala itu ikut mengiring hari menuju senja.
        Si pria paruh baya terdiam sesaat, dipandanginya Bewok dari ujung rambut sampai ujung kaki. baru sadar bahwa dirinya sudah menghabiskan setengah hari ini mengobrol dengan orang asing.
        "Ngomong-ngomong, adik ini siapa? sepertinya bukan orang sini, ya" tanya si pria paruh baya penasaran. Bewok tersenyum sembari menghabiskan segelas kopi tubruk hitam yang sengaja dibuatkan pria paruh baya itu untuknya.
         "Saya memang bukan orang sini, kata Bewok seraya beranjak,  saya tinggal di kampung sebelah!"
           Pria paruh baya itu mengangguk-anggukan kepala sembari menengadah menatap ke arah Bewok yang sudah berdiri membelakangi jalan setapak di depan rumahnya. jalannya sudah jadi gelap gulita karena tidak cukup mendapati penerangan.
           "Terima kasih karena bapak sudah sudi mengobrol dengan saya, semua yang  bapak katakan membuat saya banyak berpikir, saya tahu kalau bapak ini orang jujur dan tidak mungkin rasanya kalau orang jujur orang seperti bapak ini sanggup melakukan tindakan iseng seperti itu," kata Bewok.
           Mendengar perkataan tulus itu, si pria paruh baya hanya bisa tersenyum seraya menepuk pundak Bewok "syukurlah kalau adik ini mau percaya pada saya, itupun sudah cukup membuat saya senang!"
          Seekor kunang-kunang yang entah datang dari mana tiba-tiba terbang melintas diantara Bewok dan si pria paruh baya. kedua mata mereka langsung tertuju pada kunang-kunang yang dengan gerakannya yang gemulai berpijar-pijar dengan cahayanya yang kehijau-hijauan. tangan Bewok bahkan hampir-hampir bergerak hendak menangkap kunang-kunang tersebut, tapi entah kenapa ia urungkan begitu saja.
           Bewok mengalihkan pandangannya pada si pria paruh baya seraya berpamitan. "kalau begitu saya permisi, pak!"
        "Iya-iya, silakan! Pria paruh baya itu segera beranjak dari duduknya hendak menghantar Bewok.   "hati-hati, katanya seraya menjabat tangan. "jujur, dik! saya merasa sedih dengan apa yang menimpa anak itu, apalagi tempat kejadiannya tepat berada di depan rumah saya, andai saya bertemu pelakunya mungkin sudah saya ikat dia, saya seret pakai gerobak sampah milik saya lalu saya arak keliling kampung!" katanya geram, "yah, tapi saya bisa apa?  sudah hampir satu minggu anak itu menghilang dan bagaimana nasibnya tidak ada yang tahu, entah masih hidup atau sudah..." pria paruh baya itu tidak melanjutkan perkataanya.
         "tidak apa-apa, pak! semua itu bukan salah bapak, mungkin memang sudah nasibnya anak itu, sergap Bewok.
       "lagipula anak itu memang sangatlah manis, siapapun juga tidak akan tahan jika harus melihatnya berjalan sendirian di tempat sepi dan menyeramkan macam jalan setapak yang ada di depan rumah bapak ini, bagaimana kalau ada orang iseng yang berniat jahat, apalagi jaman sekarang sedang marak kasus penculikan, beruntung waktu itu saya masih bisa menolongnya dan membawanya ketempat yang lebih aman, karena kalau tidak saya tidak tahu apa yang akan terjadi padanya... " ujar Bewok tersenyum seraya meninggalkan si pria paruh baya dan rumah semi permanennya yang lebih mirip gudang rongsokkan karena terhalang oleh tumpukan besi dan kertas kardus di dekat jalan setapak tempat dimana Melati menghilang.



          

            






         


















             


                  

             


            

No comments: