Oleh : Riris Rismawati
Setiap insan memiliki jiwa, di dalam jiwanya terserak beragam rasa,
cerita, pengalaman dan impian. Saat impian datang dan menguasai seluruh jiwanya
maka ia akan lupa dengan pengalamannya, cerita hidup yang mungkin telah menggoreskan
luka dalam hati dan perasaannya. Impian itu terus membesar hampir-hampir dia melupakan
dirinya yang dulu, dia menjelma seperti yang diimpikannya, dia nikmati hidup dalam
impiannya, ia mengembara terus demi impiannya yang besar, bahagia walaupun harus
berdarah-darah untuk mengejar impian tersebut……
Suatu saat, ketika dia “sendiri” dia melihat sesuatu yang mengingatkan dirinya
akan jiwanya yang dulu, dia teringat jiwanya yang pernah ia tinggalkan. ya, dia tinggalkan
karena cerita itu hanya penuh dengan luka, tetapi jiwa itu merengek untuk kembali,
maka dia menyapanya kembali, mengikuti keinginannya, menyuburkan kembali rasa
yang selama ini sudah dia lupakan, dia terhanyut kembali dalam kesedihan dan merasa
jiwa ini harus dia teruskan, maka dia pun terus berbalik arah, mencari sebab mengapa
jiwanya begitu sedih dan dengan persangkaannya dia temukan jawabannya sehingga jiwa
yang dulu dia benci justru sekarang berteman dekat dan saling mendukung untuk terus
hanyut dalam kesedihan dan kemarahan.
Ketika itu, dalam keadaaan yang tidak menentu dia temukan seseorang yang
mendukungnya yang ia rasa bisa mengerti keadaan dan perasaannya. ya,
seolah-olah dia menemukan air di padang pasir yang tandus, semakin hari ia semakin
yakin dengan persangkaan jiwanya, namun masih tersisa segores impian dalam hatinya,
segera ia ungkapkan kepada orang tersebut, tetapi temannya lebih suka dengan jiwa
yang terusir, bukan dengan impiannya, semakinlah impian itu terkubur dalam-dalam.
Sekarang dia mempunyai teman, jiwa yang sama-sama sedang mengembara di
hutan belantara yang penuh dengan jebakan dan rintangan serta binatang buas
yang sedari tadi mengintai siap untuk menerkam mereka berdua. Mereka berjalan beriringan,
sampai suatu saat ketika duduk termenung di tepi danau di dalam hutan belantara
tersebut, impian itu kembali menghampiri, seolah-olah datang dari bayangannya
yang terpantul dalam air danau yang tenang. dengan lembut dia membangunkannya dan mengajaknya untuk kembali meraihnya, berjalan bersamanya dan berlari untuk mengejarnya…
Tapi dia tidak menggubris impian tersebut. kembali ia bayangkan betapa kesepiannya
jiwa yang dulu terusir, dia ingin terus menemaninya sampai jiwanya menemukan tempat
yang seharusnya. Dalam kesendirian,
impian itu datang kembali, kali ini ia persilahkan impian itu untuk singgah
dan bermalam, sekedar untuk menemaninya melewati hutan belantara yang semakin dalam
semakin gelap tak bercahaya, beruntunglah impian itu membawa sebuah lentera walaupun
hanya tersisa sedikit cahaya. ya, cahaya yang sangat redup, tetapi dalam keadaaan
yang sangat gelap cahaya redup itu bagaikan benda berharga, karena hanya dialah
yang bisa menerangi jalan walaupun hanya selangkah di depannya.
Impian itu ternyata tidak menyerah, dia kembali mengajaknya untuk kembali
dan meraihnya, kali ini dia mulai melihat impian tersebut dan menatapnya dengan
kosong tetapi penuh harapan, seandainya bisa….
Pada saat itu kegelapan terus semakin pekat, impian pun kehilangan lenteranya,
mungkin bukan hilang tetapi minyak dalam lentera itu sudah tak sanggup lagi menerangi
langkah, hanya sanggup menerangi wajahnya yang pucat pasi bagaikan mayat tak bernyawa.
Di saat itu Ia temukan sebuah batu yang besar, batu yang cukup besar untuk dijadikan
tempat terlelap dan mengatupkan mata setelah sekian lama berjalan, batu itu memberikan
kenyamanan, sampai dia pun tetidur pulas dipangkuannya, batu itu memberikan harapan,
sehingga impian pun kembali tenggelam dan jiwanya memilih batu itu untuk menemani
lelahnya, dia terus bercerita pada sang batu, batu pun tersenyum dan mendekapnya
dengan kehangatannya, sehingga jiwanya kembali merasa memiliki teman, Tersirat roman bahagia dalam jiwanya, dia terus mengagumi batu itu, sampai suatu saat dia
tersadar itu hanyalah sebuah batu yang tidak bisa bergerak, apalagi berlari,
dia sadar bahwa dia terlena….
Saat itu impian kembali menghampiri dengan lentera yang sudah terisi penuh
dengan minyak, sehingga cahayanya terang benderang menyilaukan
mata, dia pun mulai melihat cahaya itu dan menemukan tempat untuk jiwanya. ya, jiwanya
yang selama ini terusir ternyata hanya membutuhkan ruang hangat di balik lentera
yang dibawa sang impian, dia pun tersenyum dan mengajak jiwanya untuk berada dalam
lentera, walaupun terkadang merasa panas karena cahayanya yang begitu terang tapi
inilah tempat yang bisa memadukan jiwa dan impiannya….
Begitulah, sampai ia akhirnya memutuskan untuk terus bersama impian dan jiwanya…
jiwa yang dulu terusir sekarang menjadi kekuatan untuk terus menyalakan api dalam
lentera impiannya…
No comments:
Post a Comment